Saya sampai di rumah kurang lebih pukul setengah sembilan malam. Acara debat di televisi sudah berlangsung. Bisa saja saya membatalkan salah satu kegiatan saya di luar rumah demi menonton debat antar Capres/Cawapres dari awal. Tapi dari awal saya memang kurang tertarik.
Debat yang terlalu banyak peraturannya, dibatasi waktu, terlalu formal, pasti kurang menarik. Format debat pilkada DKI 2017 lalu malah jauh lebih menarik. Dan benar saja. Saya nonton sampai akhir debat, secara substansi hanya pengulangan saja.
Ketika ditanya soal hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas dengan contoh kasus, Jokowi berkali-kali bilang, "Kalau ada kasus, ya laporkan saja pada Polisi." Justru persoalannya kan pada lapor polisinya itu. Banyak sekali contoh kasus yang dilaporkan ke polisi tapi tidak ditindaklanjuti karena yang dilaporkan pro penguasa.
Masa sih Jokowi nggak tahu kasus Laiskodat yang dilaporkan oleh beberapa Parpol oposisi, nggak jelas juntrungannya. Kalau Ade Armando yang sudah entah berapa kali dilaporkan tapi belum juga tersentuh hukum barangkali Jokowi memang nggak tahu, tapi itu sebuah fakta. Sementara kasus yang sama, misalnya editan gambar KHMA yang dipakaikan topi santa, cepat sekali diproses. Hal itu kan sudah jadi bahan perdebatan di medsos sampai bosan.
Tapi saya masih bisa menikmati panggung teaternya. Nampak sekali KHMA demam panggung. Itulah pentingnya melakukan simulasi secara serius, terutama soal menyiasati waktu. KHMA katanya sebelum debat sudah dipoles. Tapi hasilnya tidak nampak di acara debat. Makanya tidak heran kalau dia lebih banyak menjadi pendengar yang baik, atau tukang ambil undian pertanyaan.
Sekalinya bicara, kehabisan waktu. Misalnya, ketika bicara penanganan disabilitas. Baru saja dia ingin mengutip contoh yang terjadi pada Nabi Muhammad SAW, waktunya habis. Saya sih paham apa yang ingin dicontohkan. Dia ingin memberi contoh seperti tertulis pada surah “Abasa.” Ketika Rasulullah mengacuhkan Abdullah bin Umi Maktum yang buta, Allah menegur Nabi.
Jika misalnya diberikan waktu satu atau dua menit pun, contoh peristiwa itu tidak cukup. Bahkan bisa disalahtafsirkan jika dibatasi waktu. Bisa ada yang beranggapan Nabi tidak perhatian pada orang buta, lebih mementingkan pembesar Quraisy. Padahal waktu itu Nabi sedang berda’wah pada pembesar Quraisy, dengan asumsi, jika para pembesar Quraisy masuk Islam, tentu jalan da’wah Nabi lebih lancar. Tapi Allah tetap memberi teguran, walaupun secara substansi Nabi tidak bersalah. Allah memberi pelajaran pada Nabi agar menghormati disabilitas.
Nah, menyiasati waktu ini menjadi bagian penting, dan memerlukan latihan. Jadi jangan sombong bilang, masa debat saja perlu latihan. Dalam hal menyiasati waktu, Sandiaga sangat taktis. Maklum saja, beredar video saat Sandi berlatih menyiasati waktu. Sandiaga tidak malu, bahkan bangga kalau dia benar-benar serius menghadapi debat ini dengan berlatih simulasi waktu.
Sekalinya diberikan kesempatan oleh Jokowi, KHMA menjawab pertanyaan, bagaimana menyiasati penanggulangan terorisme tapi tidak menabrak HAM. KHMA malah bicara soal terorisme itu adalah perbuatan terkutuk dan seterusnya.
Panggung teater debat yang paling menarik adalah ketika pemandu debat minta pernyataan penutup dan saling mengapresiasi lawan debat ditutup dengan imbauan pilpres damai. Jokowi hanya bicara singkat, tanpa mengapresiasi lawan debat dan imbauan pilpres damai. Waktu masih banyak tersisa, Jokowi ditawarkan, apakah akan memberi apresiasi pada lawan debat? Dengan tegas Jokowi bilang, tidak!
Padahal Prabowo bisa mengambil poin penuh pada sesi penutup ini. Tapi entah kenapa, sampai waktu berakhir, Prabowo juga tidak memgambil kesempatan emas itu untuk mengapresiasi lawan debat dan imbauan pilpres damai.
Setelah pemandu debat menegaskan kembali bahwa kedua paslon ini tidak mau saling menghargai, barulah Jokowi menyadari kesalahannya memahami apa yang diinginkan oleh pemandu debat. Buru-buru dia bersama KHMA menghampiri Prabowo, dan Prabowo-Sandi menghampiri Jokowi, saling bersalaman, berangkulan hangat. Tapi pemandu debat malah melarang, karena memang belum saatnya berpelukan.
Sesi penutup ini menampilkan wajah debat yang kaku pada peraturan. Bisa jadi Jokowi dan Prabowo kurang paham dengan maksud pemandu debat yang minta saling mengapresiasi, tapi ketika kedua paslon ini saling berangkulan, mestinya pemandu debat membiarkan, kalau perlu menambahkan, “Walaupun tidak diucapkan secara verbal tapi rangkulan ini sebagai bentuk saling menghargai kedua paslon. Tepuk tangaaaan…”
Tapi karena pemandu debat terpaku pada peraturan, hingga menimbulkan kesan, imbauan pemandu debat agar kedua paslon saling menghargai hanya imbauan formalitas saja. Begitulah.
Kalau ditanya, siapa pasangan capres yang paling unggul dalam debat pertama ini? Pendukung Jokowi pasti bilang, Jokowi-Ma'ruf laaah…Pendukung Prabowo bilang, Prabowo-Sandi lah… dan medsos pun tambah berisik.
Kalau saya ditanya, siapa "man of the match" debat pertama ini? Saya akan jawab, Sandiaga Uno. Dia pandai menyiasati waktu, bahkan untuk jatah waktu yang hanya beberapa detik saja, dia bisa mengukurnya dengan sangat tepat dengan narasi yang pas mantab.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews