Prilaku seperti ini sudah seperti bukan di lingkungan manusia, dibilang kerajaan binatang terlalu kasar, tetapi cari padanan yang setimpal juga tak ada.
Indonesia punya 34 Gubernur, 560 sekian Kabupaten/Kota, 8.500 Kecamatan, dan 85.000 Desa, ditambah jumlah PNS yang mencapai 4,2 juta, belum lagi anggota DPR, MPR, DPD, DPRD yang jumlahnya bisa mencapai diatas 50.000 manusia.
Dari segi pembiayaan APBN disedot +/- 26 % untuk membiayai gaji para birokrat, bahkan kata Menkeu ada 131 daerah yang APBDnya di atas 50% untuk gaji pegawai. Riau salah satu contoh daerah yang menyedot 48 % untuk gaji pegawai dari APBD, harusnya gajinya diganti asap dari kebakaran hutan yang tak mereka padamkan.
Jutaan manusia di atas nyaris semua jadi benalu pemerintah, bicara kepala daerah saja tak usah anggota DPR/D, Gubernur dan Bupati / Walikota, tak sampai 20 orang yg prestasinya terukur, apalagi Jakarta, Ibu Kota Indonesia ini bak kota yang baru dilanda gempa, APBD 70an triliun dijadikan bancaan yang tak bisa dipertanggungjawabkan.
Contoh nyata, zaman Ahok dana kunker DPRD Rp 8 Milyar berjalan tanpa masalah, zaman Anies naik menjadi 13 kali lipat menjadi 108 milyar, tak jadi apa-apa, malah ada tim TGUPP 73 orang yg nyaris menyamai jumlah anggota DPRD yg gak jelas kerjanya.
Prilaku seperti ini sudah seperti bukan di lingkungan manusia, dibilang kerajaan binatang terlalu kasar, tetapi cari padanan yang setimpal juga tak ada. Bayangkan kursi DPR bisa jadi rebutan orang yang tak bermoral serta entah apa skilnya sekelas Mulan Jameela, prestasinya hanya ngembat suami temannya, Indonesia sedang masuk zaman pesakitan karena memang sengaja di sakitkan.
Kembali kepada kerusakan moral dari output sekolah zaman orba yang membentuk mental koruptif, kolutif yang masif, sehingga kehadiran sebuah rencana membangun kebenaran dianggap musuh bebuyutan.
Hadirnya Jokowi dianggap musuh abadi, tak usah bicara koalisi, semua seperti makan nasi basi, sehingga sebenarnya Jokowi kerja sendiri, malah sambil jalan dikerjai ama teman sendiri, karena dari lingkungannya Jokowi masih dikerubuti lebih dari 70% orang-orang orba yang pura-pura kerja, sekaligus mata-mata untuk mengganjalnya.
Andai saja mereka tak ada mungkin 5 tahun pertama kerja, Indonesia sudah bisa diperbaiki setengahnya, dan 10 tahun Jokowi berkarya, Indonesia telah tersistim dengan baik untuk menuju sebuah negara maju.
Triliunan dana untuk pilkada hanya menghasilkan manusia kelas 5, jangankan membuat perencanaan, mengeksekusi pekerjaan saja mereka tak bisa, terus kita bisa berharap apa, dan sampai kapan kita cuma melihat kehadiran sampah manusia yang hidupnya dibiayai kas negara, malah sekarang sudah dibuatkan teman-teman di Senayan, korupsilah karena akan didenda 2 juta saja, sama dengan denda wanita pekerja yang pulang kemalaman serta gelandangan yg tak bisa pulang dan pengamen yang tak dapat tumpangan pulang.
Ini akibatnya kalau RUU dirancang oleh orang yang kepalanya berisi otak udang, outputnya liar dan jalang.
Akumulasi kegaduhan ini adalah akibat pembiaran ketidakbenaran. Kita hanya membenarkan yang bisa, nukan membiasakan yang benar. Maka hasilnya menjadi Indonesia yang dibenar-benarkan padahal menyimpan penyimpangan yang luar biasa diluar norma kemanusiaan yang seharusnya ada.
Dimana-mana bicara agama, menghujat keyakinan yang berbeda, tumpeng dilarang masuk gereja, Rocky Gerung dan Lieus diminta tausiah di masjid, padahal mereka baru mimpi basah, dan sambutan takbirpun sambil mendesah sembari membayangkan hidup zaman khilafah yang kelak membuatnya berdarah-darah.
Ahhhh..semoga Indonesia tetap terjaga dari kaum durjana agar pancasila tetap ada sebagai pondasi keberagaman, bukan melulu bicara keagamaan tapi kelakuan jauh dari mengerti soal kemanusiaan.
Jadilah manusia sebelum belajar agama, karena agama tidak perlu didwakan melainkan bagaimana kita bisa menjalankan kebenaran yang diajarkan
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews