Saya pernah membaca tentang sejarah politik di era kekuasaan Triumvirat Romawi, Yang terjadi pada tahun 49 SM. Diceritakan bahwa pecah kongsinya antara Julius Caesar dengan Pompey, yang pada awal berkoalisinya memang bukan didasari adanya kesamaan ideologi atau platform politik.
Mereka berkoalisi semata-mata atas dasar kepentingan kekuasaan, bukan karena hal lain. Mereka tidak perlu saling suka, tidak perlu juga untuk saling memahami. Yang terpenting adalah bersatu untuk menghadapi musuh bersama.
Kondisi seperti itu jugalah yang dihadapi Prabowo dengan Partai Koalisinya. Prabowo yang mengaku sebagai Islam abangan, yang tidak terlalu mengikuti ibadah ritual, karena kepentingan politik terpaksa harus bersikap Islami, karena dikelilingi Partai yang berbasis Islam, dan didukung oleh Ormas Islam.
Sebagian besar kelompok pendukung Prabowo, sangat memaklumi keislamannya, bahkan tidak peduli karena memang tidak ada pilihan lain. Namun ada juga yang mempertanyakan keislaman Prabowo, saat ijtima' Ulama untuk memilih Cawapres, Prabowo sangat tersinggung dan marah.
Sebagai seorang yang dibesarkan dalam lingkungan pemikiran Sekuler, berpolitik bukanlah tentang hal remeh-temeh mengurusi persoalan agama, namun realitas Politik menuntut tidaklah demikian, suka tidak suka Prabowo harus mengikuti tuntutan tersebut.
Memang ada sisi yang memperlihatkan bahwa Prabowo tidak suka dengan pemikiran para ulama yang mendukungnya, dan itu terlihat jelas ketika dia menolak Cawapres pilihan hasil ijtima' Ulama, karena memang pilihan yang ditawarkan tidak sesuai dengan keinginannya.
Disisi yang lain, tidak bisa dipungkiri bahwa Prabowo butuh Power dari dukungan massa Islam, yang selama ini sudah terbukti kekuatannya. Habib Riziek Shihab (HRS), mesin penggerak Massa, berhasil ditaklukkan Prabowo, begitu juga koalisi Partai Islam berhasil dilobby, sehingga semua sepakat untuk mendukung pilihan Prabowo.
Sebagai sebuah koalisi yang mengedepankan Politik Identitas, mau tidak mau Prabowo pun di Branding sebagai seorang Nasionalis yang religius. Sebagai seorang Nasionalis mungkin masih pantas disematkan pada Prabowo, tapi sebagai seorang religius sepertinya masih butuh proses.
Yang jelas, karena platform dagangan politiknya Agama, maka Prabowo pun harus dikemas terlihat Islami. Namun sayangnya yang mengemas Prabowo tampil Islami masih setengah-setengah, sehingga ketika mengucapkan Shalawat Nabi, lidahnya kurang pas mengucapkan, dan itu adalah sesuatu yang fatal.
Secara pengetahuan, Prabowo bisa jadi sangat mengenal Islam, tapi tidak dalam konteks ritualitasnya. Tapi apa boleh buat, bagi pendukungnya, keislaman Prabowo bukanlah sesuatu hal yang Penting, bagi mereka yang Penting asal bukan Jokowi.
Argumentasi mereka, kita tidak sedang memilih Pemimpin Agama, tapi memilih kepala negara. Inilah enaknya jadi Prabowo, pendukungnya tidak peduli kadar keislamannya, sementara Jokowi sudah setengah mati memperlihatkan keislamannya, tetap saja tidak diakui oleh pendukung Prabowo.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews