Seratus tahun Indonesia merdeka nanti harus ditandai dengan perubahan besar-besaran, Bung. Ayo, bergerak terus! Melangkah terus!
Wawancara Imajiner dengan Pramoedya Ananta Toer
Sesungguhnya niat kali ini bermodal nekat. Tidak, ding. Juga sebaran informasi dari sana-sini. Saya catat rute sesudah turun dari KRL di Stasiun Bojonggede di secarik kertas: naik angkot ke jurusan Cilebut, tak sampai 10 menit lalu turun di muka jalan kecil yang aspalnya rompal sana-sini. Kaki melangkah, terus menyeberang rel kereta, sebelum disergap suasana perkampungan yang menandakan telah sampai di tujuan. Gerbang rumah bercat hijau itu tidak dikunci, tanda si empu rumah tengah asyik-asyiknya “beribadah” menurut caranya sendiri: membabat tanaman, menumpuknya dengan sampah lain, dan membakarnya!
Sengaja saya tak berteriak. Telinganya sudah tuli sebelah. Saya berjalan agak mendekat sebelum memanggil namanya, “Bung Pram!” Segera ia menengok, tersenyum mengembang, lantas kuat-kuat menjabat tangan saya. “Masih membakar sampah?”
“Kalau nggak mbakari sampah, bisa gatal tangan saya!” Ia menggagap saku kemejanya yang biru kalem itu, mengambil geretan, lalu kress-kress-cessss, dan mengepullah sebatang rokok. Melihat asap yang membubung dari puntung, dan asap yang menyeruak dari pembakaran sampah, saya cepat berkeyakinan bahwa sastrawan nomine Nobel ini memiliki paru-paru yang tangguh. “Mari ke teras saja!” Saya mengikuti langkahnya.
“Bung Pram, hari ini jadi wawancara, kan?”
“Ya, sudah, mulai saja. Saya senang kalau angkatan muda seperti Bung mau ke sini. Eh, ya, Bung sudah makan, belum?” Saya tersenyum menganggukkan kepala kecil. Nyaris tak kentara, di dahi saya keringat telah bercucuran sebelum pertanyaan dilayangkan.
Bung Pram, selamat ulang tahun. Saya tak pernah duga kali ini bisa bertemu Bung Pram. Nah, di hari ulang tahun, orang biasanya punya renungan tentang yang sudah berlalu dan yang akan datang. Saya penasaran, apa Bung Pram juga punya renungan itu?
Renungan apa? Sejarah hidup saya hanya sejarah perampasan. Pelakunya beda-beda. Tujuannya beda-beda, tapi sama saja perampasan dan penindasan itu. Jumlahkan saja: tiga tahun dipenjara oleh Belanda, lima belas tahun oleh bangsa sendiri, dua puluh tahun jadi tahanan politik. Nyaris setengah umur saya habis dalam penjara dan tahanan politik. Bayangkan, Bung! Apa yang dapat saya kerjakan di dunia bebas kalau tidak dipenjara begitu lamanya? Lagipula berulang kali saya tegaskan: saya sudah mematikan harapan. Satu-satunya yang saya punya cuma penyesalan. Mau ke mana Indonesia ini sebetulnya?
Kenapa Bung Pram berpikir begitu? Sekarang ini Indonesia sudah merdeka. Soeharto tak ada lagi—biar anak-anaknya masih usil. Kenapa Bung Pram menyesal?
Karakter, Bung! Karakter! Tak ada urusan orang mau merdeka beratus-ratus tahun, tapi kalau ia tak punya karakter, buat apa merdeka? Sukarno yang mengajarkan kita punya kepribadian. Biar miskin, biar makan ketela, tapi merdeka dan punya harga diri. Cita-citanya mempersatukan dari ujung timur sampai ujung barat sebagai satu bangsa. Itu yang digenjotnya lewat macam-macam gebrakan, sejak Revolusi Fisik sampai Demokrasi Terpimpin. Nation and character building yang sekarang sudah dilupakan orang. Jadi bangsa kuli lagi. Jadi hamba multinasional lagi. Sudah gitu malah bangga pula! Ha-ha-ha-ha-ha!
Tapi bukankah dari perusahaan multinasional itu, lantas rakyat mendapatkan fasilitas pendidikan, kesehatan, pangan, dan macam-macam. Itu, kan, juga bisa dihitung sebagai “jasa” perusahaan multinasional?
Rakyat yang mana? Saya baca berita kemarin: 74.13 persen angkatan muda sekarang jadi buruh, sebagian besar namanya karyawan, dan penghasilannya cuma mentok UMR. Segelintir kecil saja yang berduit lebih. Lalu, bagaimana masyarakat adat yang tanahnya dikavling begitu saja? Awas kalau Bung bilang mereka bukan rakyat! Mereka sudah mendiami tanah itu lima belas abad dan tidak dimintai sertifikat tetek-mbengek itu. Coba, lima belas abad! Belanda saja kalau nyerang ke tanah orang, pertama kirim salam dan minta diri dulu, rembukan dulu. Ini enggak. Coba, rakyat yang mana yang Bung maksud itu? Kalau rakyat di Gedung Kura-Kura itu bukan rakyat! Itu kecoak yang kebetulan bisa pakai jas saja itu!
Bung Pram mulai nyindir, nih. Nah, soal nation and character building tadi. Banyak orang bilang kalau itu proyek ambisius Sukarno yang tidak tahu diri. Rakyatnya melarat, makan tiwul dan tinggal di gubuk, sedangkan Jakarta bikin Ganefo macam-macam. Apa betul, Bung?
Siapa yang mengatakan tidak tahu diri di zaman itu? Bung harus tahu dulu keadaan masa itu. Orang Indonesia begitu kecil jiwanya, dijajah beratus-ratus tahun, tiba-tiba jadi negara berdaulat. Negaranya besar, tapi kalau jiwa rakyatnya kecil, untuk apa? Miskin sudah jadi perkara dan teman hidup. Bukan lagi masalah besar. Memberi makan perut bisa dengan jalan apa saja. Tetapi memberi makan jiwa? Caranya hanya melalui pembuktian kepada dunia bahwa Indonesia mampu membikin segala-gala yang hebat. Lagipula, Bung belajar sejarah, kan? Apa jadinya kalau Sukarno memilih tunduk seperti Harto itu? Indonesia jadi bola ping-pong, oper sana-sini, seperti sekarang. Eh, dengar-dengar sudah diketok undang-undang yang memberi kemudahan investor, ya, Bung? Apa itu, ah....
Omnibus Law?
Nah, itu. Ngaku-nya saja menciptakan lapangan kerja. Nyatanya itu seperti membukakan gembok sekalian gerendel buat maling masuk. Dulu Harto berbuat demikian dan orang yang sadar langsung dibuang. Sekarang, orang dibikin tidak sadar. Itu lebih jahat daripada Orba dulu. Kami bergulat mengusir maling, sekarang malingnya dipersilakan masuk. Dulu maling pakai seragam tentara, sekarang pakai jas perlente. Saya jelaskan, bukan Indonesia ini yang dulu saya perjuangkan!
Siapa "orang sadar" yang Bung Pram maksud?
Ya kami ini! Dua belas ribu tahanan politik yang tidak pernah diadili, tidak pernah dijelaskan salahnya, dan sekarang tidak masuk di buku sejarah! Coba, tanyakan pada angkatan Bung sekarang, apa mereka kenal tokoh-tokoh seperti Basuki Effendy, Sidik Kertapati, Kotot Sukardi, Bachtiar Siagian? Saya jamin bisa dihitung jari tangan! Kami yang diperosokkan ke Buru itu semuanya sadar, bahwa inilah kerja Harto dan kawan-kawannya membiarkan modal multinasional menjarah Indonesia. Karena itu sebelum kami buka mulut, kami disandera dulu. Keluar dari Buru, jadi primitif lagi. Kawan-kawan saya yang penulis, tumpul semua jari dan otaknya.
Nah, ini yang selalu menarik minat saya. Orang mengenal Pramoedya Ananta Toer sebagai pengarang Lekra, dan karena salah seorang pegiat Lekra adalah Njoto yang duduk sebagai pemimpin teras Partai Komunis Indonesia, jelas bahwa Lekra adalah organ kebudayaan Komunis. Apa benar, Bung?
