Dalam masa pemerintahan Presiden Jokowi, bisa dikatakan adalah masa tenang masyarakat Sulawesi Tengah khususnya Poso, yang selama ini dihantui aksi terorisme dari kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso alias Abu Wardah.
Santoso merupakan salah satu nama teroris yang paling dicari oleh aparat keamanan negara-negara di dunia. Bertahun-tahun dia bersama kelompoknya bergerilya di hutan Poso.
Bagaimana anak transmigran dari Yogyakarta yang awalnya hanya aktor konflik lokal ini, telah naik kasta menjadi salah satu aktor teror global? Apakah karena ia telah menyatakan bergabung dengan Islamic State (IS) pimpinan Al Baghdadi?
Lalu bagaimana ia dan kelompoknya mampu menebar teror dari hutan sejak tahun 2011? Setidaknya ada dua alasan yang terus menopang kelanggengan kelompok teror ini di Poso.
Pertama, terdapat sekitar 30 hingga 40-an orang yang diduga bergerilya di atas Gunung Biru bersama Santoso. Mayoritas dari mereka merupakan orang lokal dan pendatang yang pernah tinggal lama di Poso. Dengan kondisi demikian, secara geografis mereka lebih menguasai medan dibandingkan dengan aparat dari pusat. Hal ini jelas memberikan kelonggaran bagi mereka untuk bisa berbaur dengan masyarakat Poso.
Merekapun mudah untuk mengumpulkan dana dan logistik. Pola gerak seperti ini jelas menguji kejelian aparat untuk membedakan antara warga sipil biasa dengan militan pendukung Santoso. Tak jarang, situasi ini menjadikan aparat sering salah tangkap.
Kedua, Poso sebagai teater konflik horisontal tahun 2000an, kemudian berangsur-angsur menjadi konflik vertikal antara kelompok Santoso dan negara inipun disulap oleh kampanye sosial media pendukung Santoso sebagai teater konflik global. Terutama ketika Al Baghdadi mendeklarasikan lahirnya IS, Islamic State di Suriah.
Dengan cerdas, Santoso dan kelompoknya menyatakan berbaiat kepada Al Baghdadi di laman YouTube. Sebagai bekas daerah pasca konflik, Poso menyisakan timbunan senjata dalam jumlah besar yang saat ini justru dimanfaatkan oleh kelompok Santoso. Kasus penembakan polisi di depan Bank BCA Palu pada 2011 oleh Santoso dan kelompoknya itu menggunakan senjata sisa konflik.
Kedua alasan itulah yang kemudian membuat Presiden Jokowi memerintahkan aparat keamanan untuk membentuk Sargas Tinombala dalam memburu jaringan kelompok bersenjata radikal Santoso di Poso, Sulawesi Tengah.
Hasilnya, pada 18 Juli 2016, Santoso tewas dalam baku tembak dengan pasukan Satgas Tinombala. Sejak kematian Santoso, aksi terorisme di Poso mulai menurun drastis.
Sementara pimpinan kelompok saat ini dipegang oleh Ali Kalora. Dia juga ditunjuk sebagai pemimpin kelompok itu menyusul diringkusnya pentolan kelompok MIT yaitu Basri alias Bagong, di tahun yang sama dengan kematian Santoso.
Semenjak tahun 2016 lalu, kelompok MIT mengalami penyusutan jumlah anggota, karena sebagian besar ditangkap atau tewas dalam baku tembak dengan pasukan gabungan TNI – Polri dalam Operasi Tinombala.
Ali Kalora pun tidak memiliki pengaruh sekuat Santoso, yang mampu merekrut puluhan orang. Istri Ali Kalora, Tini Susanti berhasil ditangkap oleh aparat keamanan saat ikut bergerilya di dalam hutan. Otomatis kelompok Ali Kalora saat ini terkepung di dalam hutan karena terus dilakukan pengejaran.
Presiden Joko Widodo dalam memimpin memang terkenal tanpa ampun dalam memberantas aksi terorisme yang mengancam keselamatan masyarakat Indonesia. Dalam tiga tahun masa jabatannya sebagai Presiden, aksi terorisme menurun drastis.
Hal ini merupakan prestasi bagi aparat keamanan yang didukung oleh keikutsertaan masyarakat dalam memberantas terorisme. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjamin keselamatan dan ketentraman kehidupan masyarakat Poso.
Banyak pengamat luar negeri dan pemimpin negara dunia seperti Amerika Serikat, Australia, dan Inggris mengapresiasi kinerja Pemerintah Indonesia dalam memerangi kejahatan terorisme.
Beberapa ramalan dari para pengamat yang mengatakan bahwa Indonesia akan dijadikan ladang perkembangan terorisme yang berpindah dari Timur Tengah mampu dibantah dengan kerja nyata Presiden Joko Widodo yang menekan kelompok terorisme sampai ke akar dan sel-selnya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews