Argumen "Manusia Jerami" Salah Satu Cacat Logika

Kamu membangun asumsimu sendiri yang leluasa kamu serang, karena kamu sadar gak bisa mematahkan kebenaran dari argumenku yang asli.

Senin, 2 Maret 2020 | 06:15 WIB
0
586
Argumen "Manusia Jerami" Salah Satu Cacat Logika
Ilustrasi orang-orangan (Foto: worldatlas.com)

Jangan dibaca, apalagi sampai habis. Nanti ilmu kamu bertambah banyak! Bahaya

Contoh: 

Afi : "Maaf ya, aku belum bisa nemenin kamu ke bioskop, soalnya aku harus belajar untuk ujian besok"
Si Anu : "Ohhh jadi kamu udah gak sayang lagiiii sama akuuu?"

Tanggapan si Anu terhadap Afi merupakan salah satu cacat logika bernama "straw man" atau "manusia jerami".

Si Anu membangun argumennya sendiri, diistilahkan dengan manusia jerami, untuk dia serang, karena dia sadar bahwa dia tidak mampu menyerang argumen asli dari Afi.

Sebab, siapa bilang Afi sudah tidak sayang lagi dengan Si Anu? Afi kan cuma bilang dia tidak bisa menemani ke bioskop. Titik!

Bukan berarti tidak sayang. Si Anu sendiri yang membangun asumsi, lalu dia serang asumsi tersebut, seolah-olah asumsi tersebut = argumen Afi. Padahal BEDA JAUH.

Sama seperti:

Afi : "Sebelum memutuskan memiliki anak, orangtua memang SEHARUSNYA memastikan bahwa mereka siap secara finansial, fisik, dan psikologis. Kalau tidak, anak akan berpotensi menderita di banyak aspek kehidupannya. Penderitaan tersebut bisa dihindari seandainya calon orang tua membuat keputusan dengan matang, tidak tergesa-gesa, dan menghindari alasan yang bersifat spekulatif/perjudian. Karena kehadiran anak itu sifatnya permanen. Anak bukan seperti barang yang bisa diretur ke toko seandainya terjadi kesalahan atau terjadi penyesalan"

Netizen : "Lho kok gak boleh punya anak, padahal itu kodrat? Kok ada orang yang mau punya anak banyak kamu larang? Buat apa nikah kalo bukan untuk punya anak? Anak itu takdir!"

Woy jen netijennnn, emangnya siapa sih yang bilang pasangan suami istri itu gak boleh punya anak? SIAPAAAAA?

Padahal aku tidak MENGATAKAN satupun hal-hal yang kamu bilang di atas tersebut.

Yang aku katakan cuma "Persiapkan dirimu sebelum punya anak, karena memiliki anak tanpa persiapan berpotensi melahirkan konsekuensi negatif". Udah. Titik.

Jangan hobi straw man ah.

Kamu membangun asumsimu sendiri yang leluasa kamu serang, karena kamu sadar gak bisa mematahkan kebenaran dari argumenku yang asli.

Aku ngomong seperti di atas itu bukan asal-asalan. Mau landasan ilmiahnya? Oh banyak! Baca saja buku "Life-Span Development" karya profesor psikologi, J.W. Santrock, terbit tahun 2018.

Di sana bejibun deh kalau mau baca penelitian/riset soal hubungan antara kesiapan dan pengasuhan orang tua dengan perkembangan anak. Faktanya, orang tua yang tidak siap, baik secara mental maupun material, cenderung menghasilkan anak yang bermasalah di masa depan.

Jadiiii jen netijen, mau kamu punya anak 1 kek, 10 kek, asalkan kamu SIAP, ya gapapa. Silakan saja!

Dan kesiapan ini bersifat OBJEKTIF. Terukur.

Salah satu contohnya, kalau kamu nyatanya gak mampu nyekolahin anak sampai pendidikan wajib 12 tahun, ya artinya kamu BELUM siap jadi orangtua. Meskipun kamu ngeyel bagaimanapun, ngotot bilang kalau kamu mampu, bahkan sampai bawa-bawa dalil agama yang kamu pelintir seenaknya: "Kalau rezeki sudah ada yang ngatur ya akutu bisa apa! Aku punya anak 12 itu takdir Fi! Dasar kamu bocah gak ada otak"

Yo wis karepmu. Terserahhhh. Sungguh KEEGOISAN yang begitu rapi dibungkus dalih agama dan kawan-kawannya.

Valentine bukan budaya kita. Budaya kita adalah kalau gak bisa mematahkan argumen asli, Straw man pun jadi. 

Asa Firda Inayah, Mahasiswi S1 Psikologi

***