Kekayaan Presiden

Rasa kepuasan membuat orang miskin sebagai orang yang kaya, sementara ketidakpuasan membuat orang-orang kaya menjadi seorang miskin.

Selasa, 16 Juni 2020 | 10:24 WIB
0
289
Kekayaan Presiden
Presiden Jokowi dan Wapres Ma'ruf Amin (Foto: Pinterest.com)

Kemarin sebuah media online menulis secara lengkap tentang Jokowi sebagai raja tanah. Karena memiliki banyak tanah di Surakarta. Lengkap pula disebut kekayaannya senilai Rp54,71 milyar lebih dikit (tepatnya Rp54.718.200.893).

Sudut pandangnya agak aneh. Karena dari judul hingga lead-nya, mengesankan Jokowi adalah konglomerat. Dengan penekanan menguasai banyak lahan, meski semuanya disebutkan dari usaha sendiri.

Tak ada yang baru dalam informasi itu. Wong ‘cuma’ ngutip Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara ( LHKPN) dari laman resmi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jokowi terakhir kali melaporkan kekayaannya 29 Februari 2020. Sebagian besar berupa aset properti, baik tanah maupun bangunan.

Herannya, penulis dan redakturnya bisa menyusun kalimat begitu rupa. Padal dibanding Sukarno, yang dibilang Presiden miskin itu, mungkin Jokowi kalah kaya. Itu sekiranya tulisan koran tertua Austria, Kronen Zeitung (edisi 17 dan 19 Desember 2012) benar adanya. Konon data kekayaan Sukarno sebesar US$ 180 miliar, tersimpan di sebuah bunker Union Bank of Switzerland (UBS), dan itu yang membuat puluhan politikus dan kaum klenik bergabung.

Soeharto? Jangan ditanya. Time Warner Inc (di mana majalah TIME menyebut Soeharto sebagai presiden terkorup di dunia) menyebut harta Soeharto mencapai sekitar US$ 15 miliar (termasuk US$ 9 miliar yang ditransfer dari bank Swiss ke bank Austria).

Kekayaan BJ Habibie, dalam taksiran Asia Far Eastern Economic Review mencapai US$ 60 juta, tak lebih kaya dari Soeharto meski berkelas internasional. Sedangkan Megawati, menurut LHKPN 2014 mempunyai kekayaan senilai Rp96.164.593.814.

SBY? Dalam LHKPN 2014 juga, kekayaannya mencapai Rp13.983.608.460. Tapi jangan bilang nggak kaya, bisa bikin Cikeas Fans Klub baperan. Akan dibilang tidak sekecil itu, apalagi kok kalah dari Jokowi. Tapi kalau ditanya darimana kekayaannya? Bisa malah diamuk.

Presiden Indonesia termiskin, barangkali Gus Dur, yang ‘cuman’ Rp3.495.720.043 (LHKPN 2001). Lebih kayaan Jokowi ‘kan? Tapi kita juga boleh tahu, harga satu rumah apartemen milik Hari Tanoe di AS, bekas rumah Donald Trump, Rp193 milyar. Atau bandingkan dengan Surya Paloh, yang jet pribadinya seharga Rp346 milyar, meski lebih mahalan milik Prabowo dengan nilai Rp375 milyar.

Nggak usah gitu, bandingkan kekayaan Jokowi dengan Adamas Belva. Mantan stafsus milenial Jokowi itu kekayaannya ditaksir lebih dari Rp1 trilyun. Pantes, anak muda itu mengundang kecemburuan orang-orang tua, dan yang sedikit lebih tuaan.

Tapi pentingkah ngomong kekayaan? Tidak sangat penting. Namun di tengah masyarakat gibah yang materialistis, kita tak dapat melepaskan kekhawatiran dari makin dangkalnya orientasi hidup. Masyarakat dan pergaulannya, adalah projeksi dari individu. Bayangkan, jika di kalangan penguasa, pejabat negara, bisa muncul rasa malu jika mereka (dianggap) miskin, padal memang miskin luar dalam.

Napoleon Hill mengingatkan, kekayaan sejati tak diukur dari yang engkau punya. Melainkan dari apa yang merupakan jati diri atau karaktermu. Karena menurut penulis Oscar Wilde, “Kekayaan pada umumnya mudah dicuri, tetapi kekayaan yang sejati tidak.” In the treasury-house of your soul, there are infinitely precious things, that may not be taken from you, tulis penulis Irlandia itu. Kekayaan sejati tak bisa diambil oleh siapa pun dari dirimu. Karena dalam jiwamu terdapat sesuatu yang nilainya tiada tara

Maka, yang mesti dijaga dan dikritisi, bagaimana kecungkringan Jokowi, dengan hartanya yang ‘cuman segitu’ itu, masih tetap ditakuti mereka yang kekayaannya jauh di atas. Apalagi oleh yang lebih miskin tapi korup dan tak adil. Contentment makes poor men rich, discontent makes rich men poor, kata Benjamin Franklin. Rasa kepuasan membuat orang miskin sebagai orang yang kaya, sementara ketidakpuasan membuat orang-orang kaya menjadi seorang miskin.

Meski yang paling cilakak, sudah miskin cemburuan. Terus banting stir jadi Youtuber, untuk menebar kebencian.

***