Rasa kepuasan membuat orang miskin sebagai orang yang kaya, sementara ketidakpuasan membuat orang-orang kaya menjadi seorang miskin.
Kemarin sebuah media online menulis secara lengkap tentang Jokowi sebagai raja tanah. Karena memiliki banyak tanah di Surakarta. Lengkap pula disebut kekayaannya senilai Rp54,71 milyar lebih dikit (tepatnya Rp54.718.200.893).
Sudut pandangnya agak aneh. Karena dari judul hingga lead-nya, mengesankan Jokowi adalah konglomerat. Dengan penekanan menguasai banyak lahan, meski semuanya disebutkan dari usaha sendiri.
Tak ada yang baru dalam informasi itu. Wong ‘cuma’ ngutip Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara ( LHKPN) dari laman resmi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jokowi terakhir kali melaporkan kekayaannya 29 Februari 2020. Sebagian besar berupa aset properti, baik tanah maupun bangunan.
Herannya, penulis dan redakturnya bisa menyusun kalimat begitu rupa. Padal dibanding Sukarno, yang dibilang Presiden miskin itu, mungkin Jokowi kalah kaya. Itu sekiranya tulisan koran tertua Austria, Kronen Zeitung (edisi 17 dan 19 Desember 2012) benar adanya. Konon data kekayaan Sukarno sebesar US$ 180 miliar, tersimpan di sebuah bunker Union Bank of Switzerland (UBS), dan itu yang membuat puluhan politikus dan kaum klenik bergabung.
Soeharto? Jangan ditanya. Time Warner Inc (di mana majalah TIME menyebut Soeharto sebagai presiden terkorup di dunia) menyebut harta Soeharto mencapai sekitar US$ 15 miliar (termasuk US$ 9 miliar yang ditransfer dari bank Swiss ke bank Austria).
Kekayaan BJ Habibie, dalam taksiran Asia Far Eastern Economic Review mencapai US$ 60 juta, tak lebih kaya dari Soeharto meski berkelas internasional. Sedangkan Megawati, menurut LHKPN 2014 mempunyai kekayaan senilai Rp96.164.593.814.
SBY? Dalam LHKPN 2014 juga, kekayaannya mencapai Rp13.983.608.460. Tapi jangan bilang nggak kaya, bisa bikin Cikeas Fans Klub baperan. Akan dibilang tidak sekecil itu, apalagi kok kalah dari Jokowi. Tapi kalau ditanya darimana kekayaannya? Bisa malah diamuk.
Presiden Indonesia termiskin, barangkali Gus Dur, yang ‘cuman’ Rp3.495.720.043 (LHKPN 2001). Lebih kayaan Jokowi ‘kan? Tapi kita juga boleh tahu, harga satu rumah apartemen milik Hari Tanoe di AS, bekas rumah Donald Trump, Rp193 milyar. Atau bandingkan dengan Surya Paloh, yang jet pribadinya seharga Rp346 milyar, meski lebih mahalan milik Prabowo dengan nilai Rp375 milyar.
Nggak usah gitu, bandingkan kekayaan Jokowi dengan Adamas Belva. Mantan stafsus milenial Jokowi itu kekayaannya ditaksir lebih dari Rp1 trilyun. Pantes, anak muda itu mengundang kecemburuan orang-orang tua, dan yang sedikit lebih tuaan.
Tapi pentingkah ngomong kekayaan? Tidak sangat penting. Namun di tengah masyarakat gibah yang materialistis, kita tak dapat melepaskan kekhawatiran dari makin dangkalnya orientasi hidup. Masyarakat dan pergaulannya, adalah projeksi dari individu. Bayangkan, jika di kalangan penguasa, pejabat negara, bisa muncul rasa malu jika mereka (dianggap) miskin, padal memang miskin luar dalam.
Napoleon Hill mengingatkan, kekayaan sejati tak diukur dari yang engkau punya. Melainkan dari apa yang merupakan jati diri atau karaktermu. Karena menurut penulis Oscar Wilde, “Kekayaan pada umumnya mudah dicuri, tetapi kekayaan yang sejati tidak.” In the treasury-house of your soul, there are infinitely precious things, that may not be taken from you, tulis penulis Irlandia itu. Kekayaan sejati tak bisa diambil oleh siapa pun dari dirimu. Karena dalam jiwamu terdapat sesuatu yang nilainya tiada tara
Maka, yang mesti dijaga dan dikritisi, bagaimana kecungkringan Jokowi, dengan hartanya yang ‘cuman segitu’ itu, masih tetap ditakuti mereka yang kekayaannya jauh di atas. Apalagi oleh yang lebih miskin tapi korup dan tak adil. Contentment makes poor men rich, discontent makes rich men poor, kata Benjamin Franklin. Rasa kepuasan membuat orang miskin sebagai orang yang kaya, sementara ketidakpuasan membuat orang-orang kaya menjadi seorang miskin.
Meski yang paling cilakak, sudah miskin cemburuan. Terus banting stir jadi Youtuber, untuk menebar kebencian.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews