Kualat pada Pengging dan Peradaban Leluhur Pemilik Tampang Boyolali

Rabu, 7 November 2018 | 05:43 WIB
0
525
Kualat pada Pengging dan Peradaban Leluhur Pemilik Tampang Boyolali

Di mana bumi di pijak disitu langit dijunjung. Pepatah ini menjadi azimat bagi para tamu yang tengah memasuki wilayah yang bukan merupakan daerahnya sendiri. Tak dinyana, sosok tamu itu lena dalam angan kuasa yang seolah sudah di depan mata. Praksis sosial pun dia wacanakan konon sebagai bahan candaan. Kenapa harus hotel-hotel  berbintang itu yang disebut sebagai tempat yang tidak mampu untuk dimasuki apalagi ditinggali dalam hitungan hari?

Lidah memang tak bertulang. Sosok yang dipertuan-agungkan itu mungkin lupa. Dirinya tengah menjadi tamu bagi sebagian warga Boyolali kala itu. kehadirannya di Boyolali pun terkait dengan ikhtiar untuk mengambil hati masyarakat agar mendapat dukungan suara. Malang tak dapat di tolak, mujur tak bisa diraih. Frasa kata Tampang Boyolali itu memicu rusaknya susu sebelanga. Titik nila meluncur begitu saja dari ujaran-ujaran yang pada mulanya mengundang tawa.

Andai rangkaian kalimat itu disampaikan oleh Cak Lontong atau para pegiat stand Up Comedy, pastinya warga Boyolali tidak akan bergeming dari posisinya masing-masing semabri tetap terkekeh atau setidaknya senyum-senyum simpul.

Kini dalam kesadaran penuh sebagai masyarakat yang bermartabat, atas nama warga Boyolali pun  tersentak merespon Ujaran dalam pidato Prabowo Subianto kala meresmikan rumah pemenangan di Boyolali. Sangat disayangkan, Materi humor yang cukup berbobot, disampaikan melalui cara, gaya dan kondisi yang tidak tepat.

Jauh-jauh ke Boyolali hanya sekedar mencari hotel berbintang lima bahkan lebih? Ah yang benar saja. Sebab di Boyolali memang belum ada hotel sekelas yang disebutkan dalam pidato Prabowo. Kabupaten yang  terdiri dari  19 kecamatan  dengan  keluarahan  dan  260 desa ini masih teramat asri untuk hiruk pikuk masyarakatnya yang keluar masuk hotel. Namun bukan berarti warga Boyolali terisolasi dan tidak mampu melakukan mobilitas ke Ibukota bahkan ke luar negeri sana.

Yakin saya penuh, ketika ada warga Boyolali pergi ke Ibukota, tempat utama yang dijujug bukanlah hotel-hotel yang dari namanya susah untuk diucap seperti kata Prabowo. Sebagai entitas masyarakat yang masih kuat nilai persaudaraannya,menginap di rumah sanak family yang ada di Jakarta adalah bentuk kebahagiaan tersendiri.

Harusnya Pak Prabowo jeli dengan beberapa kultur dan value masyarakat Indonesia , khusunya Jawa. Atau Pak Prabowo lupa akibat terlalu lelah bekerja untuk mensukseskan diri sendiri bersama pasangan melaju di pilpres 2019 nanti?. Agaknya pak Prabowo harus belajar live in. Saat berkunjung ke sebuah daerah, cobalah untuk tinggal di rumah warga. Mampukah?

Pengging dan Lahirnya Raja-Raja Jawa

Ada apa dengan tampang Boyolali?. Kabupaten penghasil susu sapi ini memang tidaklah seterkenal Daerah Istimewa Jogjakarta atau Surakarta Hadiningrat alias Solo. Letaknya berada diantara pusat peradaban budaya Jawa.  

Boyolali tertasbih sebagai wilayah yang menjadi salah satu noktah dalam benang merah peradaban Mataram yang telah banyak melahirkan silsilah raja-raja Jawa. Disinilah  perlunya sosok pemimpin negeri yang berwawasan luas. Tak sekedar mampu keluar masuk hotel mewah lagi berbintang, melainkan pula mampu menyelami peradaban sejarah negeri yang banyak mewariskan nilai luhur dan kearifan lokal hampir di tiap daerah. 

Pengging, sepenggal kisah pada sebuah tlatah di secuil wilayah yang kini dikenal sebagai Boyolali. Pengging menjadi latar dalam roman terkenal karya SH Mintarja yang diberinya Judul Nagasastra dan Sabuk Inten. Bagi para pemerhati sejarah nama pengging tercatat sebagai tokoh dalam babad Tanah Jawa.

Sungguh ini bukan sekedar mitos atau pun legenda. Beberapa bukti sejarah terkait pengging dapat dilihat dari beberapa artefak dan makam kuno di yang tersebar di kecamatan Banyudono. Pengging memang tidak mewujud dalam pusat tata kelola kekuasaan layaknya sebuah kerajaan  utuh pada zamannya. Pengging menjadi sebuah kisah peralihan fase kejayaan Majapahit dengan kemunculan Demak sebagai babak baru kekuasaan tanah Jawa. Pengging pula menjadi permulaan akulturasi Hindu-Islam. 

Dalam perkembanganya nama pengging kemudian menjelma menjadi sosok raja muda Ki Ageng pengging  yang bergelar Andayaningrat/Jayaningrat. Kelak dikemudian hari Pengging I ini dikenal menjadi pengging Sepuh yang masih keturunan dari raja Majapahit. Bahkan Pengging I ini akhirnya memeluk Islam setelah bertemu dengan tokoh kontroversial , Syeh siti Jenar.

Dari silsilah Ki Ageng Pengging itulah kemudian lahir sosok Mas Kerebet yang ketika dewasa dikenal dengan sebutan Jaka Tingkir. Pada Fase sejarah berikutnya, Jaka Tingkir menjadi pemilik takhta atas  kerajaan Pajang dengan gelar sultan Hadiwijaya seiring meredupnya Demak Bintara. Babak sejarah pun bergulir dengan menorehkan nama-nama yang berkuasa atas sebuah entitas kerajaan.

Tersebutlah nama seperti Raden Benawa hingga Sutawijaya atau yang lebih dikenal dengan panembahan Senopati.Ketika Pajang tidak lagi berumur panjang, muncullah Mataram dengan segala keutuhan bentuk kekuasaan. Pada masa Mataram Islam itulah muncul silsilah raja-raja Jawa yang ada masih memiliki garis keturunan dengan Jaka Tingkir dan erat terkait dengan Pengging.

Rentetan sejarah telah membuka tabir tampang Boyolali yang tidak dapat dipisahkan dari bumi Mataram. Jejak leluhur mataram hingga kini masih dapat dikunjungi di Pedukuhan Tirtomarto, Desa Dukuh Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali. Lokasinya mudah dijangkau. Berada di ruas  jalan nasional yang menghubungkan Kartasura (Solo bagian Barat) dengan Semarang.  Hanya berkisar 30-45 menit dari pusat kota Surakarta jika ditembuh dengan kendaraan pribadi.

Tampang Boyolali, Tak sekedar membuat Kualat namun justru mendatangkan berjuta manfaat

Adalah umbul Pengging, merupakan komplek pemandian peninggalan kasunanan Surakarta pada Masa Paku Buwono X.  Tak hanya menjadi tujuan rekreasi sejarah,  Umbul pengging dengan 3 kolam "bertuah"nya kerap menjadi sarana spritual dengan laku Kungkum (berendam). Tak jauh dari umbul pengging terdapat makam R Yosodipuro, Pujangga kerajaan. Yosodipuro ini pula yang kemudian menurunkan telenta pujangganya pada cicitnya yang dikenal sebagai pujangga sastra jawa Ranggawarsita. Bahkan makam Penggih sepuh pun terdapat di wilayah Boyolali tepatnya di dusun Malangan kelurahan Dukuh masih di Kecamatan Banyudono.

Menelusuri sejarah panjang silsilah raja-raja Jawa,lagi-lagi  membuat kian prihatin dengan ungkapan tampang Boyolali yang keluar dari mulut kandidat pemimpin negeri ini. Untuk menjadi seeoarng pemimpin, banyak syarat dan proses menempa diri yang harus dijalani. Dari sekian syarat, mungkin sudah bisa dipenuhi. Namun ada proses yang kiranya masih harus dilalaui.

Mengacu pada kearifan lokal dan nilai budaya yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat Mataram, ada beberapa proses yang kiranya bisa dijalani oleh Prabowo sebagai tawaran solusi atas kurangnya kendali diri.

Ya, pak Prabowo tampaknya harus meluangkan waktu untuk menja;lani tapa bisu. Atau biasanay lingkungan seminari menyebutnya dengan istilah silentium. Hanya butuh waktu 30-60 menit berlatih diam, tidak berbicara apapun. sembari melakukan introspeksi diri mungkin bisa membantu pak Prabowo agar tidak kelepasan omong lagi.

Mantapnya sih jika Pak Prabowo bisa melakukan tapa bisu mengelilingi benteng  keraton, entah itu di  Jogjakarta  atau Surakarta. Sayangnya tapa bisu dihelat tiap malam 1 suro. Sangat disayangkan, jika harus menunggu 1 Suro tahun depan, itu artinya pak Prabowo harus legowo untuk masih berada di kawah candra dimuka sebelum dinyatakan lolos melewati proses menjadi seorang pemimpin. Tapi berhubung pak Prabowo sudah kelepasan ucap tampang Boyolali, apa iya prosesi yang identik dengan kearifan lokal masayarakat mataram ini akan memberi dampak positif kedapannya?

Atau masih mau mencoba cara lain? Kungkum ( berendam ) misalnya. Tentu saja berendamnya bukan di bath up hotel-hotel berbintang itu. Melainkan berendam ala masyarakat Jawa. Nah, umbul pengging ini salah satu tempat yang bisa digunakan untuk kungkum. Sebagaian warga bahkan masih melestarian prosesi kungkum pada hari-hari tertentu.

Kira-kira Prabowo berani tidak ya, mendatangi pengging untuk sebuah proses stabilisasi diri. Konon, dengan kungkum selama 30-60 menit dengan niat mensucikan diri , air menjadi sarana yang membantu untuk proses keseimbangan diri. hal ini tentu saja akan berdampak pada lebih terkontrolnya kata-kata yang keluar.

Kira-kira apa Prabowo berani kembali ke Boyolali demi mendapatkan manfaat dari kungkum di Pengging?. Semoga tampang Boyolali yang diucap tidak menjadikannya sebuah kualat terhadap leluhur para raja-raja Jawa,  meski Prabowo sudah meminta maaf.

Salam damai penuh Kasih.

***