Tampaknya Gerindra Sudah Mulai Tak Nyaman di Kabinet

Mempersoalkan latar belakang wakil menteri dan "veto" menteri koordinator justru akan menciptakan suasana kurang nyaman ke depan. Dan hal itu tidak baik dalam "tim kerja".

Sabtu, 26 Oktober 2019 | 14:48 WIB
1
3210
Tampaknya Gerindra Sudah Mulai Tak Nyaman di Kabinet
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Wakil Menteri Pertahanan Wahyu Sakti Trenggono (Gambar: poskotanews.com)

Setelah Presiden Joko Widodo melantik para menteri, pejabat setingkat menteri, dan wakil menteri, artinya struktur kabinet pemerintahan untuk periode 2019-2024 sudah final. Hampir tidak ada lagi yang perlu ditimbang sana-sini oleh beliau.

Barangkali dalam waktu cepat atau lama, presiden masih akan mengotak-atik jabatan duta besar (dubes). Tetapi itu bisa beliau lakukan sembari menikmati kerjasama dengan para 'pembantu' barunya (meski ada juga yang berwajah lama).

Pada Rabu, 23 Oktober 2019, presiden melantik sebanyak 38 orang menteri serta pejabat setingkatnya. Sementara pada Jumat, 25 Oktober 2019, beliau sudah juga melantik sebanyak 12 orang wakil menteri. Beliau berharap, semua program yang telah direncanakan dieksekusi cepat dan tepat.

Melihat komposisi kabinet yang disusun presiden, ada pihak yang merasa puas dan ada pula yang kecewa. Namun mestinya semua pihak wajib memahami bahwa "pengguna jasa" para 'pembantu' itu adalah presiden sendiri, yang tidak boleh ditentang secara berlebihan oleh siapa pun.

Makanya ada istilah "hak prerogatif" presiden, yang bermakna bahwa seluruh kewenangan berada di tangan presiden. Apakah akan tetap ada pihak yang merasa kurang puas dengan hal itu? Jelas pasti ada, bahkan mungkin sampai akhir periode pemerintahan.

Akan tetapi, biarlah kekurangpuasan itu mengikis sedikit demi sedikit seiring berjalannya roda pemerintahan. Oleh sebab itu, presiden bersama seluruh jajarannya memang harus menunjukkan kinerja positif selama bekerja.

Sekali lagi, perasaan kurang puas berupa penolakan dini terhadap struktur kabinet masih dalam taraf wajar. Dan hal itu diharapkan datang dari masyarakat atau pihak (partai politik) yang tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan kabinet, bukan dari partai politik yang nyata-nyata sedang berada di dalam kabinet.

Sila berbeda pendapat atas beberapa penilaian pribadi saya terhadap hal yang ingin diuraikan pada artikel ini. Menurut pengamatan saya, ada satu partai politik yang kini berada di kabinet sudah mulai memberi sinyal "tidak nyaman", yakni Partai Gerindra.

Mayoritas publik paham bahwa sebagai partai yang 'menelan' kekalahan dalam Pilpres 2019, Gerindra tidak sepantasnya masuk kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin. Gerindra diharapkan mau berada di luar untuk jadi oposisi (utama) sehingga bisa mengimbangi kekuasaan pemerintah.

Namun apa daya, harapan sebagian warga terhadap Gerindra tidak terwujud. Gerindra kukuh masuk kabinet, di mana akhirnya berhasil memperoleh dua kursi menteri. Menteri Pertahanan untuk Prabowo Subianto serta Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk Edhy Prabowo.

Dengan diberi dua kursi menteri, Gerindra mestinya tidak bersikap "aneh", yang sebelumnya saya sebut mulai memberi sinyal "tidak nyaman". Apa sinyal yang dimaksud? Berikut paparannya:

Pertama, saat Wahyu Sakti Trenggono selesai dilantik sebagai Wakil Menteri Pertahanan (mendampingi Prabowo), Prabowo selaku Menteri Pertahanan memberi ucapan selamat yang disertai dengan bisikan-bisikan. Apa itu?

"Beliau bilang gini sambil bercanda, sudah kamu yang kerja aku yang tidur, dia bilang begitu. Artinya nyaman. Nah saya pikir waduh, oh ya sudah, kalau begitu beliau percaya sama saya," kata Trenggono.

Saya kurang tahu apakah ungkapan Trenggono sesuai dengan apa yang ada di hatinya atau tidak, namun saya merasa makna "sudah, kamu yang kerja, aku yang tidur" tidaklah demikian. Saya akan jelaskan lebih lanjut pada poin-poin berikutnya.

Bagi saya, bisikan Prabowo bermakna "Anda tampaknya tidak cocok mendampingi saya", "Saya lebih paham daripada Anda", dan "Kalau terpaksa begitu, maka biarlah Anda yang mengatur segalanya".

Sekali lagi, saya sama sekali tidak menangkap pesan "rasa nyaman" di balik bisikan Prabowo, makanya saya katakan sepertinya ungkapan Trenggono belum tentu mewakili isi hatinya yang sebenarnya.

