Membaca Teror di Semarang dari Persepsi Intelijen, Siapa Dalangnya?

Jumat, 8 Februari 2019 | 07:05 WIB
0
871
Membaca Teror di Semarang dari Persepsi Intelijen, Siapa Dalangnya?
Pembakaran kendaraan di Semarang (Foto: Okezone News)

Sejak tanggal 26 Desember 2018 telah terjadi aksi pembakaran mobil dan motor di daerah Jawa Tengah, tepatnya di Semarang, Kabupaten Kendal dan Kabupaten Semarang.

Kapolres Kota Besar Semarang, Kombes Pol Abiyoso Seno Aji menyebut, aksi teror itu telah menyasar tujuh kecamatan di wilayahnya, yaitu kecamatan Ngaliyan (5 kasus) , Candisari (3), Pedurungan (2 ), Banyumanik (2), Tugu (1), Gajahmungkur (1) dan kecamatan Semarang Timur (2).

Dari 17 kasus di TKP tersebut, kendaraan yang dibakar terdiri dari 11 mobil dan 10 sepeda motor. Selain itu kasus juga terjadi di Kabupaten Kendal bahkan awalnya sejak 26 Desember 2018 di Botomulyo Cepiring, 30 Desember 2018 di Desa Karangtengah, 1 Januari 2019 di Langen Harjo, 2 Januari 2019 di Desa Botomulyo, 3 januari Desa Rowosari, dan pada tanggal 14 Januari 2019 ada 2 kejadian di Brangsong dan Sekopek.

Kejadian pembakaran teranyar terjadi hingga artikel ditulis hari ini Selasa 5 Februari 2019  dimana sebuah mobil di Kendal dibakar. Menurut Kabid Humas Polda Jateng Kombes Pol Agus Triadmaja kasus terjadi di 27 TKP sebanyak 29 mobil dan motor yg dibakar.

Hingga kini pihak Polri belum berhasil menangkap pelaku dan mengungkap motif. Abiyoso menengarai, ada kesamaan modus operandi pembakaran kendaraan di semua lokasi. Hal itu, terlihat pola dan waktu kejadian yang seluruhnya mirip. Mulai dari media yang digunakan seperti botol yang diisi minyak dan kain yang mudah tersulut api seperti molotov.

Kapolda JawaTengah, Irjen Pol Condro Kirono menyatakan, "Setelah kita evaluasi, beberapa kejadian tidak ada motif ekonomi. Mau mencuri barang juga tidak ada. Tidak juga ada motif dendam pribadi, berdasarkan pengakuan korbannya," katanya.

Analisis

Dari perspektif intelijen, menilai gangguan serangan terhadap publik tersebut dapat disebut sebagai aksi teror. Dari target serangan teror yang terjadi,  terlepas siapa yg melakukan, dalam teori intelijen, dalam aksi teror tujuannya ada dua, yaitu cipta kondisi untuk menimbulkan keresahan, kekacauan dan ketakutan publik atau dapat juga dimaksudkan penyampaikan pesan dari si pelaku atau pimpinannya (handler).

Sejak serangan awal pada 26 Desember 2018 hingga Selasa (5/2), yang belum dapat diungkap oleh pihak Polri, menunjukkan kasus  ini dapat dinilai cukup serius, terencana dan makin meresahkan, bahkan menakutkan masyarakat bisa menjadi korban khususnya di Semarang, Kabupaten Kendal dan Kabupaten Semarang.

Memang baik pemerintah daerah maupun aparat keamanan terus mengimbau agar masyarakat jangan resah, tetapi karena serangan terus terjadi hingga hari raya Imlek, efek psikologisnya menjadi tidak baik.

Dari penjelasan pejabat jajaran Polda Jawa Tengah, penulis mencermati beberapa hal penting yaitu,  serangan dilakukan terpola, adanya kesamaan modus operandi, menggunakan sarana semacam bom molotov, pemilihan waktu dini hari (antara pukul 02.00 s/d 05.00).

Dari hasil pemeriksaan saksi menurut Kapolda Jawa Tengah, Irjen Pol Condro Kirono tidak ditemukan adanya motif ekonomi, juga  tidak ada yang terkait dengan urusan pribadi. Serangan diketahui dipilih secara acak dan semua target yang diserang adalah masyarakat yang tinggal di daerah terbuka, tanpa pengamanan khusus (bukan kompleks perumahan).

