Saya jadi ingat Helene Cixous, tokoh feminis Prancis yang ratusan tahun lalu mendorong perempuan untuk menulis sebagai pintu menuju kemerdekaan.
Sejak kemarin, kami di komunitas penulis Penerbit Buku Kompas, merayakan berhasilnya teman kami Andina Dwifatma mendapat penghargaan Buku Prosa Pilihan 2021, dari majalah Tempo. Salah satu juri, guru menulis saya, Mas Bambang Bujono.
Novel Andina, “Lebih Senyap dari Bisikan”, belum saya baca. Tapi ulasan Tempo membuat saya pingin segera mencarinya di tokbuk Gramedia Depok.
Dosen tetap di Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Jakarta ini dipuji novelnya karena, saya kutip Tempo, “… bukanlah fiksi tentang perlawanan perempuan, apalagi yang sarat dengan ideologi feminisme… Ini cerita yang realistis dengan singgungan yang kadang surealistis. Pengarang membiarkan seluruh peristiwa sebagaimana adanya.”
Zen Hae, salah satu juri berpendapat, “… Amara (tokoh dalam novel ini), adalah sosok yang sangat hidup… Bahasa yang digunakan Andina sangat kokoh, efektif dan efisien. Dia matang dalam bercerita dan menggunakan bahasa.” Sebagai info, hanya satu dari 8 juri yang perempuan -Nyak Ina Raseuki- dan karya Andina justru diusung menjadi pemenang oleh dewan juri yang mayoritas lelaki ini.
Saya jadi ingat Helene Cixous, tokoh feminis Prancis yang ratusan tahun lalu mendorong perempuan untuk menulis sebagai pintu menuju kemerdekaan dan “didengarnya” suara perempuan. Terbukti, ia benar.
Di Indonesia, kita punya Kartini, yang surat-suratnya kepada sahabatnya di Belanda, lebih seratus tahun lalu, menjadi pijakan kemerdekaan perempuan Indonesia untuk berpikir, meraih pendidikan tinggi, dan menulis.
Selamat dan terima kasih, Andina!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews