Pilar Demokrasi, Jakob Oetama dan Harian Kompas

Jakob Oetama dan harian Kompas adalah satu kesatuan. Besar harapan saya agar harian Kompas tetap bisa terus mewujudkan mimpi dan harapan Pak JO menjadi Amanat Hati Nurani Rakyat

Kamis, 10 September 2020 | 12:50 WIB
0
274
Pilar Demokrasi, Jakob Oetama dan Harian Kompas
Jakob Oetama (Kompas.id)

Jakob Oetama dan Harian Kompas adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Beliau bersama Petrus Kanisius Ojong adalah pendiri harian ini. Nama Kompas sendiri diberikan oleh Bung Karno yang berarti penunjuk arah.

Lebih dari 30 tahun saya membaca harian Kompas, harian ini selalu bisa menjadi rujukan tentang apa yang sedang terjadi di Indonesia. Selain juga menjadi sumber pengetahuan.

Rujukan yang menjadi sangat penting di era sekarang. Era ketika semua media berlomba untuk menjadi yang tercepat, terkenal dan banyak di klik demi iklan. Sering kali tanpa memikirkan apakah pembaca menjadi lebih cerdas atau malah semakin bodoh membaca artikel yang tidak bermutu.

Pidato Pak JO kalau boleh saya menggunakan sebutan sayang para punggawa Kompas Gramedia, saat pemberian gelar Doktor Honoris Causa oleh Universitas Gajah Mada, yang berjudul Antara Jurnalisme Fakta dan Jurnalisme Makna pada tahun 2003. Ternyata sangat relevan dengan situasi sekarang ini.

Sedikitnya ada dua hal yang menarik untuk dibahas.

Wartawan

Wartawan mestilah cerdas serta memiliki pengetahuan dan pemahaman elementer, sekurang-kurangnya, perihal fakta dan persoalan yang akan diliput dan dipaparkan secara komprehensif.

Jakob Oetama.

Fondasi dari media atau pers yang berkualitas adalah wartawan. Tanpa wartawan yang cerdas, memiliki pengetahuan dan pemahaman. Bagaimana bisa menghasilkan artikel yang berkualitas?

Antara kata Feasible dan Visible memiliki makna yang sangat jauh berbeda, feasible bermakna layak dan bisa sedangkan visible bermakna bisa dilihat. Tak jarang saya menemukan artikel yang mengutip ucapan pejabat yang menggunakan kata feasible tetapi ditulis visible dan editor yang seharusnya menjadi filter kesalahan juga tidak memperbaiki.

Membedakan dua kata saja tidak bisa, bagaimana dengan artikel yang diproduksi? Apakah bisa dipertanggungjawabkan? Apakah mencerdaskan?

Kebebasan Pers

Amatlah elokuen jawaban Albert Camus atas pertanyaan, apakah jika pers bebas, dengan sendirinya pers adalah baik. Jawab wartawan dan filsuf Prancis tersebut: “Jika pers bebas, bisa baik, bisa buruk. Baik untuk pers maupun untuk manusia. Kebebasan ialah kesempatan untuk menjadi baik.

Perbudakan adalah kepastian untuk menjadi lebih buruk”. Tetapi siapa pun membicarakan kebebasan, baik ilmuwan, publik, pemerintah dan media sendiri cenderung tidak akan mengatakannya dengan gagah berani dan amat percaya diri. 

Jakob Oetama

Kebebasan pers memang kunci bagi terwujudnya pengawasan pers terhadap kekuasaan atau pun yang lainnya. Tetapi yang seperti Pak JO katakan, kebebasan ini harus diliputi oleh ketakutan dan kecemasan.

Ketakutan untuk berbuat salah atau bisa jadi ketakutan menerbitkan artikel yang salah. Sehingga menimbulkan keinginan untuk membatasi diri, mengurangi kecepatan demi ketepatan. Menimbulkan keinginan untuk bisa membuat jurnalisme makna dengan pertanyaan-pertanyaan cerdas kepada nara sumber agar tidak hanya membuat jurnalisme fakta yang hanya katanya. Jurnalisme makna yang bisa mencerdaskan pembaca.

Mungkin juga sekarang ini pers Indonesia tak ada ketakutan karena tingkat pertanggungjawaban yang relatif tidak berat. Dengan memuat hak jawab dan merevisi artikel serta minta maaf maka persoalan selesai. Karena itu yang biasanya menjadi keputusan dewan pers ketika ada media yang salah.

Berbeda dengan media Amerika Serikat Washington Post yang sepakat berdamai terhadap tuntutan ganti rugi 250 juta dolar akibat salah memberitakan atau mungkin lebih tepat disebut framing terhadap seorang murid yang memakai topi MAGA dikatakan merundung seorang Indian Amerika.

Dalam tuntutan yang berbeda tetapi mencakup masalah yang sama, CNN juga dikatakan sepakat damai dengan tuntutan 275 juta dolar. Damai yang mungkin saja membayar jauh lebih kecil dibanding nilai tuntutan, namun ada pembayaran sejumlah uang yang merupakan pertanggungjawaban ketika salah memberitakan.

Saatnya merenung dan melihat lagi, apakah pertanggungjawaban pers Indonesia sudah cukup memadai?

Pilar Demokrasi

Tugas media yang sebenarnya, ialah mencari dan menghadirkan makna dari peristiwa dan masalah, besar dan kecil. Kesetiaan dan kemampuannya melaksanakan tugas itu akan membuat, media berhak atau tidak berhak berperan sebagai suara hati bangsanya, the conscience of a nation.

Jakob Oetama

Ketika kualitas pers atau media diragukan maka kepercayaan terhadap pers akan hilang. Ini yang terjadi kepada saya, hilangnya kepercayaan terhadap beberapa media sehingga sering harus membaca media lain untuk memastikan.

Pers adalah pilar keempat demokrasi. Tetapi ketika pilar ini keropos, apakah mampu menyanggah demokrasi? Tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah, apakah bisa menyuarakan kontrol terhadap kekuasaan tanpa dicurigai?

Bagaimana menjaga kebebasan pers yang mampu mencerdaskan masyarakat dan bertanggung jawab menjadi sangat penting. Kebebasan pers tanpa tanggung jawab memadai bagaikan berada di jalan raya tanpa aturan. Setiap orang bebas untuk melaju di sisi kiri atau kanan jalan. Bebas untuk mengabaikan lampu atau rambu lalu lintas. Padahal sebagai orang yang bebas, menjadi tanggung jawab kita untuk mematuhi aturan dan rambu agar perjalanan lancar dan kecelakaan bisa dihindari.

Harian Kompas

Jakob Oetama dan harian Kompas adalah satu kesatuan. Besar harapan saya agar harian Kompas tetap bisa terus mewujudkan mimpi dan harapan Pak JO menjadi Amanat Hati Nurani Rakyat dan sesuai namanya tetap menjadi rujukan, bukan hanya untuk para pembaca tetapi juga untuk media lain agar bisa melahirkan jurnalisme makna demi kecerdasan rakyat Indonesia.

Selamat jalan Pak JO, terima kasih untuk karyamu majalah Intisari dan Harian Kompas yang menjadi salah satu unsur pembentuk pemikiran saya hingga bisa menjadi seperti ini.

Referensi: JEO Kompas.com

Ronald Wan