Sudah jamak dalam pandangan publik bahwa Lippo Group, salah satu grup bisnis terbesar di Indonesia adalah pendukung Joko Widodo sejak pilkada DKI 2012 hingga pilpres 2014.
Oleh para lawan politik, dukungan para bos Lippo Group kepada Jokowi kemudian dijadikan peluru politik yang menyerang Joko Widodo sebagai pemerintahan yang tunduk kepada konglomerat. Apalagi pada 2015 Presiden Jokowi memberi penghargaan Bintang Jasa Utama kepada 13 orang yang dua di antaranya adalah orang Lippo Group.
Kedua orang terkait Lippo Group yang menerima penghargaan Bintang Jasa Utama itu adalah Mochtar Riyadi (pendiri Lippo Group) dan Dato Sri Prof. Dr. Tahir, bos Mayapada Group yang juga menantu Mochtar Riyadi atau ipar James Riyadi. Mochtar adalah orang terkaya ke-5 di Indonesia versi Forbes, sementara Tahir berada di urutan ke-11.
Maka banyak isu ditembakkan untuk mengesankan pemeritahan Jokowi tunduk kepada grup bisnis ini. Misalnya rumor bahwa Joko Widodo tidak berani membubarkan Grab karena ada investasi Lippo Group di balik perusahaan transportasi online berbasis teknologi ini. Ada pula tuduhan bahwa Meikarta, proyek perkotaan raksasa yang dikembangkan Lippo berjalan duluan tanpa ada izin pemerintah namun Pemerintahan Joko Widodo tidak berani berbuat apa-apa.
Yang namanya isu berdasarkan hoaks pun fakta terpisah namun sesuka hati dihubungkan sulit untuk dibantah sekedar dengan pernyatan-pernyataan. Para penyebar isu memang sengaja menciptakan dan menyebarkannya untuk tujuan politik, bukan karena ketidaktahuan mereka.
Demikian pula para konsumen memang ingin mempercayainya, menolak fakta-fakta bertentangan yang disodorkan kepada mereka. Hal inilah yang membuat di Amerika Serikat hoaks kemudian disebut sebagai alternative fact dan menjadi ciri era post-truth.
Secara teori, terutama jika kita membedah kekuasaan negara (power of the state) menggunakan pendekatan instrumentalis, para pebisnis (kapitalis) memang berkepentingan menggunakan negara untuk memaksa kepentingan-kepentingannya.
Kepentingan-kepentingan itu bisa berupa kepentingan kolektif yang mewakili kepentingan kelas kapitalis, pun kepentingan subjektif individual pengusaha-pengusaha.
Untuk menjadikan negara sebagai instrumen pemaksa kepentingannya, para pengusaha terlibat langsung dan tak langsung di dalam politik. Yang tak langsung berupa mendanai para politisi yang sepaham dengannya. Yang langsung adalah dengan terjun langsung mendirikan partai politik dan mencalonkan diri untuk duduk di kursi pemerintahan dan parlemen.
Mekanisme lain seperti melalui lembaga pendidikan dan proses penyaringan dalam pekrekrutan birokrat seperti yang dijelaskan instrumentalist Ralf Milliband tak perlu kita uraikan di sini.
Namun kadang kala para pengkritik pemerintah atau lawan-lawan politik yang sengaja mendiskreditkan rejim yang berkuasa dengan peluru "kedekatan pemerintah dengan kapitalis besar" sengaja mengabaikan unsur relative autonomy of the state.
Otonomi relatif negara diakui keberadaanya oleh semua teori kekuasaan (instrumentalis dan strukturalis) yang society-centered (berbeda dengan state-centered approach Weberian yang melihat negara memiliki kemerdekaan absolut dari pengaruh society).
Otonomi relatif negara maksudnya pemerintah sebagai subsistem negara yang berperan sebagai operator kekuasaan negara, tidak selalu bertindak mewakili kepentingan para kapitalis, sekalipun para kapitalis inilah yang mendanai kampanye para politisi yang memenangkan kursi pemerintahan.
Keberadaan otonomi relatif negara ini tampak dengan sejumlah kebijakan atau perisitwa dimana penerapan kekuasaan negara merugikan kepentingan kaum kapitalis secara kolektif sebagai sebuah kelas, atau kapitalis individual yang dekat dengan kekuasaan.
Keijakan tax amnesty adalah salah satu bukti pemerintahan Jokowi bertindak relatif otonom sebagai kebijakan itu bertentangan dengan kepentingan kelas kapitalis Indonesia yang ingin agar aset-asetnya tidak tersentuh pajak dan ingin melakukan lindung nilai dengan menempatkan dananya di luar negeri.
Sementara untuk kasus kedua, pertentangan kebijakan negara dengan kepentingan kapitalis individual (Pemerintahan Joko Widodo dan KPK dengan Lippo Group) tampak dengan penetapan Eddy Sindoro sebagai tersangka kaus penyuapan jual-beli perkara PN Jakarta Selatan.
Eddy Sindoro bukan orang sembarangan. Dalam berkas putusan pidana Edy Nasution, Eddy Sindoro disebut sebagai Presiden Komisaris Lippo Group.
Eddy Sindoro dijerat KPK sebagai tersangka sejak tahun 2016 namun melarikan diri, berpindah-pindah ke empat negara.
Penetapan Eddy Sindoro sebagai tersangka, pengeluaran daftar cekal kepada dirinya, hingga kini proses hukum terhadapnya setelah penyerahan diri, pun proses hukum terhadap orang-orang yang diduga terlibat di balik pelariannya adalah bukti sederhana bahwa penegakkan hukum di era Presiden Joko Widodo tidak pandang bulu. Orang-orang penting dari grup bisnis raksasa yang dikabarkan mendukung pencalonan Joko Widodo pun tidak lolos dari jerat hukum.
Proses hukum terhadap Eddy Sindoro, Presiden Komisaris Lippo Group adalah bukti sederhana bahwa Joko Widodo bukan presiden yang tunduk begitu saja pada orang-orang superkaya yang berjasa kepadanya.
Kekuasaan negara pada dasarnya adalah relasi sosial. Tiap-tiap grup sosial, partai politik, dan individu memainkan strategi untuk mempengaruhi kekuasaan negara. Presiden Joko Widodo adalah individu yang berada dalam medan relasi sosial itu. Ia adalah agen politik aktif yang memiliki kehendak dan kepentingannya sendiri, bukan subjek pasif yang hanya menuruti tarik-menarik kepentingan dan strategi agency-agency politik lain dalam pusaran kekuasaan.
Sumber:
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews