Bagaimanakah wajah dunia saat itu? Saat ketika lima puluh negara yang mayoritas penduduknya Muslim hijrah memeluk demokrasi dan kebebasan? Pastilah dunia terasa rumah yang lebih damai, lebih bersinar, dan lebih nyaman untuk tinggal.
Tapi mungkinkah itu? Mungkinkah mayoritas lima puluh negara Muslim berbondong-bondong atau berangsur- angsur hijrah memeluk demokrasi dan kebebasan?
Jawabnya tak hanya mungkin, tapi harus. Ia mungkin karena sistem yang tumbuh di satu negara adalah anak kandung dari dinamika politik, ekonomi dan budaya. Terbanglah lebih tinggi melihat lima ribu tahun peradaban. Apa yang kita lihat? Tak lain dan tak bukan yang nampak hanya satu: Yang tak berubah hanyalah perubahan itu sendiri.
Bekerjanya hukum sosial selalu mungkin memaksa lima puluh negara Muslim hijrah memeluk demokrasi dan kebebasan.
Lebih dari mungkin, ia harus! Mayoritas 50 negara muslim harus memeluk demokrasi dan kebebasan. Selalu lahir para pemimpi, pejuang, pahlawan yang inginkan lebih.
Pew Research Center, lembaga peneliti berpusat di Amerika Serikat menyatakan sejak tahun 2070 nanti, penduduk Muslim akan menjadi terbanyak di dunia.
Hadirnya negara muslim yang bebas dan demokratis, atau yang sebaliknya, akan mempengaruhi dunia nyaman atau bergolak. Apalagi saat itu, mulai tahun 2070, muslim adalah populasi paling banyak.
Demi dunia yang lebih baik, mayoritas lima puluh negara Muslim harus hijrah memeluk demokrasi dan kebebasan. Yang tersisa kemudian adalah kapan dan bagaimana?
Maka kitapun menyelam mengelaborasi “the social origin of democracy and freedom.” Asal usul dan kekuatan sejarah yang melahirkan demokrasi serta kebebasan itu yang menjadi kunci.
Sejarah akademik telah mengajarkan kita untuk melampaui dua jenis kesia-siaan. Kesia-siaan pertama adalah pertanyaan apakah Islam dan demokrasi itu sesuai atau tidak? Apakah ajaran Islam dan nilai dasar demokrasi itu compatible?
Ini pertanyaan yang sia- sia karena Islam sebagimana agama lain, dan konsep besar lain adalah wilayah interpretasi. Selalu tersedia interpretasi dari ujung kiri, tengah hingga ujung kanan.
Di ujung kanan ada ulama dan akademisi tipe Sayyid Abu Maududi (1903-1979) dan Sayyid Qutb (1906-1966). Dengan seluruh pengetahuannya, ia menjelaskan prinsip Islam berbeda dengan demokrasi.
Demokrasi bersandar pada kedaulatan rakyat. Sedangkan Islam bersandar pada kedaulatan Tuhan. Karena Tuhan berdaulat, negara harus dibangun dengan prinsip agama. Negara bagian dari Agama. Sedangkan Demokrasi memisahkan wilayah agama dan negara.
Namun di ujung kiri, ada pula akademisi Muslim yang tak kalah piawai: Abdul Karim Souroush (1945- ). Ia berpandangan sebaliknya. Islam itu selalu berasosiasi dengan demokrasi dan kebebasan.
Menurut Soroush, dan ulama lainnya, ajaran Islam itu bertumpu pada nilai Hurriyah (kebebasan), Adl (Justice), Shurah (konsultasi), dan Ijtihad (interpretasi rasional). Inti ajaran Islam ini paralel dengan prinsip demokrasi dan kebebasan.
Di ujung kanan ada gerakan wahabi. Ia kubu Islam yang konservatif. Kubu ini tak sejalan dengan prinsip hak asasi manusia yang dirumuskan PBB.
Tapi di ujung kiri ada gerakan Progresive Muslim. Ini gerakan yang mendukung wanita sebaga Imam sholat bahkan bagi para pria. Gerakan ini juga menyediakan mesjid bagi pernikahan homoseksual.
Pertanyaan apakah Islam selaras dengan demokrasi tak akan memberi kepastian apapun karena beragamnya interpretasi. Apalagi kitapun membaca sejarah. Apa yang terjadi pada dunia nyata bukan semata produk sebuah interpretasi agama, tapi juga hasil pertarungan nyata kekuatan sosial, politik dan ekonomi.
Kitapun tak lagi mengulangi kesia-siaan yang kedua. Yaitu membaca masa depan dikerangkeng oleh apa yang ada di masa kini. Misalnya, karena kini di antara 50 negara muslim itu tak ada satupun yang mencapai tahap Full Democracy, maka demokrasi tak akan berbuah di wilayah Muslim.
Memang benar, itulah data mutakhir. Index Demokrasi yang dilaporkan Economist Unit Index di tahun 2019 soal dunia muslim memang memprihatinkan.
