Murka Prabowo pada Media dan Kisah Pemanjat Rambutan

Rabu, 12 Desember 2018 | 07:20 WIB
0
678
Murka Prabowo pada Media dan Kisah Pemanjat Rambutan

"...Saya katakan, hai media-media yang kemarin tidak mau mengatakan ada belasan juta orang atau minimal berapa juta orang di situ, kau sudah tidak berhak menyandang predikat jurnalis lagi. Kau, boleh kau cetak, boleh kau ke sini dan ke sana. Saya tidak akan mengakui anda sebagai jurnalis lagi. Enggak usah, saya sarankan anda tak usah hormat sama mereka lagi. Mereka hanya antek dari orang yang ingin menghancurkan Republik Indonesia..." (Prabowo, sumber)

Kemurkaan Prabowo terhadap sejumlah media arus utama yang tak meliput kegiatan reuni 212 ternyata tak hanya berhenti sampai dikeluhan pribadinya saja, namun berlanjut ke ruang di luar ranah pribadinya, menjadi sebuah narasi besar yang dibagikan kepada publik. Hal itu terungkap dari isi pidatonya pada acara peringatan Hari Disabilitas Internasional ke-26 di Jakarta, Rabu, 5 Desember 2018.

Kemurkaan seseorang di satu sisi merupakan hal manusiawi. Namun di sisi lain, tidak etis dan mengandung pertanyaan besar soal kepribadian orang tersebut, yakni menyangkut sifat dan sikap pengendalian diri di dalam sebuah situasi tertentu.

Bila seorang anak kecil marah di depan orang banyak karena tidak dibelikan mainan oleh orang tuanya, maka orang lain yang melihatnya cenderung akan memaklumi karena paham bahwa anak kecil bersifat reaktif. Anak kecil belum mampu mengendalikan dirinya. Secara personal, si anak kecil belum matang aspek kejiwaannya.

Walau marah di depan banyak orang, satu hal "positif" anak kecil itu adalah dia bisa spontan menciptakan narasi dari kemarahannya itu, namun dia tidak menjadikan narasi itu untuk mengajak orang lain membenci orangtuanya. Sebaliknya, si orangtua tidak etis dan tidak bermoral bila membangun narasi kepada orang banyak untuk membenci anaknya sendiri.

Bila seorang bos murka kepada anak buahnya yang lalai juga dianggap wajar, sejauh kemarahannya itu disampaikan dalam konteks kerja dan di tempat yang tepat, misalnya dipanggil ke ruang kerja. Dia "diperbolehkan" marah karena adanya hubungan "kontrak kerja" atau ikatan kerja dan relasi tanggung jawab kantor antara bawahan dan atasan.

Akan sangat tidak pantas, bila kemarahan si Bos itu diungkapkan dih adapan banyak orang saat memberikan pidato di depan para orang jompo pada acara bakti sosial di panti jompo yang diselenggarakan kantornya. Lebih tidak pantas lagi bila dalam kemarahannya itu dia menciptakan narasi untuk mengajak orang banyak di ruang itu--termasuk media yang meliput--untuk tidak hormat atau menjauhi bawahannya---walau si Bawahan tersebut dibawah kendali si Bos dalam ikatan kerja tadi.

Kisah dan Narasi Pemanjat Rambutan

Hal lain lagi. Ada seorang bapak yang sangat bersemangat naik pohon untuk memetik buah rambutan di halamannya sendiri. Setelah puas memetik buah rambutan, si Bapak itu baru tersadar tidak bisa turun, atau lebih tepatnya takut turun sendiri.

Dia kemudian berteriak kepada orang atau tetangganya yang lewat untuk dibantu turun atau mengambilkan tangga. Namun sejumlah tetangga yang lewat itu hanya menoleh sejenak sambil tersenyum malu, lalu pergi begitu saja. Bisa jadi karena terburu-buru dan menganggap si Bapak itu pasti bisa turun sendiri. Akhirnya ada satu orang tetangga yang kemudian menolongnya.

Ketika sudah turun, si Bapak itu kemudian murka kepada sejumlah tetangganya karena tadi tidak menolongnya. Lebih lanjut, si Bapak menciptakan sebuah narasi dari pengalaman di pohon rambutan. Isi narasi itu mengajak warga satu RT bahkan RW di lingkungan tempat tinggalnya untuk membenci dan menjauhi para tetangganya yang tadi tidak mau menolongnya. Narasi si "Bapak Rambutan' tersebut tergolong narasi negatif.

Saat berada di atas pohon rambutan tadi, si Bapak sebenarnya tak sepenuhnya menderita. Pohon itu adalah miliknya dan berada di halaman rumahnya sendiri. Saat dia naik penuh semangat dan memetik buah rambutan dengan riang gembira. Dia tak (perlu) ingat keberadaan tetangganya. Namun dalam perkembangannya ketika usai panen rambutan tidak dibantu tetangganya, dia kecewa. Lalu, berdasarkan kekecewaan tadi, dia mengajak warga se-RT dan RW nya untuk tak menaruh hormat kepada para tetangganya sendiri.

Si Bapak itu mungkin lupa akan beberapa hal dalam hidup bertetangga. Tetangganya itu merupakan bagian dari perjalanan hidupnya selama bertempat tinggal di rumahnya yang ada pohon rambutan. Di masa lalu, tetangganya itu secara langsung atau tidak, pernah menolong dirinya, atau anggota keluarganya saat dia tidak berada di tempat.

Narasi Prabowo

Prabowo merupakan sosok yang kompleks. Dia seorang Calon Presiden. Prabowo seorang pendiri dan ketua partai politik besar. Prabowo seorang politikus yang disegani. Prabowo seorang pembina silat, olahraga khas Indonesia. Prabowo seorang mantan jenderal dari kesatuan elit. Prabowo seorang pengusaha kaya raya.

Prabowo seorang mantan menantu Presiden RI yang pernah berkuasa selama 32 tahun. Prabowo seorang yang dilahirkan dari keluarga kaya yang tergolong kaum intelektual. Prabowo seorang yang pernah mengenyam pendidikan menengah di luar negeri saat banyak anak seusianya di Indonesia hanya bisa bermimpi tentang hal itu.

 

sumber gambar ; tribunnews.com

Kalau diurutkan, masih banyak lagisetting diri seorang Prabowo di dalam kompleksitasnya. Beragam setting diri itu merupakan keberuntungan sekaligus kekayaan diri yang tak banyak dimiliki orang di Indonesia.

Dengan bekal banyak setting diri itu, Prabowo bisa membangun banyak narasi dari penggalan pengalaman dirinya--baik yang enak maupun tidak enak--yang otomatis bergaung di ruang publik. Tinggal bagaimana mengelola kehendak hati, etika dan, moral saja untuk menciptakan narasi itu. 

Semua setting diri itu pula sejatinya harus bisa mengontrol dirinya dalam membangun narasi. Setting diri itu hanya bagian dari kompleksitas diri. 

Saat membangun narasi, yang harus dia jadikan patokan adalah kesatuansetting itu, atau kompleksitas dirinya. Puncak kompleksitas dirinya adalah "jabatan" sebagai calon presiden, sebuah tanggung jawab politis di dalam kekinian dirinya.

Dalam dunia politik, membangun narasi adalah hal biasa. Untuk mendapatkan keuntungan politis, narasi bisa saja ditujukan kepada lawan politik. Di lain waktu, gantian si lawan politik melakukan hal yang sama. 

Jadi sesama pelaku politik di entitas politik, melakukan "serangan" dengan narasi politik adalah hal biasa. Sementara, dalam relasi pribadi antar pelaku politik tersebut bisa tetap terjalin baik layaknya relasi antar manusia biasa.

Posisi politik terlebih dengan "jabatan" calon presiden, "mengharuskan" seorang tokoh politik bermain narasi dengan cantik, agar mampu diterima banyak orang. Narasi itu, sejatinya tetap dalam konteks di entitas politik. Sementara di luar entitas politik adalah anak bangsa atau elemen bangsa.

Mereka itu bagai anak sendiri---yang bila nakal tidak boleh dibuang atau dijauhi atau dihukum didepan orang banyak. Mereka ini berada di level bawah tapi bukan bawahan yang terikat oleh kultur kantor. 

Mereka adalah tetangga satu lingkungan permukiman, tapi mereka bukan musuh akan penjajah yang harus dibenci beramai-ramai. Karena semua itu--anak bangsa atau elemen bangsa---akan menjadi bagian dari kehidupan seorang presiden kelak bila si capres jadi presiden.

Ketika Prabowo membangun narasi "mengajak publik untuk tidak menghormati, menjauhi, mencap pembohong" kaum media atau pers arus utama maka narasi itu merupakan narasi negatif dari seorang calon pemimpin bangsa, calon bapak terhadap anak bangsa, dan calon pembina elemen bangsa.

Dengan narasi negatif itu, kekayaan kompleksitas diri yang dimiliki  Prabowo menjadi tidak ada artinya. Dia tak lebih orang biasa dengan setting diri yang tak punya kemampuan membangun narasi yang baik di ruang publik. Kompleksitas diri Prabowo--yang relatif sempurna--tak menjadikan dirinya mampu berhadapan secara elegan terhadap "persoalan" dari satu anak bangsa atau elemen bangsa.

Padahal persoalan bangsa ini begitu banyak dan kompleks yang melibatkan anak bangsa atau elemen bangsa. Sikap menjauhi kaum pers atau media arus utama yang notabene adalah elemen bangsa bisa menjadi preseden ketidakmampuan Prabowo berhadapan dengan kompleksnya persoalan bangsa. 

Sekarang aku jadi pengen manjat pohon rambutan, tapi sebelumnya bawa tangga, dong... Kalau ada teman diam-diam mengambil tangga itu dan menyembunyikannya saat aku asyik memetik rambutan, aku sih rapopo....

----  

Sumber referensi berita : satu, dua, tiga,empat, lima