Kedua, Sekretaris Fraksi Partai Gerindra Desmond J. Mahesa menyebut Trenggono kurang berkapasitas sebagai Wakil Menteri Pertahanan karena tidak memiliki latar belakang yang mumpuni di bidang itu.

"Misalnya Wamen di Menhan. Orang ini kan harusnya ada nilai plus. Minimal dia itu paham militer dan strategi pertahanan. Tapi kalau orang ditaruh di situ karena waktu kampanye membantu Pak Jokowi, kesannya saya pikir kasihan Pak Prabowo ya. Minimal yang ditunjuk orang yang sudah berpengalaman, minimal di lingkungan lama. Kenapa? Karena ini kan ada proses transisi antara Pak Ryamizard dan Pak Prabowo. Kalau ada orang baru, siapa yang paham menangani persoalan-persoalan lama," ujar Desmond.

Tidak hanya itu, Desmond mengatakan bahwa penunjukkan Trenggono sebagai Wakil Menteri Pertahanan justru membuat Prabowo terbebani dan tidak nyaman menjalankan tugas.

"Kalau menurut saya, Pak Prabowo sebenarnya tidak happy ya. Kalau ada orang baru, siapa yang paham menangani persoalan-persoalan lama. Masalah helikopter, dan lain-lain. Kalau menurut saya Pak Prabowo terbebani dengan ini," lanjut Desmond.

Siapakah Trenggono yang ditentang oleh Desmond? Trenggono adalah mantan Bendahara Tim Kampanye Nasional (TKN) pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin saat Pilpres 2019, yang lebih banyak berkecimpung di dunia industri informasi telekomunikasi.

Pertanyaannya, melihat kontribusi pada perjuangan memenangkan Jokowi-Ma'ruf Amin, yang paling berhak menduduki jabatan menteri atau wakil menteri sebenarnya Prabowo atau Trenggono?

Menyangkut soal kapasitas jabatan Wakil Menteri Pertahanan yang tidak berlatar belakang militer, bagaimana dengan Prof. Ir. Purnomo Yusgiantoro, M.Sc., M.A., Ph.D yang pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono periode 2009-2014 tetapi tidak berlatar belakang militer atau tentara?

Seharusnya begini, Gerindra (Prabowo atau Desmond) sudah selayaknya memahami posisi mereka di kabinet. Trenggono sejatinya lebih berhak menempati posisi penting karena pernah "berdarah-darah" demi memenangkan Jokowi-Ma'ruf Amin.

Gerindra wajib mengerti bahwa tujuan presiden menyediakan kursi Wakil Menteri Pertahanan semata-mata untuk memperlancar pelaksanaan program-program pemerintah. Prabowo dan Trenggono bisa berbagi peran supaya tugas-tugas mereka sukses optimal.

Ketiga, dan menurut saya ini cukup aneh, yaitu Desmond ikut mempertanyakan pemberian hak veto dari presiden kepada empat menteri koordinator bidang. Hak tersebut berupa kuasa membatalkan kebijakan menteri yang ada di bawahnya.

"Ini harus ada UU-nya. Kalau tidak ada UU-nya, dasarnya apa? Apakah presiden itu raja? Kalau bicara UU, ini harusnya diatur oleh pemerintah dan DPR. Tapi kalau sudah merasa bahwa veto itu adalah sabda Jokowi, rusak negara ini. Jokowi sudah jadi raja baru di republik ini," kata Desmond.

Tampaknya Desmond kurang memahami apa itu hak prerogatif presiden. Termasuk pula kewenangan bebas seorang presiden memberi arahan tugas kepada para menterinya.

Sebagai atasan para menteri, presiden punya hak penuh mengatur pekerjaan anak buahnya. Entah itu menteri koordinator atau pun menteri biasa. Dan ketika menteri koordinator melaksanakan tugas (misalnya membatalkan kebijakan menteri di bawahnya), tentu pasti sudah seizin presiden.

Sejak kapan pekerjaan teknis para menteri wajib tertuang dalam undang-undang (UU)? Saya sudah berusaha mencari dasarnya, tetapi tidak saya temukan. Semoga Desmond segera memberi pencerahan. Dan label "raja" kepada presiden saya setuju, selama itu menyangkut fungsi "memimpin".

Ada apa dengan Gerindra (Desmond dan Prabowo)? Mengapa menolak Trenggono, apakah karena dia mantan tim sukses Jokowi? Mengapa pula menolak "veto" menteri koordinator, apakah maksudnya Prabowo tidak bersedia diatur? Tanda tanya (?).

Usul saya, kalau memang niat masuk kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin untuk saling bekerjasama membangun bangsa, menghindari perpecahan dan mempererat persatuan, sebaiknya Gerindra fokus saja pada tugas yang dibebankan kepada mereka, khususnya terkait tanggungjawab di pemerintahan.

Mempersoalkan latar belakang wakil menteri dan "veto" menteri koordinator justru akan menciptakan suasana kurang nyaman ke depan. Dan hal itu tidak baik dalam "tim kerja". Seluruh rakyat Indonesia ingin agar para pelayannya bekerja sungguh-sungguh dan tidak mengecewakan.

Semoga anggota kabinet pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin saling menerima satu dengan yang lain. Amin!

***