Rahasia Kalah-Menang Lawan Jokowi

Kamis, 21 Maret 2019 | 08:35 WIB
0
569
Rahasia Kalah-Menang Lawan Jokowi
Presiden Joko Widodo dan para Puteri Indonesia (Foto: Agus Suparto)

Di tengah berbagai bencana alam seperti banjir, gempa, tanah longsor, kemarin juga terjadi ledakan bom berkekuatan dahsyat. Yakni ketika Harian Kompas meluncurkan survei mutakhirnya.

Betapa sangat berpengaruhnya media. Apalagi, bagi yang dulu bersepakat tentang ‘slogan’ Amanat Hati Nurani Rakyat. Namun kini Jakob Oetama tak lagi aktif memberikan arah ke depan, bagi apapun yang muncul dalam headline Kompas. Penjelasan Ninuk M. Pambudy, dalam twit-warnya dengan Rene Pattirajawane, hanya menjelaskan lebih telanjang, bahwa bisnis is bisnis. Generasi Ninuk, saya kira, meninggalkan spiritualitas JO.

Tentu bukan hal salah, karena demikianlah perubahan. Dipengaruhi persoalan-persoalan periferalnya. Apalagi ketika persoalannya hanya ‘kubu sebelah bukan hanya tak mau diwawancarai, melainkan juga tidak mau pasang iklan’. Pertimbangan terakhir itu, saya kira yang membuat kelompok Ninuk membungkus bahwa media harus independen, seimbang, bla-bla-bla.

Dan kita melupakan persoalan-persoalan lain, di balik semua itu, meski media selalu ngomong cover-both-side. Sementara kita tahu, pilpres kali ini, sebagaimana juga pilpres 2014, “hanyalah” pertandingan ulang dua kubu. Yakni Generasi X dan Generasi Y. Dengan lagak seorang demokrat yang adil dan makmur, kita sampai pada petatah-petitih bahwa dua capres itu sama-sama kader bangsa. Terbaik dari lainnya.

Pandangan simplistis itu, bukan hanya bentuk kemalasan berpikir, tetapi juga watak oportunistiknya. Menanggalkan spirit cover-both-side, pura-pura tidak tahu di abad digital ini kita bisa mudah mengabaikan rekam-jejak. Berlagak anomali atas nama-nama yang berkelebatan dalam sejarah bangsa dan negara. Belum lama lalu, baru sekitar 20-an tahun, anomali selalu muncul dikalahkan oportunisme bagi diri dan kelompok masing-masing. Soal slogan itu? Halah, DPR juga punya slogan yang sama.

Sebagaimana Mbah Maimoen memberikan fatwa yang membuat pengurus PPP mengabaikan AD/ART ketika memilih Soeharso Monoarfa menggantikan Romahurmusiy, sinyal JO ketika masih aktif menjadi isyarat bagi headline Kompas. Itulah saya kira, Kompas waktu itu bisa presisi mensinyalkan kemenangan Jokowi di 2014, meski tak mampu mengalahkan ghirah suara ketika Ahok dikalahkan Anies.

Strategi yang diterapkan lawan Jokowi kali ini tepat, bagaimana ia menjadi antagonis dengan berbagai pernyataan kontroversial. Ia tak mau mengikuti jejak Jokowi sebagai media darling, karena itu akan memposisikan sebagai follower. Justeru sebagai antagonis, dia eksis di permukaan.

Dalam deret hitung logaritma, dia sebagai penantang petahana, masuk pusaran. Menjadi bernilai sama dengan Jokowi. Dan kini saatnya, strategi lapis ketiga dimainkan, menyerang ketika kubu Jokowi goyah.

Apakah Erick Thohir masih mabuk kesuksesan Asian Games? Tergantung para pendukung Jokowi. Apakah 17 April mendatang mereka benar-benar ke TPS, dan mencoblos pilihannya? Atau tetap asyik-masyuk bermedsos? Ongkang-ongkang di cafe?

***