Parpol Kehilangan "Identitas" Dirinya

Selasa, 1 Juni 2021 | 08:17 WIB
0
191
Parpol Kehilangan "Identitas" Dirinya
Foto Partai politik

MEMANG, keberadaan partai politik (parpol), acapkali disebut – sebut sebagai institusi infrastruktur politik masyarakat. Bahkan, tak terbayangkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tanpa ada institusi – institusi politik masyarakat.

Kehadiran parpol, hakikatnya berperan dan berfungsi menjemput aspirasi dan kepentingan – kepentingan masyarakat. Akan tetapi, di era disrupsi dewasa ini, aspirasi – aspirasi termasuk kontrol atas jalannya roda pemerintahan, nyaris tak terdengar dari lembaga – lembaga politik  masyarakat, dan lembaga politik resmi, seperti DPR/D. Justru ingar bingarnya bertubi – tubi datang dari warga nitizen, baik secara personal maupun melalui petisi – petisi seperti dalam laman Change.org, dan lain sejenisnya.

Sensitivitas warga nitizen menyuarakan aspirasinya, patut diapresiasi. Partisipasi politik via media sosial tidak dapat dianggap remeh temeh, justru menjadi bagian yang integral dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan – kebijakan negara (pemerintahan). Derajat keterlibatannya, secara sadar atau tidak, sesungguhnya mengembangkan nilai – nilai politik demokrasi.

Sementara, sensivitas parpol nyaris tak terdengar. Bahkan sunyi senyap ditelan arus perubahan digitalisasi politik yang dimainkan atau diperankan warga nitizen. Keberadaan parpol, yang sejatinya bukan berpangku tangan menunggu warga masyarakat mengadu (menyampaikan aspirasi), justru harus lebih sensitif atas isu – isu yang menyangkut kepentingan warga masyarakat. Begitu pun mereka para wakil rakyat (DPR/D) peran dan fungsinya mestinya lebih responsif (lagi), oleh karena sebagai lembaga politik resmi dalam merajut dan merumuskan kehendak rakyat, bukan sunyi senyap ditelan ingar bingar kemegahan fasilitas. 

Profil parpol dalam menggenjot eksistensinya belakangan ini “kejar – kejaran” dengan demokratisasi digitalisasi politik, yang nyaris sempoyongan, bahkan trend kepercayaan publik terhadap parpol, terus menerus turun berdasarkah hasil survei yang dilakukan lembaga-lembaga survei sejak priode Mei 2020 hingga Maret 2021 (baca: khususnya parpol yang ada di badan legislatif)

Gegap gempita isu yang terlontar harusnya mendapat perhatian parpol, karena mereka memikul fungsinya sebagai pelaku sosialisasi, pendidikan, dan komunikasi politik, di samping artikulasi dan agregasi kepentingan. Namun, parpol sibuk dengan persoalan konflik internal (faksi – faksi yang berada di sekelilingnya).

Sudah merupakan fakta, bahwa platform politik nasional negeri ini demokrasi menjadi alternatif pilihan dalam kepolitikannya.

Seiring dengan itu, keberadaan kelompok kepentingan, mengisyaratkan lembaga – lembaga demokrasi semakin kondusif untuk menjembatani kebhinekaan aspirasi dan tingkah laku politik masyarakat. Agregasi kepentingan merupakan sarana terjadinya konsensus dalam mendukung kebijaksanaan umum tertentu. Dalam teori struktural fungsional, agregasi kepentingan diperlukan sebagai salah satu fungsi – fungsi dasar masukan yang dilaksanakan dalam suatu sistem politik.

Bagaimana dengan partai politik yang secara formal melakonkan artikulasi kepentingan warga masyarakat?

Mestinya seiring dengan trend perubahan dewasa ini, atau era digitalisasi, sensitivitas partai politik harus lebih menonjol dalam mengartikulasikan kepentingan masyarakat. Begitu pun suprastruktur politik seperti DPR/D tanggap terhadap gelombang aspirasi dan tuntutan (tingkah laku) politik warga masyarakat.

Persenyawaannya, adanya political will suprastruktur politik, meramui artikulasi atau agregasi kepentingan pada sistem mekanisme politik yang lebih demokratis, hanya sebuah patamorgana. Kekuatan lembaga – lembaga politik atau demokrasi, yang memiliki peran dan fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat, justru tuna sensitivtas politiknya.

Sedangkan gelombang warga nitizen dengan narasi – narasi “politik” sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam berpartisipasi dan sekaligus kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan, dapat menunjukkan sensitivitasnya bagi pementingan persoalan – persoalan kehidupan masyarakat bangsa ini. ‘Ruang digital’ menjadi arena partisipasi dan kontrol warga nitizen (masyarakat) terhadap pergulatan penyelenggaraan pemerintahan.

Ironis memang, kalau saja peran dan fungsi institusi politik (infrastruktur politik – partai politik, dan suprastruktur politik – wakil rakyat) di era digitalisasi, justru kehilangan ruh substansinya.*

Bandung, 21 Mei 2021