Terkesan membodohi (atau sengaja membodohi diri) kalau ada elite partai yang menyampaikan pembenaran bahwa pemasangan baliho politik tidak dimaksudkan sebagai jual diri bakal capres.
Tiga hari lalu saya memposting gambar di bawah ini, persisnya karikatur yang menggambarkan betapa sudut-sudut kota telah dikepung -jika kata "dikotori" terlalu kasar- baliho-baliho politik "jual diri" untuk Pilpres 2024 yang terhitung masih berbilang tahun.
Maaf, apakah kata "jual diri" di sini juga terlalu kasar? Semoga tidak ada tafsir ke sana, sebab bagaimanapun pemasangan baliho-baliho raksasa itu perlu modal besar. Sama seperti pebisnis, keluar modal dan berharap dagangannya terjual.
Sulit kalau dikatakan "jual program" atau "jual pemikiran", sebab tidak ada program atau pemikiran yang coba ditawarkan di baliho itu selain gambar diri masing-masing pedagang, eh, politikus itu, bukan?
Kembali fokus ke gambar yang saya tayangkan tiga hari lalu itu. Di luar dugaan, inilah gambar yang paling banyak dibagikan (share), yaitu dibagikan oleh 644 netizen dan "hanya" meraup 259 komentar.
Komentar, tentu bisa bermacam-macam, misalnya mengungkapkan dukungan atau kekesalan, tetapi semangat berbagi? Tentu saja tafsirnya bukan karena orang mendukung apa yang tergambar dalam karikatur itu, melainkan sebaliknya, karena sebal luar biasa. Muak.
Inilah sesungguhnya yang harus dikaji secara mendalam oleh para elite politik yang kaya raya itu, yang dengan enteng mengeluarkan dana untuk pemasangan baliho di berbagai sudut dan tengah kota, yaitu soal "penerimaan" warganet yang tercermin dalam ungkapan mereka di medsos.
Ada dalih, ah, warga di internet dan warga di jalanan itu beda, jadi baliho politik jual diri para calon presiden itu ditujukan buat para warga yang wara-wiri di jalan, bukan warganet. Inilah pemahaman yang luar biasa keliru.
Harus diingat, hampir seluruh warga yang wara-wari ini menggenggam ponsel, tersambung ke internet dan menjadi salah satu atau beberapa aktivitas medsos. Mereka biasa mengamplifikasi (menggaungkan) perasaan, pemikiran dan opininya di medsos. Kalau saat jalan-jalan mereka merasa sebal dengan baliho-baliho itu, mereka langsung mengamplifikasinya di medsos.
Ini sesungguhnya yang perlu dihitung para elite politik partai khususnya para bakal capres itu. Kesebelan dan kemuakan mereka akan diungkapkan di medsos, yang kemudian diiyakan oleh orang-orang seperasaan.
Celakanya, impresi netizen terhadap baliho politik itu cenderung negatif. Saya ulang sekali lagi, cenderung negatif!
Atau bikin kajian soal efektivitas pemasangan baliho itu, adakah hasil signifikan yang berkorelasi terhadap naiknya elektabilitas capres yang diasongkan? Alangkah naifnya jika korelasi menunjukkan sebaliknya (elektabilitas makin melorot seperti celana) tetapi malah semakin menggenjot pemasangan baliho politik!
Ada komentar misalnya, "Baiklah saya tandai para politikus bakal capres di baliho-baliho itu dan saya siap untuk tidak memilih mereka." Nah, celaka, bukan? Alih-alih mendapatk simpati, yang didapat malah antipati.
Dalam tulisan sebelumnya saya pernah memberi masukan kepada politikus, "Kalau kalian ingin terpilih jadi Presiden RI menggantikan Jokowi, jadilah 'Medsos Darling', sebab jadi 'Media Darling' saja tidak akan cukup!"
Jadi, sungguh pandir dan terkesan membodohi (atau sengaja membodohi diri sendiri) kalau ada elite partai yang menyampaikan pembenaran bahwa pemasangan baliho politik tidak dimaksudkan sebagai jual diri bakal capres di 2024, pretttt....!!
Kata kunci dari apa yang tergambar dalam karikatur yang viral itu adalah EMPATI.
Mau tidak mau para netizen akan membuat kalimat sendiri-sendiri yang mengandung makna "empati" itu, misalnya "Kok ya tega-teganya mereka di saat pandemi yang seharusnya berjibaku melawan virus mematikan, malah menghambur-hamburkan uang untuk pemasangan baliho." Atau kalimat lain, "Bukankah lebih baik kalau dana untuk baliho politik itu disumbangkan/digunakan untuk biaya penanganan pandemi."
Adakah partai dan politikus yang bertindak dan punya sikap seperti itu?
Kalau ada, saya siap memilihnya!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews