Refly memosisikan diri sebagai seorang intelektual, dan dia merasa sebagai intelektual memiliki hak untuk mengkritik, tapi anehnya tidak mau dikritik, yang mengkritiknya dituduh sebagai buzzer.
Bagus sih kalau Mantan Menteri, dan Mantan Komisaris BUMN menjadi oposisi pemerintah, agar bisa sebagai penyeimbang, sehingga mampu memberikan kritik yang konstruktif.
Itu kalau apa yang disampaikan dengan mengutamakan data, dengan tujuan mengkoreksi apa yang dianggap salah, beserta dengan memberikan solusi secara objektif, jadi bukan sekadar nyinyir di media sosial.
Katakan salah kalau kebijakan yang dijalankan pemerintah salah, dan secara objektif mau mengakui benar, kalau kebijakan yang diterapkan pemerintah adalah benar dan tepat sasaran.
Memang tidak semua mantan Menteri dan Komisaris BUMN menjadi kritis terhadap pemerintah, setelah tidak lagi menjabat, bahkan ada yang menghilang begitu saja, namun ada juga tetap mendukung pemerintah.
Tapi memang tidak bisa dipungkiri, yang terbiasa vokal saat masih di pemerintahan, begitu tidak lagi menjabat tetap konsisten mengkritisi pemerintah. Memang lebih baik berada diluar pemerintahan kalau ingin mengkritisi pemerintah.
Akan kelihatan apa yang dikritisi adalah sesuatu yang memang perlu dikritisi, dan Mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli, masih bisa memberikan kritik yang proporsional, sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya.
Meski pun juga terkadang terkesan "lebay" namun masih dianggap memiliki kepantasan, berbeda dengan Said Didu yang lebih mengedepankan emosi dan kebencian, sehingga tiada hari tanpa kritik terhadap pemerintah, sehingga memberikan kesan sedang melampiaskan sakit hati.
Sekarang yang terbaru, Refly Harun yang terus ngegas sejak dicopot sebagai Komisaris Utama Pelindo I, mencari-cari kesalahan Jokowi atau pun pemerintahannya. Sehingga menempatkan dirinya kedalam barisan "sakit hati".
Setelah mengkritisi larangan mudik Jokowi, yang terbaru Refly Harun mengungkit cara pemenangan Jokowi dalam Pilpres 2019. Pakar hukum tata negara ini sangat geram, dimana Komisaris-komisaris BUMN terlihat dalam pemenangan Jokowi.
Sementara saat itu dia sendiri merupakan salah satu Komisaris Utama saat itu. Kenapa Refly cuma geram? Kenapa tidak langsung mengundurkan diri, dan menolak adanya pengerahan Komisaris BUMN untuk pemenangan Jokowi?
Sebagai pakar hukum dia tahu, apa yang dilakukan tim sukses Jokowi adalah salah, dan inkonstitusional, harusnya Refly tidak hanya geram, tapi langsung bertindak dan mencegahnya. Secara moril, harusnya dia ikut bertanggung jawab.
Ternyata Refly masih ingin menikmati jabatannya, dan fasiltas yang diterima sebagai Komisaris Utama. Dengan sikap kritisnya, dia sadar betul, cepat atau lambat dia akan tersingkir dari jabatannya. Tapi sangat disayangkan dia tidak konsisten dengan prinsip hidupnya.
Tidaklah bijak, setelah tidak lagi menjabat lalu membeberkan semua kesalahan pemerintah, yang pernah diketahui, namun tidak ada tindakan. Sehingga malah terkesan terus menerus melampiaskan sakit hati pada pemerintah.
Dengan sikap seperti itu, sehingga masyarakat kehilangan resfek terhadap intelektual yang dimilikinya, sehingga malah terkesan menjadi seorang pecundang. Padahal secara intlektual dan keilmuan yang dimilikinya, masyarakat berharap dia mampu mampu menjadi penyeimbang yang objektif, bukanlah bagian dari barisan sakit hati.
Uniknya lagi, Refly memosisikan diri sebagai seorang intelektual, dan dia merasa sebagai intelektual memiliki hak untuk mengkritik, tapi anehnya tidak mau dikritik, yang mengkritiknya dituduh sebagai buzzer, inikan egois sekali.
Tak urung, tweetnya itu dikritisi banyak orang, salah satunya Yunarto Wijaya, yang mempertanyakan yang kritis pada penguasa tidak boleh dikritik? Ngeri amat kata Yunarto.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews