Kultur progresif ini hanya hadir dalam ruang publik yang tak lagi didominasi satu agama, terlepas apakah ulamanya, pendetanya beraliansi atau berkonfrontasi dengan pemerintah.
Review Buku Ahmed T Kuru: Islam, Autoritarian and Underdevelopment.
Ibarat film, buku ini film kolosal. Penuh dan kuat dengan data. Mengupas sejarah Islam belasan abad. Jelas memperkaya perspektif yang tengah berkembang.
Pertanyaan besar diajukan. Mengapa Dunia Muslim yang dulu pernah maju kini tertinggal? Mengapa kawasan itu kurang demokratris?
Asyik dibaca. Menambah wawasan.
Tapi analisis dan rekomendasi buku ini, seperti kata anak gaul, terasa kurang “satu ons.” Masih terasa ada yang kurang sehingga spirit buku ini kurang progresif.
Demikianlah respon cepat saya membaca buku Ahmet T Kuru: ISLAM, Authoritarian, and Underdevelopment. A Global and Historical Comparison.
Buku ini terbit tahun tahun 2019, oleh penerbit berwibawa Cambridge University Press. Tebal buku lebih dari 300 halaman. Tebalnya tak terasa karena renyah dibaca.
-000-
Dua hal yang saya aminkan. Tapi satu hal yang saya beri catatan. Namun yang diberi catatan justru core philosopy, tesis utama buku itu.
Saya setuju dan senang dengan data perbandingan yang disajikan buku ini. Betapa kemajuan rata- rata dunia Muslim tertinggal jika dibandingkan rata rata dunia non- Muslim.
Itu baik terlihat dari kesejahteraan ekonominya. Itu juga terlihat dari kualitas demokrasinya.
Dari sisi data, sebenarnya yang dikembangkan oleh Human Development Index jauh lebih lengkap dan lebih komprehensif, jika dari sana dikategorisasi menjadi dunia muslim versus dunia non Muslim.
Saya juga setuju kritik buku ini atas dua teori sebelumnya, yang menjelaskan keterbelakangan Dunia Muslim.
Baca Juga: Turki-Malaysia-Pakistan: Harapan Baru Dunia Islam
Pendekatan esensialis menekankan kemunduran Islam berada pada esensi ajaran agama itu. Doktrin Islam bermasalah dengan kemajuan. Dalam bahasa popular: doktrin Islam tidak kompatibel, tidak seiring dengan etos peradahan modern.
Ahmed Kuru mengkritik pendekatan ini. Bukankah dengan ajaran dan doktrin yang sama, Dunia Muslim pernah juga mengalami masa keemasan (Golden Age), di tahun 800-1208. Masa keemasan itu terjadi justru ketika kawasan Dunia Barat masih di era kegelapan.
Penjelasan kemunduran Dunia Muslim lain: Politik Kolonial. Era kolonial lah penyebab kemunduran Dunia Muslim. Pelemahan kawasan itu, dari sisi ekonomi, kultural hingga politik, berlangsung massif di era kolonial.
Akibatnya Dunia Muslim tumbuh mengambil jarak dengan peradaban negara kolonial, mengembangkan sistem altenatifnya sendiri. Namun yang terjadi, sistem alternatif itu semakin membawa Dunia Muslim pada kemunduran.
Ahmed Kuru mengkritik pendekatan ini. Bukanlah era kemunduran Islam sudah terjadi sejak abad ke 13? Ini era dimana kolonialisme belum dikenal.
Buku ini menawarkan penjelasan lain. Penyebab mundurnya dunia Muslim, menurut buku ini, karena aliansi ulama ortodox dengan negara. Aliansi ini dimulai di abad 13 dan terus mengental.
Di saat yang sama, dunia barat justru memisahkan agama dan negara: state terpisah dari curch.
Dengan menyatunya ulama ortodox dan negara maka sumber kemajuan di dunia barat tak terjadi di kawasan muslim.
Itu adalah pertama: munculnya kelas intelektual dan borjuasi independen. Kelas itu terlepas dari dominasi agama dan negara.
kedua: juga tumbuh kemajuan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan, bukan Doktrin agama, yang menjadi basis public policy.
Ketiga: tumbuh pula keberagaman yang dilindungi. Sehingga sinerji keberagaman itu justru melahirkan enerji kultural luar biasa.
Ketiga variabel kemajuan itu tak terjadi di dunia muslim akibat kontrol ketat ulama ortodox dengan paham agama konservatif, anti kultur kemajuan, yang beraliansi dengan kekuasaan.
Dunia Muslim pun menjadi reaktif ketika dunia barat progresif.
Mengapa saya tak setuju dengan core philsophy, dengan tesis utama Ahmet T Kuru?
Karena data sejarah menunjukan hal yang lain. Bukan hanya aliansi ulama ortodox dan pemerintah yang memundurkan Dunia Muslim.
Bahkan untuk kawasan dimana pemerintah dan ulama ortodoxnya tidak beraliansi, bahkan berlawanan, berkonfrontasi, Dunia Muslim juga mundur.
Contohnya ada Aljazair di tahun 1989-1992. Di era itu, di wilayah itu berdiri partai FIS (Front Islamique du Salut, Islamic Salvation Front). Partai ini dikuasai ulama ortodox. (1)
Partai ini memenangkan pemilu. Tapi kemudian dikudeta oleh militer. Bahkan kemudian partai ini dilarang.
Jelas sekali dalam kasus FIS 1989-1992, bukan aliansi ulama ortodox dan pemerintah yang tejadi. Tapi di era itu justru berlangsung konfrontasi pemerintah dan ulama ortodox.
Baca Juga: Setelah Saddam Hussein Tumbang, Islam Syi'ah Kembali Berkuasa
Tapi ketika pemerintah dan ulama ortodox tidak beraliansi di Aljazair, Dunia Muslim itu, tetap tak maju.
Lalu apa penyebab kemunduran dunia muslim?
Saya mengajukan tesis alternatif. Sebuah negara akan mundur jika ruang publiknya didominasi oleh satu paham agama saja. Baik ketika ulama atau pendeta atau biksu itu beraliansi ataupun beroposisi dengan pemerintah.
Prinsip ini tak hanya untuk dunia muslim. Tapi untuk kawasan agama lainnya pula.
Karena itu, rekomendasinya: netralkan ruang publik dari dominasi satu agama. Tak penting apakah ulamanya atau pendetanya beraliansi atau beroposisi dengan pemerintah.
Dalam buku saya: 11 Fakta Era Google: Bergesernya Pemahaman Agama (2021), data kuantitatif saya sajikan menunjang tesis itu. (2)
Dengan netralnya ruang publik dari dominasi satu agama, dan negara netral atas 4300 agama yang kini hadir, ruang publik akan didominasi oleh kekuatan progresif yang bersumber dari kultur progresif.
Itu adalah ilmu pengetahuan, teknologi tinggi, manajemen modern dan prinsip hak asasi manusia.
Kultur progresif ini hanya hadir dalam ruang publik yang tak lagi didominasi satu agama, terlepas apakah ulamanya, pendetanya beraliansi atau berkonfrontasi dengan pemerintah.
Ibarat film kolosal, buku Ahmed Teru ini asyik diikuti. Tapi ending filmnya terasa kurang garam.
Febuari 2021.
Denny JA
***
CATATAN
1. FIS di Aljazair contoh bukan aliansi, tapi konfrontasi pemerintah (militer) versus ulama ortodox. Tapi Aljazair juga tak maju.
2. Buku Denny JA: 11 Fakta Era Google: Bergesernya Pemahaman Agama, dapat diklik di
Buku yang lain, juga berisi data dan rekomendasi dunia muslim untuk hijrah bertahap: Denny JA: The Path to Democracy and Freedom For The Muslim World.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews