Solidaritas Kemeja Putih

Kamis, 28 Maret 2019 | 11:15 WIB
0
385
Solidaritas Kemeja Putih
Jokowi dan kemeja putihnya (Foto: Tempo.co)

Seruan Jokowi untuk menggunakan baju putih pada 17 April nanti, adalah langkah yang cerdik.

Ingat waktu Pilkada Jakarta. Gerombolan manusia entah didatangkan dari mana menyerbu TPS dengan istilah Tamasya Almaidah. Mereka mengintimidasi pemilih.

Kehadiran mereka difokuskan di wilayah-wilayah yang pemilihnya rentan. Di kantong-kantong pemukiman Tionghoa, misalnya. Mereka ngejogrok. Agar ada tekanan psikologis pada pemilih saat itu. Takut kerusuhan rasial. Trauma 1998 membayang.

Dari sanalah gerombolan mereka bisa memenangkan Pilkada. Dari intimidasi dan ancaman. Dari wajah gahar dan manipulasi agama.

Kini menjelang Pilpres ada lagi gerakan sejenis. Mereka mau begadang di TPS. Berteriak jihad. Mengerahkan masjid dan speakernya menteror seisi kampung.

Kita sudah dengar gerakan sholat subuh berjemaah digagas di hari pencoblosan. Mungkin setelah sholat akan ada ceramah. Atau memutar rekaman suara Rizieq. Dengan speaker melengking ke seantero raya. Isinya provokasi atau kampanye terselubung.

Cara-cara intimidasi seperti ini sepertinya akan digunakan lagi. Sebab kalau pakai cara normal, mereka sadar, mana ada rakyat yang mau memilih Capres yang gak punya prestasi dan ngomongnya ngaco melulu.

Mereka sadar mana ada rakyat yang mau memilih Capres yang suka menculik. Pemberang. Sangar dan menakutkan. Mana mungkin rakyat memilih penggagas OK-OCE yang terbukti menipu warga Jakarta.

Nah, seruan Jokowi kepada pendukungnya untuk memakai baju putih ini semacam peneguhan bahwa kita tidak sendiri. Jika di satu wilayah kita tahu banyak teman kita. Banyak orang yang seaspirasi, maka kita tidak akan takut dengan segala jenis intimidasi. Sebab kita tahu, kita tidak sendiri menghadapi itu semua.

Jadi semacam peneguhan kelompok. Baju putih yang dipakai secara bersama akan mengikatkan rasa solidaritas. Bukan hanya bentuk ekspresi pilihan politik. Tetapi juga ekspresi kebersamaan untuk menjaga TPS dan wilayah masing-masing dari para perusaknya.

Kita tahu, kini gerakan mendeligitimasi Pemilu terus disebarkan. Tujuannya menyerang KPU. Hoax tentang surat suara membuat heboh. Untung pelakunya, Bagus Bawana yang juga pentolan relawan Prabosan sudah tertangkap polisi.

Bukan hanya itu. Gerakan demo ke KPU juga dilakukan. Amien Rais ikut disana. Mereka menuding-nuding KPU curang tanpa ada bukti apa-apa. Belakangan malah merengek-rengek minta didatangkan pemantau asing. Persepsi yang mau dibangun, kalau Prabowo kalah, berarti Pilpres curang. Jadi mereka menuntut Prabowo harus menang. Dengan cara apapun. Dengan konsekuensi apapun.

Prabowo lebih sadis lagi. Di depan pendukungnya dia berkata, kalau dia kalah Indonesia akan punah. Entahlah kata-kata itu sekadar memotivasi atau sejenis ancaman.

Nah, jadi ngerti kan. Gerakan memakai baju putih ke TPS yang digagas Jokowi ini adalah semacam gerakan perlawanan pada gerombolan yang berusaha merebut NKRI dengan segala caranya.

Ini adalah gerakan rakyat yang mencintai negerinya. Gerakan yang ingin Pemilu berjalan damai dan adil. Tanpa rasa takut. Tanpa intimidasi.

Tapi harus diingat. Seruan Jokowi itu cukup memakai baju putih aja. Gak usah pakai celana putih juga. Apalagi memakai sepatu bot putih segala. Ditambah baret putih dan bawa nasi kotak.

"Itu sih, laskar pulang demo, mas," ujar Abu Kumkum.

Eko Kuntadhi

***