Hoaks 80 Juta Surat Suara Tercoblos, Siapa Bikin dan Siapa Mengaku Dizalimi?

Minggu, 13 Januari 2019 | 06:52 WIB
0
649
Hoaks 80 Juta Surat Suara Tercoblos, Siapa Bikin dan Siapa Mengaku Dizalimi?
Ketua KPU Arief Budiman (kanan) berjabat tangan dengan Kabareskrim Komjen Pol Arief Sulistyanto (tengah) dan Komisioner Bawaslu Fritz Edward Siregar (kiri) seusai melapor ke Bareskrim Polri di Gambir, Jakarta, Kamis (3/1/2019). KPU melaporkan hoaks tentang surat suara Pemilu 2019 sebanyak tujuh kontainer yang telah tercoblos dan berada di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta ke Bareskrim Polri. (Foto: Antara/Hafidz Mubarak A)

KPU dan Bawaslu yang segera melaporkan hoaks 7 kontainer surat suara tercoblos ke Bareskrim Polri merupakan langkah tepat. Sehingga, hoaks tersebut tidak mendapat kesempatan berkembang menjadi bola liar, memicu spekulasi yang membahayakan stabilitas nasional. 

Bareskrim Polri sudah dan sedang bekerja. Sebagian orang-orang yang terindikasi berkaitan hoaks tersebut sudah diamankan untuk dimintai keterangan. Proses penyidikan masih berjalan. 

Menjadi pertanyaan apakah ini tindakan sporadis berdiri sendiri atau ini tindakan sistematis dari skenario besar untuk tujuan tertentu?

Semua pihak terkait dalam Pilpres tidak mau disangkut-pautkan dengan hoaks ini. Semua mengaku menjadi korban. 

Memang kita diminta untuk menghormati azas praduga tak bersalah. Namun, sangat sulit untuk menutup mata pada pola-pola hoaks yang terjadi sebelumnya. 

Sebut saja drama penganiayaan Ratna Sarumpaet. Melapor ke polisi saja belum, ada Capres tertentu yang begitu mudah membuat pernyataan tendensius. Bahwa penganiayaan Ratna merupakan ancaman demokrasi. 

Ketika polisi membuka fakta kebohongan Ratna, Capres tersebut minta maaf, namun tidak minta maaf pada pihak yang ia sudah tendensiusi. Sementara pendukungnya sudah sedemikian masif menebar tuduhan dan kebohongan ke sana ke mari. 

Begitu pula ketika muncul hoaks 7 kontainer yang katanya berisi 80 juta surat suara pasangan capres-cawapres nomor urut 01 yang sudah dicoblos, para pendukung 02 beramai-ramai membuat pernyataan mengarah pada kesimpulan yang merusak integritas KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum. 

Ketika pihak berwenang menangkapi orang-orang terlibat hoaks tersebut ternyata punya hubungan khusus dengan paslon tertentu, para pendukung paslon tertentu itu beramai-ramai membantah dan mengaku dizalimi. 

Seharusnya, tidak perlu reaktif mengambil kesimpulan yang menghakimi KPU kalau memang tidak mempunyai maksud-maksud tertentu. 

Apa jadinya kalau ada orang-orang seperti memposisikan diri di atas hukum, bebas bicara bohong, mengembus-embuskan ketidakpercayaan pada lembaga negara. Dan orang-orang seperti itu terus saja dibiarkan. 

Hoaks merajalela adalah persoalan serius.

Suriah hancur-lebur karena hoaks, karena orang-orang yang menyebut dirinya ulama terus saja mengembuskan kebencian pada presiden dan pemerintah. Diperparah dengan massifnya penjaja agama.

Tentu, tak ada yang mau hal serupa terjadi di Indonesia. 

***