Dari 50 negara muslim itu, tak ada satupun yang mencapai kualifikasi Full Democracy. Yang berada di tahap Flawed Democracy hanya 6 persen (3 negara): Malaysia, Tunisia, Indonesia). Yang berada pada tahap rezim campuran (Hybrid Regimes) ada 30 persen atau 15 negara. Sekitar 60 persen negara muslim (32 dari 50 negara muslim) berada pada kasta paling rendah sistem politik: politik otoriter.
Namun sejarah mengajarkan pula. Data masa kini adalah produk pertarungan sosial, ekonomi, politik dan kultur masa kini pula. Masa depan tak terikat masa kini. Kelompok sosial terus tumbuh dan bergolak.
Lihatlah Uni Sovyet dan Blok Eropa Timur. Tahun 1946-2000an itu wilayah komunisme. Jika kita melihat data kawasan itu di tahun 1970, misalnya, tentu hal yang mustahil membicarakan kemungkinan di kawasan itu beroperasi sistem politik dan ekonomi di luar komunisme.
Tapi lihatlah sekarang. Di kawasan itu, 29 negara sedang hijrah memeluk demokrasi dan kebebasan. Kecepatan hijrah tentu berbeda-beda antar negara.
Tak ada satu kawasan di bumi ini yang tercipta untuk kontrak mati memeluk satu jenis sistem politik dan ekonomi apapun seumur zaman. Lihatlah sejarah peradaban. Apa yang kita sebut dengan kawasan dunia barat, dunia eropa timur, dunia Muslim, semua berubah. Semua hanyalah produk pertarungan dinamika sejarah.
Demikianlah buku ini dibuat dengan pandangan yang provokatif untuk tiga hal. Pertama, pada waktunya mayoritas 50 negara muslim akan hijrah memeluk demokrasi dan kebebasan.Gelombang besar peradaban bekerja lebih kuat dari rezim manapun. Hanya saja perjalanan menuju demokrasi dan kebebasan terjadi secara bertahap.
Kedua, di antara 50 negara muslim itu, Indonesia layak menjadi model. Bukan saja karena Indonesia negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Bukan saja karena Indonesia berhasil mengalami pergantian kekuasaan berkali-kali melalui pemilu yang damai. Tapi di Indonesia juga tumbuh kultur politik yang kuat tak ingin menjadi negara agama.
Ketiga, rute awal yang harus ditempuh 50 negara Muslim itu menuju demokrasi dan kebebasan adalah demokrasi yang tidak liberal. Demokrasi Iliberal menjadi semacam terminal pertama hijrah itu.
Kultur liberal seperti negara yang melegalkan pernikahan homoseks, misalnya, belum bisa dipaksakan di kawasan itu, di masa kini.
Namun zaman terus berubah. Toleransi atas perbedaan agama dan orientasi seksual akan terbentuk melalui waktu. Prinsip Hak Asasi Manusia sudah menjadi gelombang peradaban. Pada waktunya, prinsip itu akan pula diterima dalam ruang publik dunia muslim.
Bukankah memang demikianlah sejarah bergerak? Di abad ke 17, misalnya, perbedaan agama mungkin berakhir dengan tindakan saling membunuh. Kini manusia bisa hidup berdampingan dengan keyakinan masing- masing.
Mengapa buku ini menyebut 50 negara Muslim? Bukankah negara Muslim anggota OIC (Organization of Islamic Cooperation) di tahun 2020 berjumlah 57 negara? Buku ini membatasi hanya pada 50 negara Muslim saja, yang mayoritas penduduk Muslimnya di atas 50 persen. Dan pula dibatasi oleh ketersediaan data untuk analisa.
Setelah mengeksplor demokrasi dan kebebasan di dunia Muslim, buku ini selayang pandang menampilkan sejarah demokrasi dan kebebasan di dunia. Tak hanya disinggung demokrasi di Amerika dan Inggris. Tak hanya dibahas sekilas kebebasan di Jerman, Perancis, Rusia, Afrika, tapi juga di India dan dunia ketiga lain.
Saya mengucapkan terima kasih kepada aneka pihak yang membantu lahirnya buku ini. Antara lain AE Priyono dan Fitri Hari yang membantu mengumpulkan data mutakhir.
Kita sedang menunggu gelombang keempat demokrasi dan kebebasan. Gelombang pertama dimulai oleh Inggris dan Amerika di abad 18-20. Gelombang kedua meluas setelah perang dunia kedua. Gelombang ketika ketika melanda kawasan Komunisme Sovyet dan Eropa Timur. Gelobang keempat ialah ketika melanda 50 negara Muslim.*
Seperti ucapan Victor Hugo: “Tak ada yang lebih kuat dibandingkan gagasan yang waktunya telah tiba.” Gagasan demokrasi dan kebebasan telah tiba di dunia Muslim.
Sisa waktu adalah milik para pejuang membuat gagasan itu bertahta.
Febuari 2020
Denny JA
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews