Rekonsiliasi dan Upaya Menjaga Keseimbangan Politik

Politik praktis berorientasi pada kekuasaan memang dianggap lumrah, tetapi hendaknya keseimbangan yang tercipta di sana tidak membuat rakyat terguncang karena nasibnya tertendang.

Selasa, 16 Juli 2019 | 08:47 WIB
0
395
Rekonsiliasi dan Upaya Menjaga Keseimbangan Politik
Prabowo dan Jokowi (Foto: Kompas.com)

Dengan berakhirnya drama Pilpres 2019 berupa pilihan presiden dan pilihan legislatif, semestinya ketegangan antar kubu sudah mulai mereda, hingga akhirnya mencapai ekuilibrium.

Namun keseimbangan itu harus dicapai melalui berbagai tahap, salah satunya adalah rekonsiliasi yang telah terjadi antara Prabowo dengan Jokowi di dalam MRT. Harapan masyarakat untuk rekonsiliasi tersebut akhirnya tercapai, media pun memberikan sorotan kepada kedua tokoh tersebut, sejuk, damai seakan tanpa dendam sedikitpun diantara keduanya. 

Pertemuan tersebut menjadi bukti bahwa Jokowi senantiasa menjaga pertemanan dengan Prabowo yang merupakan rival politiknya, mantan walikota Surakarta tersebut sudah menunjukkan sebuah arti kemenangan yang sebenarnya.

Sedangkan Prabowo telah menunjukkan sikap kenegarawanan yang baik, ia juga terbukti mematuhi segala putusan Mahkamah Konstitusi dan tidak mengerahkan massa pada saat MK membacakan putusannya.

Namun yang menjadi masalah adalah, masih banyak pihak yang terbius oleh mantra kekuasaan. Layaknya musafir yang merasa dahaga di gurun pasir. Beberapa golongan ingin mencicipi manisnya kue kekuasaan.

Saat ini hampir di semua negara demokrasi menerapkan konsep Trias Politika, baik berupa pembagian maupun pemisahan kekuasaan. Secara umum kekuasaan dapat dibagi menjadi beberapa fungsi yaitu legislatif, yudikatif dan eksekutif tetapi dengan nuansa yang berbeda.

Kekuasaan eksekutif bisa dipegang oleh raja, presiden atau perdana menteri. Kekuasaan yudikatif oleh Mahkamah Agung atau sejenisnya. Kekuasaan legislatif di parlemen bisa terbagi dalam Majelis Tinggi dan Majelis Rendah dengan berbagai variasi.

Di Inggris kita mengenal House of Lord dan House of Commons. Di Amerika Serikat ada Kongres yang terdiri dari House of Representatives (Dewan Perwakilan Rakyat) dan Senat. Sementara di Belanda kita mengenal Eerste Kamer dan Tweede Kamer.

Praktik Trias Politika di Indonesia cukup unik. Sementara untuk eksekutif kita hanya mengenal presiden, berbeda dengan legislatif dan yudikatif. Di legislatif kita mempunyai Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sedangkan untuk yudikatif kita mempunyai Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Pada lembaga itulah dengan yudikatif sebagai pengecualian para politisi banyak yang berminat bermain disana.

Terlepas dari drama Pilpres, calon legislatif juga tak jarang menggelontorkan banyak anggaran untuk modal kampanye agar dapat merasakan kursi di parlemen, mulai dari hutang dengan jaminan sertifikat tanah, atau pinjam sanak saudara untuk keperluan mencetak alat peraga kampanye.

Persaingan pun sangatlah ketat, bahkan terkadang ada partai yang sama sekali tidak berhasil meloloskan kadernya untuk mendapatkan kursi di DPR. Kegagalan ini ternyata berdampak pada psikis sang caleg yang merasa bahwa uangnya telah habis. Alhasil mereka pun akhirnya mendapatkan perawatan kejiwaan secara serius karena merasa shock atas kegagalannya.

Bagi yang berhasil duduk di kursi DPR, tentu saja selain menampung dan menyampaikan aspirasi rakyat, sebagian dari mereka juga telah menjalin kontrak politik dengan beberapa golongan yang telah memberikan dukungan kepadanya.

Dengan berbagai proyek yang ada, maka permainan para anggota DPR akan dimulai agar pundi – pundi rupiah yang telah menjadi modal kampanye dapat kembali masuk ke dalam kantongnya. Lantas jika mereka telah terlibat korupsi dan tertangkap KPK, mereka akan tetap tenang melambaikan tangan kepada awak media meski jas orange telah dipakainya.

Jika sudah seperti itu, siapa yang menjadi korban? Tentu rakyat yang memilihnya, karena merasa calon yang dipilih tidak menjalankan amanah dengan baik.


Selain itu isu tentang perpecahan juga masih saja muncul meski Prabowo dan Jokowi telah bertemu, dan berpelukan. Namun perpecahan tersebut ternyata ada dalam kubu Prabowo sendiri, dimana sebagian pendukungnya telah legowo menerima kekalahan, sementara beberapa pendukungnya yang lain menganggap bahwa Prabowo adalah pengkhianat, hal ini tentu hanya akan memperunyam stabilitas politik di Indonesia.

Padahal Pemilu sudah selesai beberapa bulan yang lalu, KPU dan MK sama – sama memutuskan kemenangan untuk Jokowi. Prabowo juga telah menyatakan siap untuk turut berperan dalam membangun Indonesia dengan menjadi oposisi. Karena bagaimanapun juga oposisi tetap dibutuhkan demi keseimbangan politis.

Dalam konteks perpolitikan, politik keseimbangan dimainkan dengan membagi pos – pos di lembaga – lembaga tersebut diantara mereka.

Politik praktis berorientasi pada kekuasaan memang dianggap lumrah, tetapi hendaknya keseimbangan yang tercipta di sana tidak membuat rakyat terguncang karena nasibnya tertendang.

***