Vaksin Sinovac China Masuk Indonesia, Siapa Meraup Untung?

Rabu, 9 Desember 2020 | 15:37 WIB
0
264
Vaksin Sinovac China Masuk Indonesia, Siapa Meraup Untung?
Status FB Presiden Joko Widodo yang mengabarkan kedatangan 1,2 dosis Vaksin Sinovac dari China. (Foto: FB Joko Widodo).

“Alhamdulillah, pemerintah sudah menerima 1,2 juta dosis vaksin pencegah Covid-19,” tulis Presiden Jokowi dalam akun Facebook-nya. Vaksin ini buatan Sinovac yang telah diuji klinis di Bandung sejak Agustus lalu.

Menurut Jokowi, pada awal Januari 2021 nanti, pemerintah juga mengupayakan 1,8 juta dosis vaksin. Selain dalam bentuk jadi, pemerintah akan mendatangkan 15 juta dosis vaksin dalam bentuk bahan baku pada bulan ini dan 30 juta dosis pada Januari 2021.

Vaksin-vaksin dalam bentuk bahan baku ini akan diproses lebih lanjut oleh Biofarma selaku BUMN produsen vaksin. Kendati begitu, untuk memulai vaksinasi kita masih memerlukan tahapan-tahapan yang ketat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Jokowi mengatakan, seluruh prosedur ilmiah persiapan vaksinasi harus dilalui dengan baik untuk menjamin kesehatan dan keselamatan masyarakat serta meningkatkan efektivitas vaksin Covid-19 tersebut.

“Pertimbangan ilmiah serta hasil akhir uji klinis akan menentukan kapan vaksinasi Covid-19 dapat dilakukan,” ujarnya.

Terakhir, meski vaksin sudah ada, kita tetap harus disiplin menjalankan protokol kesehatan, memakai masker, menjaga jarak, dan rajin mencuci tangan. “Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkahi kita untuk bisa melewati ujian wabah ini,” kata Jokowi.

Jika mencermati narasi Presiden Jokowi di atas, tentu tampak “aman-aman” saja. Tak ada masalah dengan vaksin Sinovac yang terlanjur masuk ke Indonesia ini. Tetapi, Arie Karimah, Pharma-Excellent alumni ITB, menyoroti uji klinis fase ke-3 itu.

“Biofarma mengatakam, data interim uji klinis fase 3-nya baru akan tersedia minggu pertama Januari 2021,” ujar Arie Karimah.

Emergency Use of Authorization (EUA) dari BPOM baru akan diberikan jika sudah tersedia hasil uji klinis fase 1 dan 2 (berarti sekarang belum diserahkan), serta data interim fase 3 menunjukkan efektivitasnya minimum 50%.

“Tidak disebutkan dengan jumlah volunteer minimal berapa. Aturan vaksinasi gratis atau berbayar baru akan Selesai Dibuat 2 minggu lagi. Tapi kok kemarin vaksinnya sudah datang? Itu untuk tujuan apa?” lanjutnya.

Apalagi, “Tambahan data uji klinis fase 3 yang sampelnya baru seuprit itu? Produk vaksin yang lain menggunakan volunteers puluhan ribu. Iki sing ora nggenah jan-jan e sopo yo? Berapa biaya penyimpanan vaksin?” kata Arie Karimah.

Beberapa hari lalu, @washingtonpost menerbitkan artikel tentang Sinovac.Disebutkan, CEO perusahaan pernah terbukti menyuap BPOM China untuk persetujuan vaksin pada 2016. Hingga kini, Sinovac belum mengeluarkan data awal vaksin Covid-19, seperti Moderna dan Pfizer.

Info Al-Jazeera tentang vaksin Covid-19 yang diimpor Indonesia ternyata juga belum lolos uji fase 3. “Belum ada yang lolos. Bahkan, Astra Zeneca dan Pfizer sekalipun. Ini sudah masuk ke level sangat berbahaya bagi umat manusia,” kata dr. Tifauzia Tyassuma.

Jualan Sinovac

Sementara itu Menteri BUMN Erick Thohir sibuk menghitung “untung” jika Sinovac sudah masuk ke Indonesia. Erick menyampaikan, harga vaksin Covid-19 untuk satu orang sekitar 25-30 dolar AS atau Rp 366.500 - Rp 439.800 (kurs Rp 14.660 per dolar AS).

“Harga vaksin ini untuk satu orang dua kali suntik kurang lebih harganya 25 sampai 30 dolar AS, tapi ini Bio Farma lagi menghitung ulang,” ujar Menteri Erick dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Sementara untuk harga bahan baku vaksin Covid-19, ia mengemukakan sekitar 8 dolar AS pada 2020. Pada 2021 harganya turun menjadi 6-7 dolar AS.

“Jadi ada penurunan harga bahan baku pada 2021. Kita memang menginginkan bahan baku supaya kita bisa belajar memproduksi vaksin jadi, tidak hanya terima vaksin yang sudah jadi,” ucapnya, seperti dikutip Antara.

Agar tidak menambah beban APBN, Erick mengusulkan melakukan vaksin ke masyarakat dengan dua pendekatan, yakni menggunakan APBN berdasarkan data BPJS Kesehatan dan vaksin mandiri.

“Vaksin mandiri tidak lain ingin memastikan tidak membebani keuangan negara secara jangka menengah dan panjang,” ucapnya.

Dalam kesempatan itu, Erick yang juga Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPEN) mengatakan bahwa Covid-19 masuk dalam kategori pintar.

“Catatan buat pimpinan Komisi VI dan anggota, memang virus Covid-19 termasuk kategori virus pintar, masuk kategori flu, vaksin bukan untuk selamanya, 6 bulan sampai 2 tahun kekuatannya. Karena itu kita berharap ada temuan lanjutan agar kita terjaga,” paparnya.

Erick memperkirakan pelaksanaan protokol Covid-19 akan berjalan dalam waktu yang lama. Menurutnya, pihaknya meminta kepada seluruh BUMN untuk mulai mengkaji persiapan kinerja bisnis, diperlukan medium strategi dengan kondisi seperti saat ini.

Jika menyimak mutasi Covid-19 D614G yang diduga sudah ke Indonesia, apakah belanja vaksin Sinovac masih efektif dan tetap mau dilakukan? Sebab, varian baru ini, bisa terjadi pada orang yang terkena tidak bergejala, tiba-tiba diketahui sudah pada stadium lanjut.

Bisa diketahui, kondisi paru-parunya sudah dipenuhi cairan, dan akhirnya saturasi oksigen sudah rendah, dan sulit tertolong. Sebenarnya dengan varian ini, otomatis vaksin yang kini sedang uji klinis, tidak ada gunanya.

Karena ada cairan yang banyak di paru-paru ini, maka kadar oksigen yang bisa diserap oleh paru-paru menjadi sangat sedikit/terbatas. Bisa dibayangkan, jika lendir itu tidak keluar, dan ada di dalam tenggorongkan.

Sehingga, menyebabkan saluran nafas buntu. Masih tetap mau menggunakan vaksin Sinovac? “Bagi saya, vaksin itu jadul, dibandingkan Covid-10,” ujar seorang theraphis medis.

Mengutip dr. Tifauzia Tyassuma, pihak Sinovac menjual vaksin curah itu ke Biofarma. Harga berapa itu vaksin literan belum jelas. Biofarma masukin botol dan dikardusin, terus dijual Rp 72,000 per dosis. Sampai di tempat Erick dijual Rp 440,000.

Modalnya Rp 72 ribu x 273 juta x 2 dosis = Rp 39 Triliun. Omzetnya Rp 440 ribu x 273 juta x 2 dosis = Rp 240 Triliun. Kata Erick, untuk menekan cash flow pemerintah, maka rakyat harus beli secara mandiri.

Akademisi Universitas Indonesia yang juga mantan Eselon 1 Kemenko Maritim dan Eselon 1 Kemenko Ekuin, Ronnie Higuchi Rusli punya pandangan lain terkait pembelian vaksin China tersebut.

Melalui akun Twitternya, @Ronnie_Rusli, menyatakan, pengadaan vaksin merupakan bisnis besar oleh kalangan tertentu. Ia membuka pandangan tentang sistem impor vaksin yang menurutnya hanya dilakukan oleh importir, bukan Pemerintah.

“Catat, vaksin itu bisnis besar para taipan yang gelontorin duitnya untuk impor, bukan uang dari Anggaran Kemenkes untuk Impor vaksin. Karena Kemenkes bukan importir obat/vaksin. Jadi para importir itulah yang pakai tangan pemerintah untuk wajib vaksinasi,” tulisnya.

“Kalau mau, lihat Singapore dan Brunei,” lanjut Ronnie, dikutip Wartakotalive.com, Rabu (21/10/2020). Statemen Ronnie pun membuat sejumlah pengikutnya tercengang. Mereka bertanya untuk memastikan bahwa uang pembelian vaksin bukan dari Kemenkes.

“Bukan uang dari Anggaran Kemenkes untuk Impor Vaksin?” tanya seorang warganet. Ronnie pun kembali menjelaskan. “Bukan, vaksin itu dibeli,” jawabnya.

“Memangnya Kemenkes yang menyediakan obat-obatan Kemotherapi di RSUP/RSUD atau obat sakit jantung, segala vaksin yang ada di RS? Kemenkes hanyalah regulator kesehatan. Kalau obat-obatan itu urusan POM,” jelas Ronnie.

Ronnie kemudian mengutip pernyataan dari pendiri Tesla, Elon Musk, yang secara tegas mengungkapkan tidak akan pernah menggunakan vaksin virus corona, meski nantinya vaksin itu tersedia.

Tesla founder Elon Musk has said that “neither he nor his family will likely take future coronavirus vaccines” even when they are readily available, saying the pandemic has “diminished [his] faith in humanity. “

“Hanya monyet di Indonesia perlu divaksin, yang bukan monyet gak perlu,” sindir Ronnie.

***