Sebaiknya Aktivitas Tambang Emas Tumpang Pitu Dihentikan!

Senin, 24 Februari 2020 | 11:25 WIB
0
293
Sebaiknya Aktivitas Tambang Emas Tumpang Pitu Dihentikan!
Tambang emas di kawasan Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi. (Foto: Youtube.com).

Sekedar mengingatkan, dalam acara pembukaan Rakornas Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di Istana Negara pada 23 Juli 2019, Presiden Joko Widodo, meminta agar pihak-pihak terkait tegas terhadap pemerintah daerah.

Ketegasan yang dimaksud adalah larangan untuk tidak membangun proyek di kawasan rawan bencana (KRB). Sebagaimana diketahui bahwa wilayah Gunung Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi ini memiliki sejarah bencana gempa dan tsunami.

Pada 3 Juni 1994 di kawasan ini terjadi gempa dan tsunami yang menimbulkan kehancuran, dan menelan korban sedikitnya 300 jiwa. Wilayah ini adalah satu KRB, terletak di lempeng megathrust selatan Jawa.

Sehingga dengan beroperasinya kegiatan pertambangan tersebut semakin menambah potensi kerawanannya dan menyebabkan rusaknya kawasan penyangga dan kawasan evakuasi yang dibutuhkan oleh warga dan ekosistem di sekitarnya.

Patut diketahui pada bulan Juli 2019 telah terjadi gempa berturut-turut sebanyak 3 (tiga) kali di pesisir selatan Banyuwangi, yang telah menimbulkan beberapa kerusakan di tiga Desa, yaitu Kandangan, Sarongan, dan Sumberagung.

Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono menyatakan hasil monitoring BMKG menunjukkan adanya klaster yang mengalami peningkatan aktivitas seismik mencolok.

Klaster tersebut adalah zona selatan Bali dan Banyuwangi, zona Cilacap dan Pangandaran, dan Selat Sunda. Daryono juga mengingatkan bahwa setiap gempa besar selalu didahului oleh serangkaian aktivitas gempa pendahuluan.

Jika merujuk kepada penegakan fungsi pengawasan kebencanaan yang telah diamanatkan oleh UU No 24 Tahun 2007 Pasal 71 yang menegaskan tentang peran serta fungsi pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap seluruh sumber, kebijakan pembangunan, dan kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan bencana.

“Maka sudah menjadi kewajiban Pemerintah Propinsi Jawa Timur untuk memiliki dokumen evaluasi dan pengawasan terhadap aktivitas usaha PT BSI (Bumi Suksesindo) dan PT DSI (Damai Suksesindo ) di pesisir selatan Kabupaten Banyuwangi ini,” kata Rere Christanto.

Menurut Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jatim itu, aktivitas pertambangan yang tidak mengindahkan keselamatan masyarakat dan lingkungannya telah lama menjadi momok mengerikan bagi kelestarian kehidupan di berbagai wilayah.

Menurut catatan WALHI Jatim, sejak 2013 hingga 2018, terus tercatat peningkatan bencana ekologis di Jatim.

Pada 2013 dan 2014 tercatat 233 kejadian bencana ekologis di Jatim, pada 2015 angka ini naik menjadi 297 kejadian, angka ini naik terus hingga pada 2018 tercatat sebanyak 455 kejadian bencana ekologis.

Bencana ekologis ini adalah akumulasi krisis ekologis yang disebabkan oleh ketidakadilan lingkungan dan gagalnya sistem pengurusan alam. Banjir, tanah longsor, abrasi, dan bencana kekeringan yang diakibatkan kerusakan lingkungan karena aktivitas manusia adalah bentuk-bentuk bencana ekologis yang mengancam kehidupan.

Dalam hal ini, bencana ekologis menunjukkan bahwa pemerintah seringkali gagal mematuhi regulasinya sendiri yang menyebabkan rusaknya fungsi-fungsi ekosistem.

Pembiaran, atau bahkan pelanggaran perizinan atas wilayah yang mempunyai nilai penting secara ekologis tidak bisa terus dibiarkan.

“Kita tengah menghadapi konsekuensi dari semakin banyaknya wilayah-wilayah lindung yang rusak dengan bentuk peningkatan jumlah bencana ekologis setiap tahunnya di Jatim,” ujar Rere Christanto.

Maka, kata Rere Christanto, ketimbang gembar-gembor tentang transparansi dengan bentuk tur mendatangi kawasan pertambangan dan menunjukkan aktivitas pertambangan, lebih baik bagi Pemprov Jatim serta PT BSI dan PT DSI untuk menyediakan dokumen.

Yakni, analisa resiko bencna serta evaluasi pengelolaan proyek di wilayah rawan bencana sebagaimana regulasi yang ada, karena jika dalam urusan dokumen saja terjadi kebuntuan informasi, maka pernyataan maupun kegiatan lainnya tidak lebih dari kosmetik belaka.

Karena adanya kebuntuan informasi itulah, WALHI Jatim mengajukan sengketa informasi terkait perizinan pertambangan emas di wilayah Tumpang Pitu, Kabupaten Banyuwangi.

Permohonan sengketa informasi ini diajukan karena permintaan informasi yang diajukan WALHI Jatim pada 26 Agustus 2019 terhadap Pemprov Jatim tentang dokumen evaluasi dan pengawasan atas salah satu proyek yang berada di kawasan rawan bencana.

Yakni yang dilakukan oleh PT Merdeka Copper Gold, Tbk melalui entitas anak perusahaan pertambangan di bawah bendera PT Bumi Suksesindo (BSI) dan PT Damai Suksesindo (DSI) di Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi sebagai bentuk wujud kegiatan pembangunan yang beresiko tinggi.

Dan, “Sesuai Pasal 12 huruf (d) dalam UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Kebencanaan, serta Dokumen AMDAL/Izin lingkungan PT DSI dan Izin Usaha Pertambangan PT BSI dan PT DSI tidak mendapatkan informasi yang dibutuhkan,” lanjut Rere Christanto.

Pertambangan yang dilaksanakan PT BSI dan PT DSI di Banyuwangi, berada di wilayah pesisir selatan sesuai Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pemprov Jatim adalah  daerah rawan bencana dan karenanya menjadi kawasan lindung Provinsi Jatim.

Kemunculan usaha pertambangan di wilayah rawan bencana yang telah dinyatakan sebagai kawasan lindung ini yang mendasari pertimbangan WALHI Jatim mengajukan permohonan sengketa informasi.

Yakni, untuk mencari tahu lebih lanjut bagaimana status evaluasi dan pengawasan atas salah satu proyek yang berada di kawasan rawan bencana yang dilakukan oleh PT Merdeka Copper Gold, Tbk melalui entitas kedua anak perusahaannya dan perizinan pertambangannya.

Pasak Bumi

Simaklah Al-Qur’an surah Al-Anbiya ayat 31: “Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka…

Dalam surah Al-Naba ayat 6-7, Allah SWT berfirman, “Bukankan telah Kami jadikan bumi sebagai hamparan. Dan Kami jadikan gunung-gunung sebagai pasak?

Simak pula firman Allah dalam surah An-Nahl ayat 15 ini: “Dan Dia menancapkan gunung gunung di bumi supaya bumi ini tidak berguncang bersama kamu.”

Sebagai Ketum Muslimat NU, saya yakin Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa sangat tahu maksud dari ketiga ayat Al-Qur’an itu. Bahwa gunung itu merupakan pasak atau paku bumi yang harus dijaga keberadaannya.

Perlu dicatat, para ahli geologi telah lama meneliti fungsi gunung sebagai pondasi penguat permukaan bumi. Adalah Profesor Emeritus Frank Press dari Washington, AS, salah seorang Geolog yang mengkaji tentang gunung sebagai sebagai pasak bumi.

Penasihat bidang ilmu pengetahuan di era kepemimpinan Presiden AS Jimmy Carter itu sempat menulis buku berjudul “The mountains, like pegs, have deep roots embedded in the ground”.

Melansir Republika.co.id, Selasa (06 Mar 2012 15:16 WIB), lewat buku “Gunung, seperti pasak, berakar di dalam tanah” itu, Press mengungkapkan apabila gunung dibelah berbentuk irisan maka akan terlihat akar atau alur bersama lava yang mengikat kuat di dasar tanah.

Ia juga mengungkapkan fungsi gunung yang memainkan peran penting dalam menstabilkan kerak bumi. Hasil penelitian ilmiah itu sebenarnya sudah disebut dalam kitab suci Al-Qur’an, sejak 1400 tahun yang lalu.

Penemuan Press itu membuktikan bahwa Alquran adalah mukjizat dan firman Allah SWT. Mengapa gunung diistilahkan sebagai pasak? Menurut Prof Press, sebenarnya, kerak bumi mengapung di atas cairan.

Lapisan terluar bumi kita itu membentang 5 km dari permukaan. Kedalaman lapisan gunung menghujam sejauh yang 35 km. Dengan demikian, pegunungan adalah semacam pasak yang didorong ke dalam bumi.

“Jadi gunung inilah yang berfungsi sebagai pasak untuk menstabilkan kerak bumi,” ungkap  Prof Press.

Hal senada juga diungkapkan Profesor Siaveda,  ahli geologi dari Jepang. Menurut Siaveda, ketika lempengan bumi saling bertumbukkan, maka lempengan yang lebih kuat menyelip di bawah lempengan yang satunya.

Sementara itu yang di atas melipat dan membentuk dataran tinggi dan gunung. Inilah yang mengikat kuat di dasar permukaan bumi.

Jadi, jika ada warga Sumberagung yang mendesak Gubernur Khofifah untuk segera menemui warga korban tambang yang sedang melakukan aksi di depan kantor Gubernur Jatim, adalah wajar. Mereka ingin menyelamatkan lingkungan dari ancama bencana.

Mereka pun sampai rela mengayuh sepeda sejauh 300 km dan berencana mogok makan jika tak ditemui Gubernur Khofifah. Mereka berangkat pada 15 Februari 2020, dan kini sudah berada di Surabaya guna menemui Gubernur Khofifah.

Warga Sumberagung dan sekitarnya telah melakukan aksi tolak tambang dengan memasang tenda perjuangan sejak 7 Januari 2020 lalu di Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi.

Pemasangan tenda perjuangan itu adalah sikap penolakan warga terkait kedatangan Brimob dan Tim Perusahaan Pertambangan (PT BSI) yang akan melakukan kegiatan pertambangan di Gunung Salakan (tak jauh dari Gunung Tumpang Pitu yang telah ditambang).

Dengan demikian umur tenda perjuangan yang didirikan telah memasuki umur 2 bulan. Tenda perjuangan tersebut akan tetap berdiri hingga waktu yang tidak ditentukan, sampai kemenangan yang diyakini akan datang.

Aksi mengayuh sepeda ini adalah lanjutan dari aksi pemasangan tenda itu. Dan puncaknya, warga akan menyerahkan ribuan tanda tangan penolakan pertambangan yang berasal dari warga Sumberagung dan sekitarnya ke Gubernur Khofifah.

Aksi ini melewati rute sepanjang 300 kilometer, dan singgah di berbagai titik konflik agraria yang tersebar di wilayah Jawa Timur.

Kini warga telah tiba di Surabaya, dan telah melakukan aksi di depan kantor Gubernur Jatim pada Senin-Selasa (20-21 Februari 2020). Tapi, Gubernur Jatim tetap tidak menemui warga.

Aksi ini dilanjutkan dengan mogok makan, yang rencananya dimulai pada Senin, 24 Februari 2020 hingga tuntutan terpenuhi.

***