Tegaknya Pendidikan Tinggi Indonesia, Dicemari Dosen yang Memalak Bunga pada Mahasiswa

Bukan tentang nilai barang, tetapi perilaku yang tidak mencerminkan misi keadaban perguruan tinggi. Sejatinya, perguruan tinggi dipenuhi dengan percakapan intelektual dan perilaku aktual.

Minggu, 14 Februari 2021 | 23:51 WIB
0
229
Tegaknya Pendidikan Tinggi Indonesia, Dicemari Dosen yang Memalak Bunga pada Mahasiswa
Mahasiswa (www.geotimes.co.id)

Seorang mahasiswa, menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah tak kurang 100 kilometer dari utara kota Makassar.

Sepanjang masa kuliah, juga bekerja paruh waktu dengan menjadi pengemudi ojek daring. Selebihnya digunakan untuk jual ikan yang dibelinya pagi hari di pasar lelang ikan.

Tak sampai sarjana saja. Bahkan menyelesaikan pendidikan magister. Tetap dengan bekerja paruh waktu. Mencari kebutuhan pembiayaan spp setiap semester.

Begitu pula dengan uang bulanan untuk bayar kontrakan kamar. Serta buat keperluan makan dan minum, serta kebutuhan alat tulis lainnya. Berkali-kali harus meminjam uang ke teman, baik kawan sekelas, maupun sesame penghuni kontrakan.

Lulusan Pendidikan magister tersebut, bukan lagi tukang ojek. Penerimaan guru di Kabupaten Pangkajene Kepulauan, memberinya selembar kertas yang mengangkatnya sebagai guru ASN.

Cerita menjadi ojek, menjual ikan, dan berjuang memenuhi kebutuhan hingga lulus menjadi kenangan manis yang mengantarnya menerima surat keputusan tersebut.

Itu satu cerita. Berpuluh ribu mahasiswa lain juga mengalami kondisi yang sama. Kehadiran universitas, justru menjadi sarana dalam mewujudkan mimpi-mimpi mereka selama ini.

Lulusan perguruan tinggi, menduduki kursi ketua komisi. Begitu pula kursi anggota DPRD. Juga jabatan wakil bupati. Semuanya berasal dari perguruan tinggi yang sama.

Sementara itu, ada mahasiswa yang akan bimbingan skripsi. Sebagai “sesajen” diwajibkan membawa bunga. Bukan hanya sekali, tetapi sampai dua kali kesempatan.

Sekaligus, dua buah pot serta bunganya. Sekali bimbingan skripsi, harus menghabiskan uang Rp. 800.000. Bukan jumlah sedikit. Dengan kondisi pandemi begini, pendapatan justru turun. Kesempatan kerja berkurang.

Belum lagi, bunga yang diminta harus dicari ke penjual bunga khusus. Seorang mahasiswa mengemukakan bahwa perlu menelusuri penjual bunga sepanjang sisian jalan tol untuk mendapatkan bunga yang diminta.

Belum lagi, ada mahasiswa lain yang juga jadi korban. Sejauh ini, tiga mahasiswa menyatakan diperlakukan dengan kondisi yang sama. Bahkan sampai sejumlah enam orang mengemukakan curhatan. Walau yang yang melapor ke pimpinan fakultas hanya dua orang.

Bunga yang dibawa mahasiswa menjadi syarat bimbingan. Mulai dari jenis bunga, dan juga jumlahnya.

Kalau tidak terpenuhi, proses bimbingan skripsi akan batal. Atas kondisi ini, pimpinan fakultas dan komisi disiplin bersidang untuk menentukan respon kelembagaan perguruan tinggi dalam menyikapi kondisi seperti ini.

Dua kondisi ini membawa pada cerita yang berbeda. Satu sisi, perguruan tinggi menjadi sarana dalam mewujudkan mimpi. Tak terbatas sekalipun bagi anak kota. Seorang anak yang jauh dari Makassar tetap saja bisa kuliah sampai jenjang magister.

Kini, sang anak tersenyum. Jerih payahnya selama ini terbayar dengan pengangkatan sebagai guru dengan status ASN.

Namun, di sisi lain. Ada seorang mahasiswa yang kemudian justru menemukan batu sandungan. Bukan karena tekdanya yang minimalis. Justru dengan tekad yang membara, mendapatkan ujian berupa dosen yang mengedepankan materi sebagai syarat.

Dimana ini justru bukan perilaku ideal seorang dosen. Pendidikan tinggi kehilangan marwah. Lembaga pendidikan yang dihuni Yang Maha Terpelajar, justru menghinakan dirinya sendiri dengan gratifikasi.

Semata-mata untuk kepentingannya sendiri. Bukan kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.

Bukan tentang nilai barang, tetapi perilaku yang tidak mencerminkan misi keadaban perguruan tinggi. Sejatinya, perguruan tinggi dipenuhi dengan percakapan intelektual dan perilaku aktual untuk memberikan Latihan bagi pembentukan karakter kesarjanaan.

Sebaliknya, justru yang terjadi adalah runtuhnya wibawa perguruan tinggi yang menjadi tujuan pembentukan pendidikan.

Namun, perguruan tinggi tetaplah pendidikan tinggi. Dimana lembaga ini akan menjadi sarana dalam memberikan kesempatan setiap orang untuk mewujudkan impiannya.

Terakhir, saya teringat pidato Fadel Muhammad Ketika Dies Natalis 50 tahun HMI di Balai Jendral Yusuf, Makassar.

“Pendidikan tinggi akan menjadi eskalator sosial bagi setiap orang punya mimpi”. Dalam kerangka itulah, keadaban perguruan tinggi yang disemai dengan aktivitas akademik, akan memuluskan jalan bagi setiap anak bangsa.

***