Mewujudkan Maros KEREN dengan Religius dan Daya Sanding

Kemampuan daya sanding warga Maros untuk bersama-sama dengan anak-anak bangsa menjadi warga Indonesia, dan juga penduduk global, patut dipertahankan.

Kamis, 18 Maret 2021 | 23:57 WIB
0
229
Mewujudkan Maros KEREN dengan Religius dan Daya Sanding
Maros Keren (akun FB Maros Keren)

Pasangan Bupati, H.A.S. Chaidir Syam, S.IP., M.H., dan Wakil Bupati, Hj. Suhartina Bohari, 26 Februari 2021 lalu, telah dilantik untuk selanjutnya bertugas dalam memimpin kabupaten Maros satu periode ke depan.

Menyanggah daerah utara Sulawesi Selatan, sekaligus sebagai penghubung mobilitas dari lima provinsi lainnya di pulau Sulawesi.

Dengan kondisi ini, Maros menjadi pintu gerbang untuk memasuki ibukota provinsi Sulawesi Selatan.

Saat ini, 14 kecamatan untuk memberikan layanan di wilayah seluas 1.619 km2 dengan jumlah desa/kelurahan sebanyak 103.

Wilayah yang berada di tenggara kabupaten yang berbatasan langsung dengan Bone, Mallawa. Pemekaran dari kecamatan Camba. Konon, ini area dimana sebelum memasuki kerajaan Bone merupakan beranda Bone. Sekaligus merupakan tempat untuk menghadang musuh, sehingga dinamakan dengan Mallawa.

Saya perlu berpaling ke kawan yang duduk di sisi kiri untuk menkonfirmasi “sejauh mana urusan keagamaan dapat dijadikan sebagai program pemerintah kabupaten?” begitu kurang lebih kalimat saya dipenuhi keraguan.

Jangan sampai, untuk mempercakapkan soal agama, tidak menjadi urusan bupati dan wakil bupati.

Walau urusan keagamaan merupakan bidang kerja kementerian secara vertikal, tetap saja pemerintah daerah memiliki tanggungjawab untuk membina aktivitas keagamaan di kabupaten.

Selanjutnya, dalam kata penutup dalam proses orientasi penyusunan RPJMD, Bupati Maros menyatakan bahwa tagline KEREN, dimana kata R sendiri dimaknai dengan religius.

Sehingga, masyarakat Maros diarahkan untuk menjadikan agama sebagai bagian dari keteguhan dalam beraktivitas. Walau dalam diskusi daring sebelumnya, Thomas mengemukakan bahwa tidak ada hubungan antara kesalehan dengan pilihan menjadi nasabah bank tertentu.

Kita kesampingkan pendapat itu, dengan fokus untuk tetap memberikan konstekstualisasi religious itu. Secara parsial, saya sampai pada kalimat bahwa masjid tidak hanya dapat memberikan kesempatan bagi jamaah untuk turut dalam menyumbang bagi pembangunan masjid.

Dalam kesempatan yang sama, jamaah juga dapat bergotong royong untuk memberikan wakaf tunai pendidikan. Sehingga jangan sampai saldo masjid yang diumumkan dalam kesempatan Jumat, justru menjadi luka bagi warga yang mendengarnya ketika tidak mampu membayar biaya sekolah anaknya.

Di Sumatera Barat, kotak celengan di masjid tidak hanya sebuah saja. Bahkan sampai empat kotak, dimana ada peruntukan dana tertentu untuk setiap kotak yang ada. sehingga masjid menjadi sarana dalam mengumpulkan pendanaan untuk keperluan jamaah yang tidak terbatas pada pembangunan masjid saja.

Bahkan bolehjadi masjid juga menjadi tempat berkumpul untuk belajar dimana masjid memberikan layanan koneksi internet bagi jamaah. Semasa masih di pesantren, sebuah kegembiraan berkumpul antara maghrib dengan isya untuk mengaji.

Mungkin kerinduan itu, sehingga melintaskan keperluan adanya wifi di masjid untuk belajar bersama di antara dua shalat tersebut.

Berbanding anak-anak sekolah berkumpul di warnet, akan memberikan kesempatan yang khas di masa belajar daring, murid dan siswa justru berada di masjid.

Satu hal lagi, tidak saja daya saing. Tetapi, sama pentingnya dengan itu adalah daya sanding. Warga Maros perlu memiliki kemampuan keunggulan komparatif dan daya sanding dengan warga dunia lainnya.

Dimana adanya kemampuan tertentu, yang memang diperlukan untuk kehidupan di lingkungannya. Jangan sampai warga yang wilayah sepanjang pantai di selat Makassar justru tidak bisa berenang.

Tentu menguasai bahasa asing, akan sangat bagus. Ini akan menjadikan warga Maros dapat bersama dengan warga secara global. Akan tetapi, juga tetap diperlukan penguasaan bahasa ibu dalam hal hal ini Bugis atau Makassar. Juga bahasa atau dialek lain yang dijadikan sebagai alat komunikasi di masyarakat Maros.

Seperti Dentong, Nasrullah (2016) menyebutnya bahasa. Juga disebut bahasa oleh Kasmawati dan Fitrawahyudi (2020). Sebelum itu, dinamai dengan dialek (Nasrullah, 2015). Juga mengacu pada peta Bahasa kemendikbud, juga dengan istilah dialek.

Apapun itu, bahasa atau dialek, ketika masyarakat Cenrana mempercakapkan itu, saya tetap tidak bisa memahaminya. Sebagai bahasa yang benar-benar berbeda dengan komunikasi di masyarakat Camba.

Saya khawatir berlebihan, jangan sampai ada lomba pidato bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya, sementara bahasa daerah kita di ambang kepunahan.

Begitu juga dengan candaan kawan-kawan ketika kuliah di Makassar, jika mendapati teman yang berbahasa daerah dilabeli dengan pakkampong (kampungan).

Apapun itu, tetap saja ketika berada dalam beranda yang lebih luas, mempergunakan bahasa ibu akan terasa nyaman. Sementara adik saya yang lahir di tahun 1980-an, tidak lagi menguasai bahasa Bugis secara aktif. Tidak perlu lagi dipertanyakan untuk kemahiran membaca aksara lontara.

Akhirnya, dengan pemimpin muda yang menjadi nahkoda Maros dalam lima tahun ke depan, sebuah impian yang tak muluk jikalau berharap untuk menitipkan aspek religiusitas yang menjadi diantara program pembangunan daerah.

Begitu pula dengan kemampuan daya sanding warga Maros untuk bersama-sama dengan anak-anak bangsa menjadi warga Indonesia, dan juga penduduk global.

***