212, Kepedihan dan Kedewasaan

Selasa, 8 Januari 2019 | 11:13 WIB
0
556
212, Kepedihan dan Kedewasaan
212 di Monas (Foto: Tempo.co)

Salah satu tanda kita menjadi dewasa adalah dilihat dari bagaimana cara kita menyikapi kepedihan dalam hidup. Semakin baik kita merespon kepedihan yang mendera kita maka ini akan membuat kita semakin tumbuh dengan matang. Tumbuh sebagai pribadi baru yang lebih baik.

Kunci dari kematangan dan kedewasaan tersebut adalah bagaimana kita menerima kepedihan tersebut, kemudian melakukan respon balik untuk melepaskan energi negatif yang mendera, dan mengubahnya menjadi energi positif. Luka batin yang diderita disembuhkan dengan sendirinya lewat serum dalam diri, menjadi batin yang yang lebih sehat. Jiwa yang lebih kuat

Inilah yang saya lihat terjadi dalam tubuh ummat islam yang direpresentasikan dalam aktivitas reuni 212 beberapa waktu yang lalu. Saya, Anda, Kita sekalian, ummat Islam Indonesia terluka batinnya, jika ada saudara sebangsa lainnya melabel kita dengan "radikal", "intoleran", "ekstrimis", "antikebhinekaan" dan segala partikel-partikel tak sedap lainnya yang mengandung unsur demonisasi.

Label-label penuh ujaran merendahkan dan itu memunculkan kepedihan di dalam hati ummat.

Ummat melakukan respon dengan melakukan aksi simpatik yang bermuara pada reuni 212. Berzikir, bersalawat, qiyamul layl, mendengarkan nasehat-nasehat taqwa, sembari mempertontonkan perilaku beradab penuh welas asih. Semua tumpah ruah. Tertib. Mendoakan satu sama lain. Dan memilih untuk mendoakan seluruh bangsa ini. Berarti mendoakan pula saudara-saudara yang melakukan pelabelan pelabelan buruk tersebut.

Mengubah amarah yang muncul akibat kepedihan atas label-label negatif tersebut dengan menggantinya menjadi senyuman dan doa serta aktivitas penuh keadaban tersebut memperlihatkan ummat Islam di Indonesia memiliki peradaban yang tinggi.

Ummat melakukan perlawanan atas perasaan ketidakadilan yang menimpa diri mereka dengan label-label negatif untuk semangat keberagamaan atau ghirah islam yang sedang meningkat yang terjadi di tengah keseharian mereka. Mereka "melepaskan serumnya" sendiri untuk mengobati dirinya yang hendak melakukan keyakinannya tapi dilabel secara negatif.

Dunia sedang berubah cepat. Orang saling terhubung satu sama lain. Internet membukakakan mata setiap orang atas informasi apapun, tidak ada yg bisa disembunyi sembunyikan di jaman sekarang, arus informasi laksana air bah.

Akhirnya agama yang tadinya dikira akan mati di abad 21 ini, lewat internet dan teknologi digital, ia seperti bunga yang bersemi di taman nan subur. Ia bertambah hidup.

Majlis-majlis zikir semakin ramai. Masjid-masjid penuh di waktu subuh. Sekolah sekolah Islam modern tumbuh. Generasi muslim kelas menengah baru makom merekah. Mereka mepraktekkan keagamaan dan meramaikan majlis-majlis ilmu mulai dari kota-kota hingga ke desa-desa.

Agama membuktikan ketika zaman teknologi ini justru menjadi tempat pegangan manusia yang paling kuat. Dengan agama orang menemukan kembali kedamaian dan ketenangan. Agama yang penuh cinta.

Karena mereka yang dicap orang-orang radikal lah, maka reuni lautan manusia itu bisa berlangsung tertib. Karena dengan ketertiban dan disiplin yang ekstrim lah semua keteraturan itu bisa dilaksanakan.

Karena mereka yang dituding garis keras lah, maka ajaran Islam penuh kasih sayang dipraktekkan. Ramai tapi tertib.

Karena mereka yang mempraktekkan Islam yang penuh cinta kasih yang ekstrim lah, semua bangsa Indonesia didoakan. Seluruh rakyat dimunajatkan keselamatan.

212 bukan reuni sekolah. Bukan reuni kaleng kaleng. Ia adalah reuni cinta.

Dengan cinta kepedihan yang mendera umat membuat ummat semakin bertambah dewasa.

Wallauallambishowab
(Langit Allah Batam-Dumai)

***

Miftah N. Sabri