Di masa pandemi masih ada saja yang nekat untuk berunjuk rasa. Padahal demonstrasi jelas dilarang oleh polisi karena berbahaya di masa pandemi Covid-19. Jangan lupakan fakta bahwa unjuk rasa akan berpotensi besar menimbulkan klaster Corona baru, karena menimbulkan kerumunan.
Pandemi membuat kita semua berubah dan harus beradaptasi dengan keadaan, meskipun dengan setengah terpaksa.
Selain menjaga kesehatan fisik, kita juga wajib menjaga kesehatan mental, karena jika tidak dikendalikan akan sangat berbahaya. Ketika emosi memuncak maka yang terpikir hanya menyalahkan pemerintah lalu mengajak massa untuk berdemo, karena mereka sumpek dan selalu mencari kambing hitam.
Demo yang diadakan sekelompok mahasiswa di Ambon beberapa waktu lalu menjadi contoh betapa emosinya anak-anak muda yang menentang PPKM darurat. Masyarakat juga tidak setuju akan demo ini karena para mahasiswa terlalu tersulut amarah lalu menyalahkan pemerintah, padahal mereka sudah dewasa dan tidak seharusnya menyalahkan pihak lain.
Masyarakat menentang unjuk rasa di masa pandemi karena jelas membentuk klaster Corona baru. Menurut data tim satgas Covid, per tanggal 20 Juli 2021, pasien Corona masih ada di kisaran 34.000 orang per hari. Jika ada demo tentu jumlah ini bisa bertambah, karena bisa jadi ada OTG yang menularkan virus Covid-19. Apa mereka tidak takut akan OTG?
Apalagi Corona varian delta bisa menular hanya lewat udara, dan saat demo rata-rata masker dilepas karena cuaca panas. Ketika berunjuk rasa dan berjalan berdempetan sebagai bentuk solidaritas, di sanalah virus Covid-19 bisa menyebar. Ketika ini terjadi, apa pendemo tidak takut akan kematian massal sebagai akibat terburuk dari infeksi Corona varian delta?
Demo ditentang karena massa selalu emosi dan berkutat pada masalah, padahal di masa pandemi seharusnya kita mencari solusi saling bekerja sama. Jangan malah menyalahkan pihak lain. Daripada lelah berunjuk rasa, bukankah lebih baik menggalang dana dan sembako untuk nantinya disalurkan kepada masyarakat yang sedang isolasi mandiri?
Lebih baik beramal dengan cara seperti ini, daripada demo, kepanasan, capek, dan akhirnya kena Corona. Unjuk rasa akan sia-sia karena jelas dibubarkan oleh aparat. Mereka boleh melakukannya karena memang saat pandemi, unjuk rasa dilarang keras, dan sudah ada payung hukumnya.
Selain itu, masyarakat juga wajib untuk mewaspadai demo saat pandemi yang diboncengi oleh pihak tertentu, yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Deputi VII BIN Wawan Hari Purwanto menguatkan kewaspadaan masyarakat. Menurutnya, poster seruan aksi memang sengaja dibuat oleh oknum, untuk memprovokasi demo di tengah pandemi.
Wawan melanjutkan, memang ada kelompok yang sengaja menghasut masyarakat untuk berunjuk rasa besa-besaran. Kelompok ini sengaja memanfatkan suasana demo yang selalu panas, memperkeruh situasi, bahkan memprovokasi rakyat untuk menuntut Presiden Jokowi mundur.
BIN sendiri sudah mengantisipasi melalui forum Kominda dan mencegah agar tidak terjadi chaos akibat demo. Dalam artian, masyarakat diminta untuk waspada dan jangan terhasut, apalagi tersulut narasi di media sosial.
Penyebabnya karena pemerintah sudah berusaha maksimal untuk menangani pandemi. Kebijakan seperti PPKM level 4 jangan malah ditentang dengan unjuk rasa, karena saat demo sangat rawan diboncengi oleh kelompok kepentingan yang bertujuan politik.
Unjuk rasa merupakan bagian dari penyampaian aspirasi tetapi ingat bahwa saat pandemi dilarang keras, karena tidak memiliki izin resmi dari kepolisian. Selain itu, demo jelas tidak boleh dilakukan karena akan sangat rawan dibonceng oleh kelompok kepentingan yang bertujuan politik. Sehingga masyarakat diminta untuk tidak terhasut narasi yang memprovokasi dan tetap tenang di masa pandemi. (Indah Kumalasari)
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews