Sibuk Melihat "Casing"

Buat apa mendirikan negara, jika hanya manipulasi dan kamuflase belaka? Cara pandang kita, mungkin perlu dikoreksi, agar tak sibuk melihat casing.

Sabtu, 23 November 2019 | 11:07 WIB
0
313
Sibuk Melihat "Casing"
Presiden Jokowi dan 7 stafsus mienial (Foto: setkab.go.id)

Apapun yang diputuskan Jokowi, akan selalu dikritisi. Dari soal pengangkatan Ahok, atau yang terakhir, Stafsus Presiden dari generasi milenial. Presiden bahkan dicap terjebak borjuasi.

Kritik atas pengangkatan para milenial sebagai Stafsus Presiden, dari beberapa anggota DPR maupun ekonom senior generasi analog, sering tak substansial. Cenderung kritik baperan. Makanya disebut generasi analog, penuh dengan analogi-analogi, asumsi, kecurigaan, ketidakpercayaan. Berbeda dengan tuntutan generasi digital yang butuh akurasi data serta takaran yang presisi.

Meski pun daya serta gaya komunikasi Jokowi harus dikritik pula. Sering berasa ada ‘mising link’ di sana. Yakni uraian tentang latar belakang, sebab-akibat, dan proyeksi serta target capaian. Apakah karena ketaksabaran Jokowi, atas lambannya birokrasi? Atau, meski punya juru-bicara tapi tak punya kemampuan mengelaborasi pemikiran Presiden?

Benarkah pengangkatan stafsus milenial itu, Jokowi menyingkirkan yang ndesit, terpinggirkan, sekolah lokal, tak punya bisnis start-up? Beda dengan anak-anak milenial itu. Sejak lahir sudah borju, sekolah luar negeri, punya unicorn. Sudah gitu sebagai stafsus bergaji Rp51 juta perbulan. Padahal, penghasilan mereka sebagai CEO perusahaan masing-masing, jauh melebihi angka itu!

Kita jadi sibuk melihat casing. Tak melihat hal apa yang melatarbelakangi di tengah wangi dan karier gemerlapnya. Kita lupa mereka telah mampu memecahkan kebuntuan birokrasi negara, yang tak berpihak pada masyarakat miskin, terpinggirkan, serta tak punya akses.

Ada berapa ratus ribu UMKM, juga masyarakat miskin, serta penyandang disabelitas yang tertolong dengan orientasi dan proyeksi bisnis mereka? Teknologi komunikasi dan informatika yang mereka kembangkan, membuka ruang-ruang yang selama ini diskriminatif.

Jika orang-orang itu disinergikan dengan anak-anak muda yang berjuang di pelosok, melakukan advokasi, pendampingan kelompok masyarakat miskin, kita akan melihat terobosan luar biasa. Membangun sinergitas dengan enterpreneur muda lulusan lokal, drop out, yang bergerak di desa-desa. Membuka pasar-pasar baru.

Persoalan kita kini adalah konektivitas dan sinergitas. Jokowi type Presiden masa kini, yang tak berangkat dari pidato-pidato gagah, seperti pemimpin jaman perang. Ia orang biasa saja, yang secara manajerial memoderasi semua potensi yang ada. Mungkin tak sangat heroik, namun retorika di abad digital makin tidak relevan.

Ratusan tahun demokrasi, perjuangan tentang ketidakadilan masih terus diperlukan. Buat apa mendirikan negara, jika hanya manipulasi dan kamuflase belaka? Cara pandang kita, mungkin perlu dikoreksi, agar tak sibuk melihat casing.

Menjadi tak adil mengkritisi kewangian generasi milenial ini, namun senyampang itu toleran terhadap kelompok intoleran yang acap tak punya dasar kuat, selain fanatisme buta dan reunian mulu. Pesan politiknya di sana, tapi kita tak menangkapnya.

***