Nah, dari data-data diatas, teror yang terjadi jelas direncanakan dengan matang. Dalam teori intelijen, teror adalah salah satu sarana intelijen penggalangan, disamping sarana lain yaitu sabotase, propaganda,  penculikan, kerusuhan, pembunuhan. Oleh karena itu membaca kasus teror yang lebih tepat dilakukan  dengan pakem intelijen.

Menurut penulis, dalam kasus ini,  cipta kondisi secara khusus tujuannya telah dan akan  mengganggu stabilitas keamanan. Selain itu secara perlahan apabila teror tidak segera terungkap dan pelaku tidak segera ditangkap, akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat keamanan dan sasaran akhirnya pemerintah yaitu Presiden Jokowi.

Apabila  target tersebut yang disasar, nampaknya ada masalah sakit hati atau dendam terkait dengan kebijakan pemerintah beberapa waktu terakhir. Jadi, ini merupakan pesan eksistensi, mereka ada tetapi tidak mencari korban jiwa. Hal ini yang mungkin bisa menjawab, mengapa terjadi di Jawa Tengah?

Teror tersebut sementara ini dinilai dilakukan oleh agent action dengan handler yang cukup mumpuni. Apabila dilakukan oleh kelompok teroris atau sel ISIS, pelaku adalah sel baru yang belum terdata oleh mapping Densus 88, karena itu jejak jaringan belum tercium. Mengingat serangan terjadi di tiga wilayah, kemungkinan besar para pelaku telah menguasai wilayah tersebut.

Mereka melakukan serangan lebih mudah, targetnya acak, disamping mereka mampu melakukan desepsi. Memungkinkan juga, walau kemungkinannya kecil,  ada pihak lain yang sengaja akan membuat kekacauan dengan memanfaatkan suhu politik.

Diakui memang agak sulit menangkap kelompok teror yang terlatih, karena inisiatif ditangan mereka. Sebagai contoh, tokoh teroris asal Malaysia, Noordin M.Top yang akhirnya tewas ditembak Densus, sempat beroperasi selama delapan tahun di Indonesia karena dilindungi payung keamanan  simpatisannya di kalangan rakyat. Setelah payung keamanan lepas, Nordin mudah dihabisi.

Kini, melihat sarana serangan yang menggunakan bom molotov, bukan tidak mungkin dilakukan oleh sel teror lama dengan jaringan baru. Setelah Bahrun Naim, tokoh ISIS asal Indonesia yang menurut Menhan AS tewas ditembak drone di Syria, dapat dikatakan aliran dana luar terputus, juga Aman Abdurrahman, tokoh utamanya di dalam negeri kini ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Selain itu Densus 88 semakin ketat menangani jaringan ISIS. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan dan kualitas serangan para teroris.

Persoalan yang harus diwaspadai kita bersama pada kasus teror tersebut, kita jangan  terjebak dan menyimpulkan teror pembakaran terkait dengan politik. Memang menjelang pilpres 17 April 2019, suhu politik meningkat cukup tajam.   

Ini berbahaya, karena dapat menyebabkan timbulnya konflik. Menurut penulis tidak mungkin dari timses paslon manapun yang berani memainkan langkah ini karena tingkat kerawanannya tinggi,  resikonya besar dan fatal, sangat naif bila menjadi salah satu alternatif. Elektabilitas jagonya langsung akan bisa runtuh, dari hulu hingga ke hilir konstituen akan membencinya, disamping juga  resiko pelanggaran hukumnya berat.

Kesimpulan

Teror pembakaran mobil dan motor dilakukan oleh orang terlatih, untuk menimbulkan keresahan dan kekacauan, mengganggu stabilitas keamanan. Efek samping aksi teror tersebut akan dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat keamanan, khususnya Polri,  sasaran besarnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah (Presiden Jokowi) akan turun.

Bila teror diartikan sebagai sebuah pesan, mereka hanya ingin menunjukkan keberadaan atau eksistensinya dalam aksi balas dendam dan sakit hati,  karena itu mereka tidak menyerang manusia sebagai korban, tetapi hanya membuat keresahan.

Kontra  teror yang disarankan sebelum Polri dapat mengungkap dan menangkap para pelaku, masyarakat di daerah sasaran yang sudah diciri tadi,  agar  mengaktifkan siskamling dan meningkatkan kesadaran security, ini akan mempersempit ruang gerak mereka. Kita masih percaya aparat keamanan akan dapat segera mengungkapnya.

Semoga bermanfaat. 

***

Marsda Pur Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen