Jauh sebelum Arab Spring meletus, kita dulu pernah mengenal FIS. Gerakan Islam politik di Aljazair ini muncul di awal 90-an. Inilah gerakan politik Islam modern yang dianggap sukses paska Revolusi Islam Imam Khomeini di Iran tahun 1979.
Bermula di tahun 1988, Mahkamah Agung Aljazair membuka keran demokrasi di negerinya. Era multipartai diberlakukan, setelah sekian lama didominasi partai tunggal Front Liberation National (FLN) yang berdiri tahun 1954.
FLN adalah partai tunggal berideologi arab nasionalis, cenderung sosialis dan berjarak dengan kelompok Islam saat itu. Dengan posisi politik yang makin tak karuan, beleid MA yang membolehkan munculnya partai lain membuat FLN semakin melemah.
Puluhan partai dengan beragam basis ideologis berdiri. Kelompok Islamis Sunni bersatu dalam FIS (Islamic Salvation Front). Tahun 1990, mereka mulai berlaga di pemilu lokal memperebutkan kursi parlemen daerah. Hasilnya mengejutkan, lebih dari separuh pemilih (54%) direbut FIS. FLN sendiri hanya mampu meraih 28% suara.
Tanda-tanda kemenangan FIS semakin kentara. Mereka mulai mendominasi wacana demokrasi di Aljazair. Puncaknya di pemilu nasional tahun 1991, FIS berhasil merebut 48% kursi parlemen nasional dan karenanya berhak membentuk pemerintahan.
Tak siap dengan kekalahan itu, militer Aljazair meradang. Mereka tak mau ada “orang lain” berkuasa atas negeri itu.
Hasil pemilu 1991 itu kemudian dibatalkan sepihak oleh militer. Semua petinggi FIS ditangkap, termasuk 40,000 kader FIS dijebloskan ke tahanan. Masjid-mesjid dijaga ketat.
Kejadian ini kemudian memicu kekerasan berkepanjangan di negeri itu. Beberapa negara luar bahkan sempat ikut terlibat mendukung salahsatu pihak.
Di perang sipil Aljazair yang berlangsung panjang selama 10 tahun ini, tercatat Saudi dan Iran bahu membahu membantu FIS, sedangkan militer Aljazair didukung oleh Eropa, Amerika dan negara-negara Afrika tetangganya.
Sikap tak siap kalah ini menghasikan jumlah korban di kedua pihak, angkanya mengerikan; 150,000 jiwa tewas dalam perang yang baru berakhir di tahun 2002.
Dari persitiwa ini, kemudian Dunia Barat mulai memberi label "Islam Fundamentalis" ke kelompok-kelompok Islamis yang mencoba merebut kekuasaan dengan kekerasan. Ini jauh sebelum Taliban, ISIS, HTI bermunculan.
==
Kita tak mau kejadian di ALjazair 1992-2002 itu terjadi di negeri kita.
Demokrasi adalah pesta politik, kontestasi yang ada di dalamnya sama-sama punya tujuan baik; merawat Indonesia dan menggiringnya ke negeri sejahtera.
Dua kubu capres sama-sama punya cita-cita mulia, tak ada yang hendak merusak negeri ini. Lihat janji-janjinya, semuanya muluk dan membuat mata berbinar-binar; infrastruktur diperbanyak, utang dikurangi, gaji dinaikkan, harga bahan pokok ditekan, intinya semua serba ideal.
Namun sikap ini perlu dibarengi dengan sikap dasar sebuah perjalanan demokrasi: siap kalah, siapapun itu.
Suara rakyat adalah suara tuhan, siapapun yang mendapat suara terbanyak dalam kontestasi ini, wajib dihormati sebagai representasi mutlak suara mayoritas rakyat Indonesia.
Jangan karena tak siap kalah, kemudian ada pihak-pihak yang mulai mempertanyakan kredibiltas penyelenggara pemilu. Jangan karena survey menunjukkan calonnya terpuruk, lantas kotak TPS dipermasalahkan.
Suara tergerus bukan pula karena spanduk yang dirobek. Persoalan criminal dibawa ke pidana, tak boleh kemudian dijadikan wacana politik nasional seakan-akan sedang mengalami kedzaliman politik.
Yang saya pribadi kahwatirkan, mereka yang tak siap kalah dalam pemilu nanti, akan kembali berulah mengerahkan massa. Mereka sudah cukup merasa jumawa dengan reuni 212 yang diklaim mendatangkan 8 juta, atau 13 juta massa.
Kekuatan massa ini tentu besar karena termobilisasi di satu titik, magnitudenya jauh mengalahkan “mayoritas diam’ yang tersebar di seluruh pelosok negeri.
Mereka yang tak siap kalah, dan tega mengoyak negeri ini, tentu akan memakai cara licik untuk menegasikan kekalahannya. Tuduhan-tuduhan sudah disiapkan, bukti-bukti palsu dirancang. Menakutkan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews