Kalau Saya Bukan Pancasilais, Negara Mau Apa?

Menyongsong dekade 2020 di tengah pandemi Covid-19 ini, kita harus mengingat ajakan Sukarno untuk “menemukan kembali Revolusi kita”.

Rabu, 2 September 2020 | 20:29 WIB
0
1090
Kalau Saya Bukan Pancasilais, Negara Mau Apa?
Monumen Panca Sila Sakti, Jakarta Timur (foto: pinterest)

Memasuki bulan September, sedikit-banyak ingatan kolektif kita tergugah. Maklum, dalam kurun sejarah, bulan September berkedudukan unik. Setiap 1 September, segelintir orang mungkin teringat akan invasi Jerman ke Kota Danzig, Polandia yang menandakan pecahnya Perang Dunia II. Tanggal 7 September, sejumlah aktivis hak-hak asasi manusia mengingat kematian Munir Said Thalib dalam penerbangan ke Belanda yang menyisakan enigma hingga kini.

Berlalu 3 minggu, tanggal 26 September kalangan aktivis lingkungan hidup mengenangkan kematian Salim Kancil yang dianiaya karena memperjuangkan penolakan tambang pasir ilegal. Empat hari kemudian, Indonesia memeringati hari berkabung nasional, merujuk pada peristiwa “Gerakan 30 September” di tahun 1965. Khusus peristiwa terakhir, ingatan kolektif bangsa Indonesia mungkin selalu terarah pada adegan-adegan sadis rekayasa Arifin C. Noer dalam film dokudrama propaganda Pengkhianatan G30S/PKI yang digarap pada 1984.

Tidak. Saya tidak akan berpanjang-panjang membahas film itu, yang jelas-jelas sudah menjadi usang dan tidak relevan seiring perkembangan zaman. Kemajuan masa kini yang terjadi simultan dengan arus sejarah alternatif bagi yang mau membaca lebih banyak memberi kesempatan sebagian besar orang mempunyai pandangan yang berbeda, bahkan diametral dengan versi resmi negara. Lagipula, bukankah konstitusi kita (sesudah diamandemen) memberikan lebih banyak ruang berpikir, berdiskusi, dan menghidupkan argumentasi—sesuatu yang muskil selama Orde Baru berkuasa dulu.

Katakanlah reformasi telah berhasil, sedikitnya melikuidasi Orde Baru berikut kultus terhadapnya. Menteri Penerangan (kini: Menteri Komunikasi dan Informatika) Junus Josfiah menyatakan pencabutan wajib-tayang film Pengkhianatan G30S/PKI di televisi setiap 30 September malam pada 1998. Sampai sekarang, saya akui, pengambilan keputusan ini tepat belaka, karena di samping menempatkan porsi propaganda lebih besar daripada sejarah, daya destruktif film propaganda ini sangatlah dahsyat bagi penontonnya, apalagi jika tidak diimbangi dengan sikap berimbang yang kuat melalui perbandingan berbagai versi cerita sehingga penonton dipaksa untuk ramai-ramai menghujat Partai Komunis Indonesia lagi dan lagi.

Akan tetapi, lima presiden pasca-reformasi nyatanya enggan melikuidasi sekondan abadi film Pengkhianatan G30S/PKI: "Hari Kesaktian Panca Sila" yang ditetapkan setiap 1 Oktober. Meski telah menetapkan "Hari Lahir Panca Sila" setiap 1 Juni, pemerintah seharusnya bersikap lebih fundamental dengan sekaligus menghapus "Hari Kesaktian Panca Sila". Barulah, semangat reformasi total dan melepaskan seluruh komponen bangsa dari romantisme semu Orde Baru dapat menjadi titik tolak dari revolusi mental yang holistik. Akan tetapi, beranikah pemerintah melakukan itu?

Sebelumnya saya harus mengapresiasi tulisan dan pemikiran Iman Brotoseno, praktisi penyiaran sekaligus sineas yang beberapa waktu lalu diangkat sebagai Direktur Utama Televisi Republik Indonesia (TVRI). Dalam tulisan yang pernah tayang dalam blog pribadinya ini, Iman mengungkapkan gugatan jitu dan berani, “Masih relevankah Hari Kesaktian Panca Sila?” Pertanyaan yang dianggap menohok ini tentu sempat menimbulkan perdebatan.

Sebagian orang yang terbuka dan berpandangan moderat menyatakan relevansi Hari Kesaktian Panca Sila semakin tahun semakin usang. Sebagian lain yang masih menikmati skema pikir indoktrinatif-normatif menyatakan bahwa pertanyaan itu kurang ajar, mencela pengorbanan pahlawan revolusi, bahkan si penggugat dicap “tidak Pancasilais”.

Terlepas dari perdebatan itu, apa sih Pancasilais itu? Mengapa Panca Sila yang hanya lima itu bisa dan kerap kali memantik pembicaraan yang berujung debat kusir tanpa faedah? Apa Panca Sila itu benar-benar "sakti" seperti klaim Orde Baru? Lalu, kalau saya bukan "Pancasilais", negara mau apa?

**

Dalam pidato “Lahirnya Panca Sila” yang dikemukakan Ir. Sukarno pada 1 Juni 1945, dapat kita temuka berkali-kali ungkapan “philosophisch grondslag”, “weltanschauung”, “wetenschaap”, dan sebagainya. Dua ungkapan dari bahasa Jerman dan satu dari bahasa Belanda itu dipilih oleh Sukarno untuk terlebih dulu menjelaskan bahwa asas-asas yang hendak dipaparkannya bukan dibuat untuk tujuan politik sama sekali.

Dengan kata lain, asas-asas yang ia kemukakan itu bukan dipersiapkan untuk menjadi ideologi politik—yang biasanya berakhiran “-isme” dan memaksa pengikutnya menjadi “-is”. Apakah “philosophisch grondslag” yang dimaksud Sukarno di awal pidato itu? Menurutnya, “philosophisch grondslag” itu, “….ialah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnja, djiwa, hasrat jang sedalam-dalamnja, untuk diatasnja didirikan gedung Indonesia Merdeka jang kekal dan abadi!”  

Seiring berjalannya waktu, Panca Sila sebagai “philosophisch grondslag” ternyata tak bisa melenggang mulus tanpa halangan. Deraan revolusi fisik, krisis multidimensional sosial-politik di masa “Demokrasi Liberal”, hingga berujung pada Dekret Presiden 5 Juli 1959 adalah hambatan yang dilaluinya di masa kepemimpinan Sukarno. Barulah, ketika "Demokrasi Terpimpin" diberlakukan sebagai jalan keluar atas kesemrawutan situasi nasional selama dekade 1950-an, Panca Sila kembali dilirik.

Sukarno sebagai “Pemimpin Besar Revolusi” memerasnya dalam formulasi “Manipol-USDEK”—kependekan dari "Manifesto Politik" dan akronim lima komponen utama Manipol, yaitu "Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia". Untuk melengkapinya, pada pertengahan 1965, duet Panca Sila dan Manipol-USDEK ditandem dengan tiga pokok pikiran lain, yaitu trias “Nasionalisme-Agama-Komunisme”, “Trisakti-TAVIP”, dan “Berdikari”. Dua pokok terakhir adalah judul pidato Sukarno pada 17 Agustus 1964, dan pidato dalam Sidang ke-III Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara pada 11 April 1965; sedangkan pokok pertama adalah konsepsi persatuan tiga ideologi besar yang ketika itu meramaikan jagad perpolitikan Indonesia. Kelima tandem pokok pikiran itu dinamai “Panca Azimat Revolusi”.

Ketika angin politik berubah sesudah 1 Oktober 1965, konsolidasi kekuatan Sukarno mulai goyah dan semakin lapuk ketika memasuki warsa 1966 dan 1967. Sebaliknya, posisi Mayor Jenderal Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat justru semakin menguat dengan barisan pendukung yang sepakat beramai-ramai menggoyang Sukarno dari tampuk kekuasaannya. Sejalan dengan peralihan kekuasaan yang semakin menaikkan Soeharto ke atas angin, keputusan-keputusan politik pun mulai diambil, di antaranya menetapkan peringatan "Hari Kesaktian Panca Sila" setiap 1 Oktober berdasarkan Surat Keputusan yang diteken pada 17 September 1966. "Kesaktian" dalam hal ini ditengarai keberhasilan Panca Sila menumpas "percobaan kudeta Partai Komunis Indonesia" dan "menyelamatkan bangsa dari pemberontakan". 

Sukarno akhirnya terjungkal. Soeharto menaiki tampuk kekuasaan, dan mantra “Pembangunan” pun mulai diembus-embuskan untuk menghapus jejak-jejak ingar-bingar "Demokrasi Terpimpin" sekaligus ingatan kolektif akan Sukarno. Panca Sila pun turut bersalin rupa: dari pedoman revolusi yang dinamis dan fleksibel; menjadi ideologi politik yang kaku, statis, keramat, plus antikomunis. Menurut Roosa, sifat antikomunis dalam Panca Sila pun kemudian dinobatkan menjadi “agama negara”, lengkap dengan situs, upacara, dan tanggal sakral (2008: 9). Imam besarnya tiada lain dari Presiden Soeharto.

Tak puas dengan peringatan 1 Oktober, media massa pun digunakan mereproduksi cerita fiktif tentang penyiksaan jenderal-jenderal, kelicikan Partai Komunis Indonesia, kebuasan dan haus darah anggota-anggota Gerakan Wanita Indonesia dan Pemuda Rakjat, dan lain-lain. Puncaknya, film dokudrama Pengkhianatan G30S/PKI lahir pada 1984. Komplet sudah proses “mumifikasi” Panca Sila. Mengingat tendensi politik yang terkandung di dalamnya besar, Panca Sila pun ditahbiskan sebagai asas tunggal "Pancasilaisme". Setiap warga negara mutlak harus menjadi "Pancasilais".

Romantisme asas tunggal "Pancasilaisme" ternyata tidak bertahan lebih dari dua dekade. Sesudah Orde Baru ambruk dan bubar pada 1998, indoktrinasi "Pancasilaisme" tidak diteruskan. Produk-produk budaya populer turunannya dibekukan dan masuk gudang. Versi resmi sejarah kembali ditinjau ulang. Indonesia bersiap-siap meninggalkan dan menanggalkan warisan Orde Baru sebagai ingatan masa lalu. Tetapi bagaikan penderita Stockholm Syndrome, Indonesia kini justru mengharapkan kembalinya Orde Baru. Mereka yang merindukan Orde Baru—secara ironis—rata-rata pernah berjuang menjungkalkan Orde Baru. Kenal?

**

Dari paparan di atas, sesudah dua puluh dua tahun berjalannya reformasi, ada baiknya kita menepi dan berefleksi sejenak. Orde Baru sudah ambruk dan kapiran. Reformasi sudah berjalan dua dekade. Tetapi warisan Orde Baru seperti "Pancasilaisme" dan tuntutan setiap orang menjadi "Pancasilais" kini justru mengemuka. Polarisasi masyarakat bisa terjadi akibat perbedaan pandangan tentang Panca Sila yang diawali debat kusir yang berlarut-larut. Pentas politik semakin riuh-rendah di antara kepentingan penguasa dan pengusaha. Kontestasi elektoral 2024 mulai dibicarakan dengan sejumlah nama baru maupun lama untuk menduduki posisi RI-1. Di tengah kesemrawutan ini, masihkah Panca Sila benar-benar sakti sehingga setiap orang harus mendaku diri Pancasilais?

Saya menolak doktrin "Panca Sila sakti". Kalau Panca Sila benar-benar sakti, mengapa perpecahan begitu mudah terjadi; akumulasi kekayaan segelintir orang terus terjadi di samping jurang kemiskinan yang makin dalam; hak-hak berpikir dan berkeyakinan semakin diusik; dan frasa “kedaulatan rakyat” menjadi ditakuti oleh pemerintah?

Demikian pula saya menolak menjadi "Pancasilais". Panca Sila berikut kompleksitasnya tidak perlu berdiri eksklusif sebagai asas tunggal yang harus dijunjung mati-matian. Dalam ruang hidupnya sebagai filsafat dan fundamen, Panca Sila sudah memiliki raison d’etre sendiri sebagai “way of life” seluruh komponen bangsa: pemerintah, institusi militer, maupun masyarakat sipil.

Bukan seharusnya orang Indonesia bersikap mati-matian menjaga Panca Sila agar tidak diagresi ideologi lain, melainkan membiarkan Panca Sila bergerak bebas, hidup dalam pikiran dan tindakan setiap anak bangsa, serta membuktikan dirinya adalah sebenar-benarnya dasar yang paling cocok untuk menjadi—meminjam tema Ulang Tahun ke-55 Harian Kompas—“kawan dalam perubahan” bangsa Indonesia dalam memasuki perempat abad terakhir sebelum menginjak usia 100 tahun di 2045 nanti.

Romantisme Orde Baru tidak salah, hanya dengan wataknya yang ambisius itu, Panca Sila bukan makin hidup tetapi semakin layu. Puing-puing keruntuhannya masih kuat dalam ingatan kita. Ia runtuh, sebab Panca Sila dikerdilkan sedemikian rupa sehingga nilai-nilainya menjadi dangkal dan berujung pada krisis nilai yang akut dan menjadi bumerang bagi Orde Baru sendiri.

Sudah waktunya semua itu kita tanggalkan dan tinggalkan. Menyongsong dekade 2020 di tengah pandemi Covid-19 ini, kita harus mengingat ajakan Sukarno untuk “menemukan kembali Revolusi kita”. Bukan Revolusi bermandi darah atau perang saudara yang harus kita temukan, melainkan kebulatan tekad untuk sama-sama berubah. Bukan saling menjatuhkan dan menyerang musuh, namun berjabat tangan dan bahu-membahu mempersiapkan masa depan.

Sungguh, kamu bukan bangsa tjatjing! Kamu adalah bangsa berkepribadian banteng! Hajo, madju terus, djebol terus! Ever onward, never retreat! Kita pasti menang!” (Sukarno, 17 Agustus 1964).

***