"Demokrasi Sontoloyo" dalam Pilkades, Banyak "Boneka" Dihadirkan sebagai Pesaing

Kalau faktanya hanya ada satu calon dan tidak ada unsur rekayasa, maka calon tunggal bisa diakomodir dan tidak menciptakan calon-calon boneka hanya biar terkesan demokratis.

Minggu, 30 Juni 2019 | 17:52 WIB
0
454
"Demokrasi Sontoloyo" dalam Pilkades, Banyak "Boneka" Dihadirkan sebagai Pesaing
Ilustrasi Pilkades (Foto: Seputar Pangandaran)

Pada bulan Juni sekarang di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur di beberapa kabupaten  lagi musim Pemilihan Kepala Desa atau Pilkades serentak. Sekalipun namanya  Pemilihan Kepala Desa, namun masyarakat desa lebih sering menamakan "Pilihan Lurah".

Secara admintrasi istilah "Lurah" dipakai di perkotaan dengan status sebagai PNS. Padahal istilah Lurah itu ya dari desa. Makanya orang zaman Mataram menyebutnya Ki Lurah.

Dalam  Pilkades ada aturan atau regulasi yaitu Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur, bahwa minimal dua calon dan maksimal lima calon.Kalau calonya hanya satu, maka Pilkades akan diundur sampai ada calon lain atau lawannya. Jadi dalam Pilkades tidak ada calon tunggal. Karena calon tunggal dianggap tidak mencerminkan demokrasi.

Tetapi faktanya, di lapangan banyak masyarakat yang tidak berminat mencalonkan diri sebagai  calon kepala desa. Bisa jadi penyebabnya adalah mahalnya biaya untuk menjadi calon kepala desa dan tidak mendapat tanah garapan atau tanah bengkok. Dulu Kepala Desa mendapat tanah garapan atau tanah bengkok.

Akhirnya banyak calon Kepala Desa yang mengakali aturan dengan menjadikan Suami atau istri dan  kakak atau adik sebagai pesaing untuk mencalonkan sebagai Kepala Desa. Mereka bukan menjadi lawan atau pesaing sungguhan dalam Pilkades. Namun,hanya sebagai boneka atau lawan untuk memenuhi formalitas adminitrasi.

Ada seorang petahana Kepala Desa, karena menit-menit akhir penutupan pendaftaran belum ada lawan atau pesaingnya, maka Kepala Desa atau suami tersebut mendaftarkan istrinya untuk menjadi pendamping atau lawan dalam Pilkades. Istri ini bukan istri yang durhaka pada suaminya, tetapi justru ingin membantu suaminya supaya terpilih kembali sebagai Kepala Desa.

Ada juga seorang kakak mendaftarkan adiknya sebagai calon Kepala Desa untuk memenuhi formalitas adminitrasi.

Seperti di Kabupaten Malang, ada Pilkades serentak di 269 desa. Banyak calon Kepala Desa yang mempunyai hubungan saudara, Kakak-adik, bahkan suami dan istri. Di Kabupaten Malang ini ada 21 calon Kepala Desa dengan status suami-istri dan status kakak-adik ada 10 calon, sebagaimana diberitakan Kumparan.com.

Bahkan di Tegal, Jawa Tengah juga ada, malah lebih awal karena Pilkadesnya pada tahun 2018. Yaitu seorang istri melawan suaminya dalam Pilkades. Sepuluh menit sebelum pendaftaran ditutup, suaminya mendaftarkan istrinya untuk menjadi lawan tanding di Pilkades. Karena tidak ada calon lain yang mendaftar sebagai calon Kepala Desa.

Inilah wajah demokrasi kita di tingkat desa. Di satu sisi melarang adanya calon tunggal karena dianggap tidak demokratis.Tetapi di sisi lainnya membolehkan calon boneka atau formalitas dalam Pilkades. Demokrasi Sontoloyo!

Bahkan untuk menjadi calon Kepala Desa harus punya modal atau duit Rp1 milyar sampai dengan Rp1,5 milyar. Cikal bakal politik uang itu sebenarnya ya dalam Pilkades ini. Dalam Pilkades satu amplop itu berisi  Rp100 ribu sampai Rp200 ribu. Bahkan dalam hal tertentu ada yang sampai Rp500 ribu. Ini dilakukan kalau persaingan sengit atau ketat. Jor-joran!

Dan politik uang dalam Pilkades itu terang-terangan dalam memberikan amplop. Karena tidak ada pengawas seperti Bawaslu dalam pemilu. Dan tidak ada juga lembaga survey atau quick count atau hitung cepat. Tetapi ada sisi positifnya yaitu ada beberapa Pemilihan Kepala Desa sudah menggunakan e-Voting atau elektronik. Akurat dan cepat. Yang kalah pun tidak menggugat sampai ke Mahkamah Konstitusi.

Dan suasana dalam Pilkades sangat panas, bahkan bisa terjadi bentrok fisik antar satu desa hanya karena beda pilihan. Bahkan waktu saya masih SMP, sampai main santet-santetan. Suasana malam hari sangat mencekam, saling curiga antar warga.

Harusnya Kementerian Dalam Negeri bisa merivisi aturan atau regulasi Pilkades. Kalau faktanya hanya ada satu calon dan tidak ada unsur rekayasa, maka calon tunggal bisa diakomodir dan tidak menciptakan calon-calon boneka hanya biar terkesan demokratis.

Kalau menurut opini pribadi itu sama saja "demokrasi sontoloyo". Demokrasi formalitas adminitrasi tapi mengabaikan fakta dilapangan tanpa rekayasa. 

***