Saya adalah warga negara yang baik. Setiap pemilu, saya pasti ikut mencoblos. Pada Pemilu 2004, saya pilih PDIP dan Megawati karena waktu itu kayaknya pro wong cilik. Pada Pemilu 2009, juga begitu. Sayangnya pilihan saya kalah berturut-turut.
Makanya, pas Pemilu 2014, saya senang sekali. Jagoan saya menang. PDIP jadi partai terbesar, dan Jokowi terpilih jadi presiden ketujuh.
Tapi sekarang, saya menyesal. Ternyata era pemerintahan Jokowi dan PDIP jauh lebih buruk dari zamannya SBY dan Partai Demokrat. Harga-harga barang tidak jelas, sering banget naik tinggi sekali. Infrastruktur memang dibangun, tapi cuma buat kawasan perkotaan.
Di desa kondisinya begitu-begitu saja. Subsidi listrik dicabut. BBM Premiun katanya masih ada, tapi carinya lebih susah daripada mencari kucing belang tiga. Setelah empat tahun, baru ada pembukaan PNS. Itupun dengan mengabaikan derita guru honorer yang sudah mengabdi puluhan tahun.
Aneh sekali. Kok Presiden yang katanya berasal dari rakyat malah bikin kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat? Kok Partai yang katanya pro wong cilik malah diam saja waktu rakyat susah kayak begini?
Waktu zaman SBY, saya juga mengeluh. Tapi tidak sesering dan separah sekarang. Paling tidak waktu zaman Partai Demokrat menang pemilu, tarif listrik murah, BBM murah dan gampang dicari. Ada PNPM yang bikin infrastruktur masuk desa. Harga-harga stabil. Ada jutaan pegawai honorer, termasuk guru honorer, yang diangkat jadi PNS. BPJS keluar, ada BLT/BSLM waktu kenaikan harga BBM. Juga program-program pro rakyat lainnya.
Makanya saya merasa salah memilih di Pemilu 2014. Makanya saya perlu minta maaf sama SBY dan Partai Demokrat. Zaman pemerintahan mereka jauh lebih baik.
Sialnya, peserta Pilpres 2019 cuma ada dua paslon. Saya sudah tidak percaya sama Jokowi, tapi belum sreg sama Prabowo.
Sialnya lagi, gaya kampanye Jokowi dan Prabowo ini, maaf-maaf saja, menurut saya kampungan. Kampanye pilpres kok kayak pilkades begini? Segala sontoloyo, genderuwo sampai tampang Boyolali dibawa-bawa! Segala mahasiswa diajak buat demo dukung pemerintah.
Ampun-ampunan saya baca narasi hoaks di medsos itu. Ini kampanye apa-apaan sih? Waktu SBY menang pilpres dua kali, kampanye pilpres tidak begini-begini amat buruknya.
Makanya saya putuskan golput saja di Pilpres 2019. Capek saya dicekoki narasi-narasi hantu blawu itu. Biarin saja, ini hak saya sebagai warga negara.
Sudah malas lihat kampanye pilpres, eh kampanye pilegnya sami mawon. Partai-partai itu hening-hening saja. Mereka larut dalam kampanye Pilpres sehingga terkesan tidak menawarkan apa-apa buat rakyat.
Makanya, saya berniat golput juga di Pileg 2019. Tapi belakangan saya baca 14 Prioritas Demokrat Untuk Rakyat. Ini rumusan program prioritas yang akan Partai Demokrat lakukan jika dipercaya rakyat dalam Pileg 2019 mendatang. Saya baca baik-baik rumusan itu.
Sekali lagi saya mesti minta maaf sama SBY dan Partai Demokrat. Saya sudah salah menilai. Rumusan 14 Prioritas Demokrat Untuk Rakyat benar-benar bisa menjawab masalah-masalah bangsa kita hari ini.
Saya salut dengan tawaran Partai Demokrat ini. Ibarat jualan, Partai Demokrat sudah menawarkan barang yang mereka ingin jual. Rakyat sebagai pembeli jadi paham. Kalau cocok dibeli, kalau tidak ya tidak usah dibeli.
Tandanya Partai Demokrat benar-benar menghargai rakyat Indonesia sebagai pemilik sah kedaulatan negeri ini. Rakyat bukan komoditas pemilu yang cukup disuguhi sontoloyo, genderuwo, tampang Boyolali, atau malah hening-hening saja kayak partai-partai yang lain itu.
Intinya, saya sudah punya pilihan partai yang akan saya coblos di Pileg 2019. Kalau urusan Pilpres, sementara saya golput dulu. Tidak tahu kalau menjelang April 2019 nanti ada perubahan gaya kampanye di kedua paslon.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews