Kerendahan hati inilah yang menjadi watak dasar orang Jogja asli. Sesuatu yang mulai hilang, bahkan mungkin tidak dianggap penting lagi!
Saat Anies Baswedan mengaku orang Jawa, wabil khusus orang Yogyakarta, banyak sekali orang yang marah, nyinyir, dan mengejek. Saya justru tertawa terbahak, sekaligus meneteskan air mata. Justru terharu oleh kebodohan dan kesombongannya.
Permasalahannya dasarnya dia tidak cukup wicaksana, permana, dan waskita. Bahwa terdapat premis domestik, yang sudah jadi kearifan lokal (bahasa kerennya local genius) yang bahkan sudah tidak banyak dipahami orang Jogja sendiri. Bahwa justru orang yang bukan asli Jogja akan mudah mengaku dirinya sebagai orang Yogya.
Sebaliknya orang Jogja "asli" akan menyembunyikan identitasnya sebagai orang Yogya. Ia akan mudah malu dan sedikit jengah, apabila harus berkata jujur: "Ya, saya orang Yogyakarta". Kenapa?
Yogyakarta, konon adalah satu-satunya nama kota yang bisa disebut dengan penggalannya saja dan orang tak akan salah paham: Jogja, Yogya, Yukjo, apapun tanpa kata karta. Pembandingnya tentu saja adalah Surakarta, Jakarta, Surabaya, Purwakarta, Purwokerto, Semarang, atau apa pun.
Memang ada kota lain misalnya Tasik, yang berkonotasi Tasikmalaya. Tapi jangan lupa di Solo ada daerah namanya Tasikmadu. Silahkan jika ada yang membantah dengan menunjukkan ada yang lainnnya. Tentu saya akan senang. Di samping memperkaya gagasan, juga mementahkan pemikiran saya (minimal sebagai bagian warga Jogja).
Tapi persoalannya bukan di situ: ketika orang mengatakan orang Yogya, berarti ia sudah mendaku bahwa dirinya orang yang berkarakter seyogyanya, atau sebaik-baiknya manusia. Padahal orang akan mudah menilai ia belumlah pantas seperti itu. Durung ketug (belum nyampek!).
Karena itulah, orang yang paham makna kosa kata "yogya" akan sangat berhati-hati mengatakannya, bahkan kalau bisa menghindarkannya.
Di sinilah muncul plesetan menjadi kata "Jogja" yang jauh lebih umum dan menasional. Sedang bagi orang lokal akan lebih gandem-marem, "luwih mat" menyebut diri sebagai wong Yukjo, priyayi Yukjo. Di dalamnya ada kearifan untuk menghindarkan diri dari kata yogya.
Kerendahan hati inilah yang menjadi watak dasar orang Jogja asli. Sesuatu yang mulai hilang, bahkan mungkin tidak dianggap penting lagi!
Kembali ke ihwal Anies Baswedan mendaku diri sebagai orang Yogyakarta. Sekali lagi itulah gaya manusia hari ini, yang hanya butuh sesuatu yang tersurat. Tanpa mau sedikit berusaha mengatakan yang tersirat. Ia lupa bahwa jadi orang Yogya itu berat. Dalam konteks ke-Indonesia-an: walau pun jadi ibu yang ikut melahirkan, menjaga, dan ikut membesarkannya.
Dalam kurun waktu yang sangat lama, ia adalah kota yang dibiarkan tetap tinggal miskin. Dan sialnya ketika negara bergerak maju: ia adalah kota yang dirampok dan tercerabut dari akarnya. Sudah tidak lagi dimiliki oleh pemilik sesungguhnya.
Di hari ini, ia adalah milik siapa saja....
Baca Juga: Jawa, Politik Identitas dan Anies Baswedan
Ia bisa saja didaku orang yang cuma nunut tinggal, sementara atau selama-lamanya. Hanya karena tersihir mitos kenyamanan dan harga murahnya.
Ia adalah kota yang diaku oleh orang yang pernah sekilas belajar di kota ini. Ketika pindah kota, lalu saat pulang, berteriak dan menggerutu: ini kota yang tak sama lagi.
Ia bisa saja kota tempat ampiran orang pindah tugas. Lalu pergi naik pangkat atau tambah kaya. Lalu kembali dengan merampok tanah di sana-sini.
Ia bisa saja tempat orang mencuci uang, berlagak investor, lalu berkacak pinggang dan berani menghardik warga lama ynag lebih dulu tinggal di kota ini.
Ia adalah kota dimana berbagai paham ideologi dan agama bertarung dan berebut pengikut. Lalu mengoyak sendi2 paseduluran guyub rukun, hal hakiki yang semula ada.
Ia bisa jadi apa saja, yang semakin tidak dipahami oleh penduduk asli-nya. Kawula dalem yang semakin terpinggir dan dicaci sebagai kaum kalah dan gagal mengikuti zaman.
Tak satupun dari karakter diatas memenuhi syarat dasar orang Yogyakarta: sawiji, greget, sengguh, ora mingkuh (konsentrasi, semangat, percaya diri, rendah hati dan bertanggung jawab).
Jogja hari ini adalah semau-maumu kamu mau bilang apa!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews