Membela atau memperjuangkan agama, adalah hak masing-masing. Namun jika tak mencerminkan yang diperjuangkan dan dibelanya, melanggar hukum negara, tak bisa ditoleransi.
Pilpres 2019 sudah selesai. Yang belum selesai, mereka yang tetap tak bisa menerima Jokowi. Ada? Ada. Mereka minoritas, tapi karena ketidaktepatan kita (negara) menyikapinya, jadi blunder.
Dari sini sebenarnya jelas. Kita bukan “bermusuhan” dengan siapa tapi apa. Prabowo Orbais dan Militeris out-of-date, tapi nekat. Di situ kita bisa melihat ada apa di sebalik Prabowo. Yakni “sesuatu” yang dibawa gerombolan minoritas dengan mengatasnamakan majoritas.
Mereka memanfaatkan Prabowo sebagai ‘Kuda Troya’. Dengan itu Prabowo diuntungkan mendapat 44,50%. Kelompok ijtima ulama dengan imam besar Rizieq Shihab, dan yang pro dengan itu, bisa jadi penyumbang terbesar. Ada pula atas sentimen lain, para ASN, kelompok militer tua (mantan), keluarga HTI, dan pihak-pihak yang kecewa atau terancam oleh Jokowi. Selebihnya para korban dari yang disebut itu.
Dari Muhammadiyah, meski Haidar Nasir tampak moderat, pendukung M. Busyro Muqodas yang berbakat menjadi ‘Amien Rais’, juga tak sedikit. Pengakuan dari orang NU, di dalamnya terdiri dari 3 bagian. Yakni 25% Islam Nusantara (pro Jokowi), 25% cenderung berlawanan (pro Prabowo), sisanya melihat arah angin.
Ajakan rekonsiliasi dengan Kubu Prabowo, berlanjut pada tawaran koalisi, sebenarnya tak penting. Buat apa berkontestasi begitu rupa? Meski kita juga pesimis, oposisi sekelas Fadli Zon, atau Amien Rais, tak ada relevansinya. Oposisi WTS, waton sulaya, asal njeplak. Namun senyampang itu, kita juga skeptis, jika Kubu Prabowo masuk koalisi, justeru bisa contra productive. Apalagi jika Jokowi mengambil keputusan yang gila dan miring-miring.
Bagi kita, rakyat jelata yang bosen politik elitis, harapannya sederhana. Perubahan Indonesia untuk makin menjauh dari kolusi-korupsi-nepotisme model Soeharto. Pemerintahan sipil dan profesional, wajah baru yang mesti dikedepankan. Di situ Jokowi penting mengantar generasi baru kepemimpinan Indonesia. Yang pinter, baik dan berprestasi, mendapat kesempatan, yang melanggar hukum; dihukum!
Membela atau memperjuangkan agama, adalah hak masing-masing. Namun jika tak mencerminkan yang diperjuangkan dan dibelanya, melanggar hukum negara, tak bisa ditoleransi. Mempertentangkan agama versus negara (untuk Indonesia berpancasila), adalah berlebihan. Sukarno bukan orang bodoh. Pemikirannya dalam ijtihad Islam dipandang penting di negara-negara Timur Tengah. Kini, beberapa negara Timur Tengah mempelajari Pancasila ke Indonesia.
Dua kelemahan kita, bermula dari wisdom mesti ‘toleran pada yang intoleran’; Yakni (1) mendiamkan atau mengabaikan semua itu, dan (2) negara tak tegas menegakkan hukum negara. Kalau Minrais, Nenowar, Rizieqshih, Luissungkhar, Tengkuzul, Abdullahhehaheha, Babehaikal, Kivlan, Eggy, Bamukmin, atau FPI, PA-212, kita sikat, bukan karena agamanya. Tapi karena perbuatan sebagai warga negara jika melanggar hukum negara.
Itu saja, Mas Jok dan Pak Ya’i! Met kerja!
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews