Saling Lapor Terkait Ujaran Kebencian, Ada Unsur Dendam?

Tokoh politik yang ingin maju dalam pilpres 2024 agar berhati-hati dalam ucapan, komentar atau dalam menulis di medsos agar tidak "diahokkan" atau "diferdinandkan".

Rabu, 12 Januari 2022 | 21:19 WIB
0
205
Saling Lapor Terkait Ujaran Kebencian,  Ada Unsur Dendam?
Ferdinand Hutahean (Foto: PikiranRakyat.com)

Ferdinand Hutahaean ditetapkan sebagai tersangka Mabes Polri terkait ujaran kebencian akibat cuitannya di media twitter.

Dalam cuitan tersebut Ferdinand menulis kalimat: "Kasihan sekali Allahmu ternyata lemah harus dibela. Kalau aku sih Allahku luar biasa, maha segalanya. DIA lah pembelaku selalu dan Allahku tak perlu di bela". Begulah cuitan  kalimat lengkapnya.

Mengapa Ferdinand Hutahaean dilaporkan ke aparat penegak hukum atau kepolisian?

Karena ada pihak-pihak yang merasa tersinggung dengan cuitannya yang dianggap melecehkan, merendahkan, mengecilkan atau melemahkan tuhan dalam Islam.

Apakah hanya karena faktor itu saja Ferdinand dilaporkan terkait cuitannya?

Sebelumnya Ferdinand juga pernah dilaporkan terkait cuitannya juga soal seseorang terkait tokoh yang disamarkan dengan nama "Caplin". Tetapi tidak ada kabarnya lagi terkait masalah itu.

Di media sosial itu baik Facebook atau Twitter ada pihak-pihak yang mengawasi atau saling mengintai seperti burung hantu yang mengincar mangsanya. Mencari-cari kesalahan terkait ucapan, tulisan atau unggahan status yang bisa dipermasalahkan secara hukum.

Bahkan ada orang-orang yang dianggapnya musuh karena dituduh sering menyudutkan umat Islam dan orang itu sedang dibidik atau diintai di media sosial. Sebut saja Abu Janda atau Permadi dan Denny Siregar.

Kasus yang menjerat Ferdinand itu kurang lebih juga seperti itu yaitu ditunggu momennya kapan dia terpeleset terkait ocehannya dalam medsos. Pucuk dicinta ulam pun tiba dan saat-saat yang ditunggu itu tiba yaitu cuitannya di Twitter disambar oleh mata-mata burung hantu. Jadilah masalah hukum.

Sejak kasus Ahok yang dianggap menista agama Islam dan bisa menyatukan kekuatan ormas-ormas Islam bersatu padu untuk memenjarakan Ahok. Sejak itu mereka berburu cuitan tokoh-tokoh publik atau politik yang dianggap musuh dan tidak dalam barisan mereka.

Bahkan Ganjar Pranowo yang sekarang gubernur Jawa Tengah juga pernah nyaris diperkarakan lewat puisi yang dibacakannya. Padahal Ganjar membaca puisi karya Gus Mus seorang kyai atau pemuka agama. Penggalan pusinya yaitu "Kau bilang Tuhan sangat dekat, namun kau sendiri memanggilnya dengan pengeras suara setiap saat".

Orang yang ingin mencelakakan Ganjar dengan bacaan puisi ini dulunya seorang pembaca berita di televisi Patroli atau berita kriminal. Anehnya ia meminta maaf ke Gus Mus tetapi tidak minta maaf ke Ganjar Pranowo. Padahal yang ingin difitnah adalah Ganjar Pranowo bukan Gus Mus nya.

Ini semua sebenarnya ada kaitanya polarisasi pilpres 2014 dan 2019 yang membuat dua kubu "cebong vs kampret", dan "kampret" bermutasi menjadi "Kadrun". Kadrun pun ada Kadrun Garis Keras dan Kadrun Tulang Lunak. Dari sinilah awal muaranya. Berimbas sampai sekarang dan mungkin sampai 2024.

Kalimat atau kata-kata yang membawa Ahok masuk penjara, seandainya sekarang ada yang mengucapkan dengan kalimat atau kata-kata yang sama tetapi beragama Islam, seyakin-yakinnya tidak ada yang akan melaporkan atau dianggap menista agama Islam. Karena tidak ada kepentigan nilai politiknya,paling dianggap orang stres dan tidak usah diributkan.

Sedangkan Ahok adalah tokoh politik dan etnis atau agamanya juga lain, maka sempurnalah latar belakang yang berbeda itu menjadi bahan bakar tersendiri bagi pihak yang ingin memenjaraknnya.

Artinya ketika kalimat yang sama atau kata-kata yang sama-ketika diucapkan atau dituliskan dalam medsos dengan orang yang berbeda latar belakang agama atau etnis atau dengan status sosial yang berbeda-bisa membawa konsekuensi atau risiko hukum tersendiri.

Kalau mau mencari kalimat atau kata-kata yang dianggap merendahkan agama terkait perdebatan di media sosial, itu banyak dan lebih kasar dari apa yang dicuitkan oleh Ferdinand ini.

Untuk itu tokoh politik yang ingin maju dalam pilpres 2024 agar berhati-hati dalam ucapan, komentar atau dalam menulis di medsos agar tidak "diahokkan" atau "diferdinandkan".

***