Sandiaga Pun Mendadak “Onlen-onlen” Unicorn

Selasa, 19 Februari 2019 | 19:14 WIB
0
1591
Sandiaga Pun Mendadak “Onlen-onlen” Unicorn
Sandiaga Uno (Foto: Katadata)

Adegan tanya jawab Capres Joko Widodo dan Capres Prabowo Subianto tentang topik “unicorn” mendadak sontak menjadi trending di jagad medsos gara-gara tergagapnya Prabowo menjawab pertanyaan Jokowi. Tanya jawab dalam acara Debat Capres hari Minggu (17/2) di Hotel Sultan Jakarta itu tentu saja disaksikan jutaan pasang mata penonton televisi di Tanah Air.

“Infrastruktur apa yang akan bapak bangun untuk mendukung pengembangan unicorn-unicorn Indonesia?” tanya Capres 01 pada Capres 02.

Mengernyit dahi, Prabowo pun kembali minta penegasan, atau tepatnya bertanya kembali pada Jokowi. “Yang bapak maksud dengan unicorn? Yang bapak maksud yang online-online itu, ya kan? Jokowi mengangguk.

Dialog “yang onlen-onlen” ini sontak menjadi trending topic di medsos, lantaran Prabowo rupanya memang benar-benar tergagap tak hanya kaget dengan kata unicorn nya saja, akan tetapi juga kaget akan substansi dan seluk-beluk mendalam tentang pengertian yang sungguh trendy, patut dicermati dan perlu dipahami makhluk hidup di planet bumi masa kini.

“Jebakan batman” Jokowi dalam debat tentang trend hebat dunia, pada era Revolusi Industri 4.0 (revolusi industri keempat) ini mengingatkan jebakan pertanyaan Jokowi pada Debat Capres 2014 tentang topik aktual (namun istilahnya baru) tentang apa yang diketahui Prabowo soal TPID.

“Tim Pengendali Inflasi Daerah…,” kata Jokowi. Rupanya Prabowo tidak mengenal istilah TPID, yang dimaksudkan Jokowi menyangkut upaya peningkatan kerjasama antar daerah, searah dengan Implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang dilakukan pemerintahan lama, Susilo Bambang Yudhoyono (2010-2014) itu pula.

Istilah kecil, akan tetapi konseptual. Dan begitu diucapkan TPID? Atau dalam Debat Capres 2019 kemaren, “unicorn”? Kata itu menyihirkan sejuta makna seputar konsep Revolusi Industri 4.0 yang kini tengah dihadapi dunia. Dihadapi juga Indonesia, dengan realitas bahwa manusia Indonesia masa kini mulai harus akrab dengan “serba onlen-onlen” dan pemikiran baru tentang berbagai segi kehidupan yang tak pernah terjadi di zaman sebelumnya. Mau pesan makanan, beli obat bodrex, beli baju modis? Kini bisa onlen-onlen.

Prabowo yang mengaku patriotis dan masih bersemboyan lama, dengan slogan-slogan retorika seperti “Kami pakai strategi Undang-undang Dasar ’45 pasal 33…,” dan bla, bla, bla yang memang sudah seharusnya mendarah daging dalam tubuh manusia Indonesia, tentu terkaget jika harus dihadapkan pada pemikiran a la Revolusi Industri 4.0.

“Kita tahu derap kecepatan dinamika perkembangan internet, IT, telekomunikasi yang sangat besar. Saya sangat mendukung semua upaya kita mengejar dan ambil posisi (dalam perkembangan dunia saat ini),” kata Prabowo, “Tetapi hal-hal mendasar, pak Jokowi, saya lihat saat ini terjadi disparitas. Segelintir orang, kurang dari satu persen, menguasai lebih dari setengah kekayaan kita,” kata Prabowo, membelokkan topik yang tak dikuasainya itu.

“Jadi kalau ada unicorn-unicorn, ada teknologi hebat, saya kuatir ini akan mempercepat nilai tambah uang-uang kita ke luar negeri…,” kata Prabowo, “Ya silakan Anda ketawa. Tetapi ini masalah bangsa. Kekayaan Indonesia tidak tinggal di Indonesia. Menteri Bapak sendiri mengatakan bahwa ada 11.400 triliun uang Indonesia di luar negeri. Di seluruh Bank di Indonesia, uangnya hanya 5.465 triliun. Berarti lebih banyak uang kita di luar daripada di Indonesia,” kata Prabowo, tidak menjawab substansi pertanyaan Jokowi.

Apa artinya? Prabowo secara tidak langsung, memakai strategi yang berbeda. “Kalau kita tidak hati-hati, dengan antiusiasme (maksud Prabowo tentunya antusiasme) untuk internet e-commerce, e-ini, e-itu, saya kuatir juga bisa mempercepat arus larinya uang ke luar negeri,” tukas Prabowo.

Tetapi Prabowo mungkin lupa, bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masa kini telah mengubah dunia sebagaimana revolusi industri generasi pertama, yang melahirkan sejarah ketika tenaga manusia dan hewan digantikan oleh kemunculan mesin. Dan pada Revolusi Industri yang keempat kali ini – dengan kemunculan supercomputer, robot pintar, kendaraan tanpa pengemudi (drone-drone dan sebagainya), editing genetic dan perkembangan neuroteknologi – memungkinkan manusia mengoptimalkan fungsi otak. (Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution).

Manusia Indonesia masa kini, terutama generasi millennial mulai menggeser berbagai kegiatan via onlen-onlen, baik untuk untuk pesan sepatu baru, baju baru, beli buku, beli pernik-pernik hobi, pesan makanan via go food, atau kirim flashdisk kerja via go send dan lain-lain. Bahkan jasa prostitusi pun belakangan dipergunjingkan, via onlen-onlen.

Tidak bisa asal berslogan retorik “pokoknya strateginya harus UUD ’45 pasal 33”. Atau demi NKRI habis perkara. Slogan seperti itu sudah seharusnya mendarah daging di jiwa setiap warga Negara Indonesia yang sudah 74 tahun merdeka.

Tidak perlu dipersoalkan lagi. Hanya saja, Prabowo mesti juga ingat cara apa yang pas dipakai dan sesuai zaman untuk menggulirkan spirit bangsa seperti itu, dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia masa kini – yang sudah dilanda kemajuan teknologi informasi, teknologi komputer, teknologi robotik seperti saat ini?

Excuse untuk menutupi kelemahan, gagap perkembangan zaman, tidak bisa ditangkis pakai kilah “karena pronounciation” pak Jokowi yang tidak jelas mengucapkan “unicorn”, unicon atau bahkan yunikon. (Kilah BPN Prabowo-Sandi, Tempo 19/2/2019). Karena pengertian unicorn itu sudah mendunia, universal dan dipahami generasi millennial di era Revolusi Industri 4.0. Juga tentunya generasi masa lalu yang up to date dengan dunia masa kini.

Kalau toh Cawapres Sandiaga Uno hari berikutnya kemudian menepis “kekalahan” Prabowo dalam debat, dengan pernyataan bahwa mereka berdua, Sandi dan Prabowo, punya komitmen bersama dalam pengembangan perusahaan-perusahaan unicorn nanti jika terpilih di Pilpres 2019? (Tempo.co 19 Februari 2019). Tentu saja, pernyataan Sandi itu ditangkap rakyat Indonesia sebagai excuse juga atas “drama onlen-onlen” Prabowo di Debat Capres 2019.

Apakah Capres Jokowi mengada-ada untuk menjebak batman dengan pertanyaan unicorn nya? Sepertinya tidak. Lantaran, Revolusi Industri 4.0 itu rupanya sudah mulai mendarah daging dalam diri Jokowi, bahkan sejak menjadi Wali Kota di Surakarta (2011). Tidak hanya penataan kaki lima, akan tetapi juga “revolusi mental” masyarakat Surakarta dalam mengurus perizinan. “Kalau bisa dipermudah, kenapa dipersulit,” tak hanya dengan teknologi, akan tetapi juga dengan sikap mental “semua dipermudah”.

Ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta (2013), meski hanya sempat setahun sebelum digantikan Wagub nya Basuki Tjahaja Purnama (BTP), Jokowi pun sudah melakukan “revolusi mental” yang tak lain adalah tuntutan perubahan mindset warga Jakarta terhadap perkembangan Revolusi Industri 4.0 yang terjadi di dunia.

Segala perizinan di DKI, mulai dipermudah. Tidak hanya serba onlen-onlen, pengurusan KTP pun harus secepat mungkin. Juga, pengurusan izin usaha, dipangkas prosesnya. Dan bahkan bisa diurus via kemajuan teknologi, via onlen-onlen.

Ketika menjadi Presiden RI (2014) pun, Jokowi juga tetap menerapkan “revolusi mental” akibat Revolusi Industri 4.0 ini, dengan di antaranya mengerapkan berbagai “e”, dari e-commerce, e-ini, e-itu, demi mengejar ketertinggalan Indonesia pada era kemajuan teknologi komunikasi dunia.

Siapa yang mengenalkan “e-money” untuk bayar biskota, dan utamanya jalan tol? Ya di era Jokowi. Padahal, di Malaysia misalnya (saya mengalami ketika liputan Pemilu Malaysia 1995) jalan tol antara Kuala Lumpur-Penang sekitar 500 km, mereka sudah menerapkan pakai kartu e-money. Indonesia, masa itu masih memakai jasa wanita-wanita penjaga tol yang cantik-cantik…

Indonesia setelah Pilpres 2019 tentunya bukan Indonesia tahun 1998, atau bahkan 1945. Spirit perjuangan, NKRI dengan berlandaskan UUD ’45 memang harus sudah lebih dulu mendarah daging. Namun jangan lupa, Revolusi Industri 4.0 yang melanda dunia, tidak bisa mempertahankan mindset lama.

Spirit boleh tetap patriotik. Akan tetapi, dalam berperilaku sebagai warga Negara, sebagai bangsa, tentunya kita tidak boleh ketinggalan zaman. Kata-kata “revolusi mental” yang dicemooh banyak lawan politik Jokowi, sebenarnya bukan kata kunci milik Jokowi. Itu juga dipakai dunia, dalam menghadapi era teknologi komunikasi super canggih saat ini. Revolusi Mental, itu sebenarnya slogan dunia menyongsong era Revolusi Industri 4.0.

Jadi, bukan kata-kata kosong ciptaan Jokowi semata… 

***