Kita harus paham kenapa Fachrur Rozi dengan gagah berani melontarkan gagasan itu. Ia akan berbicara: beginilah cara mengatasi mereka.
Tidak salah bila publik akhirnya menuding bahwa sesungguhnya yang bermasalah adalah pemerintahnya. Pemerintah yang terkadang tidak becus, lebay, dan sungguh sangat sektarian! Cara berpikirnya menyimpang, tetapi memaksa rakyatnya harus bisa paham. Pemerintahlah yang suka bikin masalah, biang ribut, dan ujung-ujungnya dalam bahasa yang paling kasar menjadi teroris itu sendiri. Dan hari-hari ini Menteri Agama lah yang menjadi aktornya...
Menteri Agama yang kali ini sudah pilihan salah dari awal. Menunjukkan bahwa Jokowi bukan saja tidak sempurna, tapi dalam bahasa Jawa: nggugu karepe dewe. Terlalu mengikuti maunya sendiri. Atau terlalu tunduk pada tekanan. Tidak jelas betul sosok ini kompromi tentang apa, titipan siapa, dan apa pertimbangannya.
Dia orang militer, tidak pernah jelas betul reputasi dan prestasinya apa. Dan sial betul yang digantikannya adalah sosok dengan galur genetika yang jelas. Jadi kesalahannya bisa menjadi bertumpuk-tumpuk. Dan bila akhirnya Jokowi seolah harus berhadapan dengan anak buahnya sendiri, tentu itu adalah salahnya sendiri. Kesalahan yang berulang kali terjadi dan tampaknya dia nikmati....
Ia adalah Menteri Agama yang paling suka berwacana. Artinya suka melempar gagasan, baru atau basi tidak terlalu penting. Tapi jelas mengundang kontroversi. Nalar dasarnya sederhana ia suka cari perhatian. Wajar pengen diperhatikan karena, ia memang sudah salah dari premis pertama. Ia militer yang harus mengurus agama. Bukan right person on right place.
Seandainya ia orang LSM yang gila media, wajar karena dananya terbatas. Sehingga kalau ia tidak berteriak dan menggosip, tak ada yang memperhatikan dan menganggapnya penting. Tapi ini kementrian dengan dana yang segede gaban. Ia punya nyaris semua sumberdaya yang luar biasa, hingga bisa dibilang negara dalam negara. Tapi ndilalah dari ratusan juta umat yang harus dibinanya. Ia mbentoyong ke lagi-lagi berpihak ke kelompok sempalan yang sesungguhnya sangat pencilan dan minoritas itu.
Wacana terkasarnya adalah memulangkan combatas eks-ISIS. Di luar itu jangan lupa ia juga melontarkan banyak hal lain yang saya pikir parah banget. Sebut saja kursus pra-nikah di KUA. Di era internet dan demokrasi? Sehingga seorang muslim diejek rasa Kristiani? Tidak aneh bila ini dianggap hanya cara menambah anggaran di Kemenag untuk urusan-urusan yang tidak perlu.
Logikanya sederhana: kursus atau bimbingan pra-nikah di agama sebelah dimungkinkan karena azas dasar monogami dan perkawinan sekali seumur hidup. Lah ini di agama yang bukan saja orang bisa berkali kawin-cerai dan bahkan yang paling aneh diperbolehkan poligami sampai empat istri. Untuk apa kursus pra-nikah. Kan gagal, bosan, ribut tinggal talak, lalu cerai. Repot banget. Toh hasil akhirnya sekedar catatan statistik....
Kembali ke wacana pemulangan combatan eks-ISIS itu Konon argumentasinya adalah masalah kemanusiaan. Mereka state-less dan terkatung-katung.
Wajar, mereka pongah, menganggap kewarganegaraan-nya yang lalu itu thogut dan dengan bangga mendeklarasikan diri sebagai warga Islamic State yang seumur jagung itu. Mereka bangga dengan khilafah yang konon serba syariat itu, sebuah teks yang hanya enak dibaca. Padahal sesungguhnya mereka adalah "teror yang diciptakan", tak lebih sebuah organisasi kriminal multi-nasional berbasis agama yang diciptakan untuk kepentingan hegemoni Barat (baca: Amerika dan Inggris).
Mereka adalah perpanjangan tangan Pax-Britanica dan Americana yang mulai surut, tapi tak mau mengaku kalah. Sebuah gangster lintas negara yang sesungguhnya tak lebih sebagai komunal perampok, pembunuh dan pemerkosa itu. Dan setelah gagal total, mereka merengek ingin pulang. Karena mereka dikurung sebagai "kadal gurun" di tengah tenda yang pengap dan panas. Tak tahu kapan bisa kembali hidup normal. Dalam bahasa yang paling melodiusnya mereka: "ingin bisa tidur di kasur lagi, makan enak, dan tertawa lagi...."
Baca Juga: Jokowi dan 600 ISIS dalam Pikiran Fachrul Razi
Si Menteri Agama ini, tentu punya argumentasi dasar yang akan dipresentasikan di Rapat Kabinet atau ke depan publik secara luas sebagai teori kolaborasi de-radikalisasi. Di mana menggunakan eks teroris dianggap jauh lebih efektif untuk mencegah munculnya terorisme baru. Hal ini sudah menjadi "proyek basi" sejak zaman Operasi DI-TII hingga GAM, Kelompok Mujahid di berbagai daerah, maupun para pelaku pengeboman yang (sialnya) tidak dihukum mati.
Mereka akan menjadi atau lebih tepatnya dijadikan public figur atau public speaking untuk bercerita bagaimana bohongnya ide kekhalifahan itu. Betapa menderitanya hidup di bawah perang atau korban konflik berkepanjangan. Betapa mereka hanya menjadi korban dari isu yang salah, dan terjebak di dalamnya. Semua menjadi terlalu mudah ditebak. Karena semuanya adalah proyek, dan apa artinya itu proyek. Ya anggaran, fulus yang akan mengalir.....
Rencana pemulangan eks-ISIS, hanya menunjukkan bagaimana sel-sel teroris mereka telah tersebar di seluruh organ pemerintahan NKRI. Percayalah ISIS itu hanya sebuah nama lain sejenis a.k.a. Sebagai mainan te-remote-control kehadirannya nyata ada di mana-mana. Mereka sudah menjadi tetangga kita, mungkin supir ojek online kita, mungkin guru ngaji anak-anak kita. Ia bisa siapa saja, sebagian menjadi sel tidur, sebagian berani unjuk muka.
Mereka punya orang di kementrian, berbagai komnas, jaringan militer aktif atau eks-nya. Jangan ditanya di lembaga pendidikan, BUMN atau aparat ASN. Kita harus paham kenapa Fachrur Rozi dengan gagah berani melontarkan gagasan itu. Ia akan berbicara: beginilah cara mengatasi mereka. Pendekatan paling gampang, dengan resiko taruhan yang terlalu besar. Wajar publik menolaknya.....
Pertanyaannya apakah akan ada titik balik? Jawaban sederhananya: tentu bukan di era Jokowi. Ia baik, tapi tidak cukup kuat mengatasi ini semua. Bagi saya Jokowi sudah cukup berprestasi (lagi) kalau mau segera mengganti menteri agama-nya yang aroma pro-terorisme kental sekali ini.
Hobi kok ngopeni masalah, mas Jok.....
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews