Profesional Atau Hipokrit, Yang Manakah?

Menjadi ironi ketika para aktivis dan jurnalis marah karena menganggap pemerintah bersikap represif tapi di saat yang sama mereka melakukan berbagai represi atau pembungkaman suara "lawan".

Senin, 17 Agustus 2020 | 23:03 WIB
0
394
Profesional Atau Hipokrit, Yang Manakah?
Tempo dan buzzer (Foto: Facebook/Aldie El Kaezzar)

Jagat Twitter seminggu ini diramaikan kontroversi RUU Omnibus law yang di-endorse beberapa influencer media sosial. Beberapa selebtwit meminta maaf terbuka atas "iklan" mereka, di antaranya Gofar Hilman dan Ardhito Pramono. Namun yang memicu perseteruan panjang adalah Ardhito setelah membuat pengakuan terbuka ke Tempo.

Sontak Tempo menyambar momen ini dan membuat laporan ekslusif wawancara dengan Ardhito. Framing negatif tak bisa dihindarkan, julukan buzzer atau pendengung kembali beredar luas di jagat dunia maya. Celaan dan hinaan pada selebriti dan juga pendukung RUU Omnibus kembali membanjiri medsos.

Namun ternyata angin tak lama berbalik. Hari ini Tempo terlihat menerima iklan dari PT. Freeport Indonesia atas ucapan dirgahayu RI. Berbagai celaan dan hujatan kini berbalik dari kutub berlawanan menertawakan Tempo karena perusahaan ini seringkali menjadi sasaran kritik yang dimuat Tempo sendiri.

Di satu sisi, ini bisa dilihat sebagai bentuk profesionalisme. Artinya, walaupun perusahaan kerap meminta media untuk mengiklankan dirinya, itu tak mempengaruhi independensi mereka. Silahkan beriklan, kami tetap kritik. Begitu kira-kira.
Tapi dari sudut yang berbeda, ini dapat dilihat sebagai tindakan hipokrit.

Sebagian pihak pasti akan bertanya, "Rajin jelek-jelekkin orang tapi pas dia ngasih duit kok diterima juga?" Kira-kira seperti itu kasarnya.

Inilah yang terjadi pada Tempo hari ini ketika mereka kedapatan menerima placement dari Freeport, pihak yang seringkali menjadi "musuh". Sebetulnya hal ini tak akan terjadi jika saja Tempo tak berusaha melakukan framing terhadap aktivitas para selebtwit atas twit endorse #IndonesiaButuhKerja yang digaungkannya.

Posisikanlah pihak yang bersuara pro atau kontra sebuah isu secara netral dan berimbang. Sejatinya, itulah demokrasi, ia memberi ruang tarung bagi aspirasi, apapun itu.

Memang menurut penolak RUU Omnibus Law, pendukung RUU dianggap sebagai pihak yang turut menindas kaum lemah (buruh) dan lingkungan. Tapi dari sisi yang berbeda, para pendukung juga melihat para penolak sebagai penghambat kemajuan melihat RUU ini sebagai jembatan mempermudah investasi tanpa mengorbankan lingkungan.

Kontroversi ini sulit diselesaikan melalui diskusi media sosial. RUU ini termasuk rumit karena memuat puluhan revisi UU sekaligus. Contoh yang sederhana saja, sampai saat ini bahkan masih viral dan beredar luas hoax terkait penghilangan hak cuti haid dan hamil di RUU Omnibus Law. Padahal hak tersebut masih ada, tidak pernah dihilangkan dan ini sudah pernah dijelaskan sejak Februari lalu.

Pelabelan buzzerp pada pendukung RUU Omnibus Law sendiri pada hakikatnya justru dapat dilihat sebagai perusak demokrasi. Bagaimana tidak? Labelling termasuk jenis sesat logika, ad hominem. Melakukan teknik shoot the messenger, membunuh karakter lawan untuk membungkam suara dan menjatuhkan opininya.

Menjadi ironi ketika para aktivis dan jurnalis/media marah karena menganggap pemerintah bersikap represif tapi di saat yang sama mereka sendiri melakukan berbagai represi atau pembungkaman suara "lawan" melalui labelling atau penjulukan negatif untuk menjatuhkan pihak lawan. Salah satunya melalui label buzzerp itu.

Ini juga yang terjadi pada kasus "persekusi online" atas kampanye yang dilakukan selebtwit di atas karena dianggap erat terkait dukungan ke RUU Omnibus Law. Mereka membuli pengendorse, bukan mematahkan argumennya. Ini justru menciderai demokrasi itu sendiri.

Demokrasi seharusnya menjadi arena tarung bagi ide, narasi dan argumen. Tak setuju, patahkan argumennya, kalahkan narasinya, tumbangkan idenya. Gagal di fase pengesahan, masih ada fase lanjutan di MK, gugat UUnya. Itu baru demokrasi sejati. Bukan malah melakukan labelling atau penjulukan negatif demi menjatuhkan pihak lawan untuk menggolkan propagandanya sendiri.

17 Agustus 2020, hari ini tepat Indonesia merayakan kemerdekaan yang ke-75. Tapi sayangnya, demokrasi di Indonesia kini tengah dirusak oleh mereka yang kerapkali dikenal sebagai pejuang kebebasan bersuara, termasuk sebagian oknum para aktivis dan media.

Dan ini semakin menajamkan jargon bahwa sampai saat ini, memang cuma link yang sanggup menyatukan bangsa. Ketika yang pro bersorak dan yang kontra tak melakukan peghakiman. Hanya mengingatkan melalui pesan pribadi, "Ntar lu japri gw ya."

***