Siapa yang ngajarin Bung berpikir begitu? Guru sejarah?
Rata-rata begitu, Bung
Wuah, kasihan sekali angkatan Bung ini! Padahal sejarah adalah rumah tempat siapa saja berangkat mengembarai dunia. Orang yang belajar pada sejarah tiga ribu tahun peradaban manusia sajalah yang tidak bakal kejeblos lubang. Guru sejarah berpikiran sempit begitu harus dibabat langsung! Bikin malu saja!
Tapi benar, kan, Bung Pram bergiat di Lekra, bahkan sampai menyeret Hamka ke penjara?
Omong kosong semua! Saya cuma pupuk bawang di Lekra. Sekalinya ikut Kongres di Solo, itu pun hanya mampir. Lantas saya diberi jabatan wakil ketua segala macam. Lihat Njoto itu! Berapa kali saya konflik dengan dia karena saya punya "kepala" sendiri? Soal Hamka, itu sudah perkara lain. Dia diseret ke penjara, kan, karena terlibat soal ancaman pembunuhan Presiden tahun '62. Memang saya sempat naikkan di Lentera* tentang plagiarisme yang dia lakukan dan dia tidak mau ngaku. Tapi kalau sampai masuk penjara, itu kasusnya lain.
Baca Juga: Membela dan Mewawancarai Pramoedya Ananta Toer
Bung Pram masih ngerokok. Apa enggak ada masalah kesehatan?
Dengan rokok dan membakar sampah itu saya jadi sehat. Sekarang, kan, saya sudah enggak bisa nulis lagi. Jadi sekarang sport terus. Sehari bisa tiga-empat jam bakar sampah. Lalu membersihkan kebun, membabat tanaman yang liar. Macam-macam. Tapi supaya tidak pikun, saya tetap mengkliping. Ini, koran hari ini sudah bolong semua, ha-ha-ha-ha!
Ketika rokok di tangannya habis, Bung Pram mengajak saya naik ke perpustakaannya di lantai tiga. Perpustakaan yang penuh oleh buku dan tumpukan kliping itu masih beraroma sereh cukup kuat, untuk mengusir nyamuk. Dua mesin ketik ukuran besar dan kecil menjadi perhatian saya. Tetapi Bung Pram kelihatan tidak mau menyentuh dua benda yang menjadi alat kerjanya selama empat puluh tahun lebih itu. "Saya sudah enggak bisa ngetik lagi. Bukan malas, tetapi macet! Kalau duduk depan mesin tulis cuma diam saja. Jadi mengkliping saja."
Wah, padahal kalau Bung Pram bisa menghasilkan satu buku lagi, misalnya biografi atau....
Ha-ha-ha-ha! Biografi apa? Kisah hidup saya terlalu jelek kalau dibukukan. Biar orang membaca tulisan saya saja. Cerita hidup saya ada di buku-buku saya itu.
Dengan seizin Bung Pram, saya membuka-buka beberapa buku terjemahan yang disimpannya rapi di lemari buku. Terdapat terjemahan Bumi Manusia dalam bahasa Jepang, Inggris, Belanda, Rusia, hingga Malayalam. Juga buku Arok Dedes dalam bahasa Inggris. Juga buku Gadis Pantai dalam bahasa Jerman, Belanda, dan Rusia. Nyaris semua buku-bukunya sudah diterjemahkan.
Bung Pram punya harapan apa untuk angkatan saya? Angkatan saya, kan, nanti disebut-sebut Indonesia Emas 2045, seratus tahun kemerdekaan. Apa Bung Pram punya pesan?
Terus-terang, tidak ada. Saya kecewa melihat angkatan muda yang dulu menjatuhkan Harto, sekarang malah ikut-ikutan melindungi kepentingan modal multinasional. Itu, mantan Ketua PRD yang ngasih saya penghargaan, malah dapat jabatan komisaris perkebunan. Gila! Mereka jadi angkatan tua sekarang. Mereka harus digusur juga oleh angkatan muda. Jangan mencontoh angkatan tua. Buat contoh sendiri. Seratus tahun Indonesia merdeka nanti harus ditandai dengan perubahan besar-besaran, Bung. Ayo, bergerak terus! Melangkah terus!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews