Memahami Kengawuran Politik

Dalam konteks ini, menjadi golput hanya salah satu cara menunjukkan berpolitik yang lebih bodoh daripada kebodohan itu sendiri.

Sabtu, 30 Maret 2019 | 09:08 WIB
0
403
Memahami Kengawuran Politik
Ilustrasi (Foto: Facebook/Sunardian Wirodono)

Apakah politik sesuatu yang susah? Atau menyusahkan? Sebetulnya nggak gitu-gitu amat mandangnya. Sama seperti apakah agama nyusahin? Bisa jadi, kalau dijalankan dengan cara salah.

Seperti dikatakan Presiden Perancis pertama, Charles de Gaulle: Politisi tak pernah percaya ucapan mereka sendiri, karena itulah mereka sangat terkejut bila rakyat mempercayainya. Maka ada yang mengatakan politik itu mahal. Bukan hanya untuk yang menang, seperti kata Will Rogers, untuk kalahpun kita harus mengeluarkan banyak uang.

Sangat beruntunglah mereka jika bisa meraih kekuasaan. Dan alangkah beruntungnya sang penguasa, bila rakyatnya tak bisa berpikir, sebagaimana ditulis Hitler. Berpikir adalah pekerjaan terberat, karena itulah sedikit sekali orang yang mau menggunakannya. “Apabila dua orang selalu sepakat dalam segala hal,” kata Lyndon B. Johnson, Presiden AS ke-36, “itu berarti cuma satu orang yang berpikir.”

Mangsalahnya, dalam praksis politik kita, rasanya tak ada yang bodoh. Semua pinter ngomong, juga pinter bohong dan ngeles. Demokrasi adalah pemerintahan yang diisi dengan banyak diskusi. Meskipun pada hematnya, demokrasi hanya efektif bila engkau mampu membuat orang lain tutup mulut. Entah dengan argumentasi, atau lakban.

"Politik adalah seni mencari masalah, menemukan di mana-mana, mendiagnosis bahwa itu salah, dan menerapkan solusi yang salah juga," ujar Groucho Marx dalam sinismenya.

Karena dalam politik kebodohan bukan suatu penghambat, setidaknya demikian Napoleon Bonaparte. Apalagi jika kenyataannya, yang terbersit dalam kampanye politik adalah bagaimana memenangkan pemilihan tanpa perlu membuktikan layak menang.

"Memang harus hati-hati dalam memilih. “Hanya butuh banyak orang-orang baik untuk menempatkan orang yang salah dalam kekuasaan, dan semua jatuh dalam mantra mereka,” kata Hugh Howey, penulis Amerika Serikat. Saya dahulu bilang bahwa politik adalah profesi tertua kedua di dunia. Yang pertama adalah prostitusi. Namun saya baru menyadari politik dan prostitusi itu sama kotornya (Ronald Reagan).

Kenyataan tragis kita sebagai rakyat jelata, selalu ingin memilih yang terbaik dalam pemilihan, tapi sayangnya orang seperti itu tidak pernah jadi kandidat. Itulah sebabnya, politik kemudian hanya menentukan siapa yang akan memiliki kekuasaan, bukan memiliki kebenaran.

Dalam konteks ini, menjadi golput hanya salah satu cara menunjukkan berpolitik yang lebih bodoh daripada kebodohan itu sendiri. “Cara menghindari pekerjaan yang berat, jangan kerjakan!" Kayak gitu deh slogannya.

Benarlah ujar Nikita Khrushchev, "Para politisi sama saja di dunia. Berjanji membangun jembatan, padahal di tempat itu tak ada sungai.” Ketika mengetahui hal itu, sang politikus bisa saja ngegombal, “Kita akan bangun sekaligus sungainya pula....”

***