Ketimpangan ekonomi, iya. Ketidakadilan, iya. Tapi intoleransi orang beragama, jangan-jangan bibit-kawit radikalisme dan terorisme.
Menurut Sitti Zuhro, Peneliti LIPI, masalah terberat dan serius Indonesia bukanlah radikalisme. Melainkan ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi.
Pada sisi lain, Fadli Zon, anggota parlemen dari Gerindra, mengatakan radikalisme hanyalah istilah, atau isyu, juga kambing hitam, yang ditiupkan pemerintah untuk menutupi ketidakecusan. Ketidakbecusan pada? Kira-kira sama persis rumusan Sitti Zuhro.
Benarkah isyu (atau masalah) radikalisme tak penting? Hanya sekedar pengalihan isu, seperti omongan Fadli Zon? Atau karena yang lebih penting adalah soal ketimpangan ekonomi, juga ketidakadilan?
Persoalannya, kenapa baru sekarang? Bukankah ketidakadilan, kemiskinan, ketimpangan ekonomi di Indonesia sejak rezim Soeharto? Bahkan sejak Sukarno? Kenapa saat itu radikalisme tidak muncul? Lagian, bijimana index ekonomi, index korupsi dari Sukarno, Soeharto, Jokowi? Tak ada pertumbuhan?
Atau karena masih bodoh? Belum sadar? Masih alim? Takut digebug? Belum ada tukang kompor? Karena medsos? Kita tak punya kajian serius mengenai hal ini. Jangan-jangan, ‘radikalisme’ yang dimaksud, beda dengan ‘terorisme’ sebagai istilah.
Jangan-jangan radikalisme yang dimaksud lebih pada sentimen agama sebagai alat politik praktis (kekuasaan) belaka? Pada jaman SBY, dan kemudian Jokowi, perubahan isu terorisme ke radikalisme itu terasa. Paska Pilpres 2014, juga Pilgub DKI Jakarta 2017, dan lebih-lebih Pilpres 2019, gradasinya menebal, dan tak selesai.
Masyarakat Indonesia, bukanlah masyarakat terorganisasi. Tak ada pemimpin panutan dan kharismatik, kecuali dengan isu-isu sektoral dan personal. Bukti nyata, di antara elite agama (karena agama juga mengenal kelas), saling silang-pendapat justru paling kuat.
Radikalisme dalam konteks ini, tumbuh karena tafsir agama itu sendiri. Latar belakangnya, adalah kepentingan politik jangka pendek. Menyebut radikalisme tidak penting, menjadi semacam upaya mendistorsi, agar tekanan pemerintah pada gerakan politik atas nama agama dikendorkan.
Jika konon seorang nabi, atas nama agama, ditugaskan memperbaliki akhlak manusia, menjadi pertanyaan; bagaimana hal itu diperankan? Karena jika agama, apapun, dijalankan dengan baik dan benar, serta tidak sombong, rasanya dunia indah semata.
Tak ada saling tuding saling menyalahkan. Tak ada intoleransi. Juga tak ada korupsi dan chatting sex. Kalau elite agama cuma ngomongin bidak catur, terompet, ucapan hari natal dan hari ibu; Slompretlah namanya.
Ketimpangan ekonomi, iya. Ketidakadilan, iya. Tapi intoleransi orang beragama, jangan-jangan bibit-kawit radikalisme dan terorisme. Beragama namun tak mengenal nilai etik kemanusiaan, bukankah itu kegagalan para elite mendidik? Atau bisa jadi malah menunggangi?
Kenapa persoalan ketimpangan ekonomi tak dikorelasikan dengan korupsi? Mengapa penegakan hukum takut pada tekanan majoritas? Mengapa bersikap intoleran, tak adil, tak proporsional sejak dalam kepentingan?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews