Sebagai sesama mantan perwira tinggi yang Muslim, Ustadz Rachmat mengusulkan supaya keduanya melakukan mubahalah. Itulah cara bersumpah secara Islam, dan sunnah yang juga pernah dilakukan Rasulullah SAW semasa hidupnya dulu.
Dalam pekan-pekan ini media dan medsos diramaikan oleh polemik antara Menkopolhukam Wiranto dan mantan Kepala Staf Kostrad Kivlan Zen. Keduanya purnawirawan jenderal TNI AD yang aktif saat terjadinya Kerusuhan Mei 1998 lalu.
Bukan kemuskilan keduanya mengetahui permasalahan sesungguhnya yang terjadi ketika itu. Dan, siapa dalang atau pemilik wewenang yang terlibat dalam kerusuhan tersebut. Ironisnya kedua purnawirawan yang sudah disebut kakek itu, berpolemik di media.
Keduanya adu polemik di media. Jelas, kondisi ini bagi rakyat Indonesia umumnya terlihat lucu. Bukan tidak mungkin perilaku mereka justru membuat citra TNI AD menjadi sorotan. Secara duniawi, sikap Wiranto yang mengajak Sumpah Pocong itu sangat menarik.
Begitu pula sikap Kivlan Zen yang mengajak debat dengan pembuktian terbalik atas fakta dan data yang ada, di televisi untuk dilihat rakyat Indonesia. Sikap kedua kakek itu sangat jempol.
Sayangnya, diantara mereka tidak ada titik temu untuk menyelesaikan masalah yang mereka perdebatkan. “Karena itu, sebagai seorang muslim, saya dengan rendah hati menyarankan pada kedua senior itu untuk melakukan mubahalah saja,” tegasnya.
Bersumpah saling melaknat diri dengan Allah SWT sebagai hakimnya, sehingga kebenaran yang hakiki akan dilihat rakyat Indonesia. Sehingga, kegaduhan soal Kerusuhan 1998 bisa langsung dihentikan.
“Tak lagi dapat dijadikan kendaraan politik untuk kepentingan politik menguasai NKRI,” ujar Ustadz asli Surabaya berdarah Madura ini kepada Pepnews.com.
Dengan saran tersebut, ia paparkan tentang sumpah mubahalah/li'an dan Sumpah Pocong. Diantara sumpah itu, mana sumpah yang ideal dilakukan kaum muslim sesuai tuntunan Rasulullah Muhammad SAW.
Dalam Islam, mubahalah diperkenankan menjadi solusi bila ada dua pihak berselisih. Bahkan Rasulullah pernah mau melakukannya. Rasulullah menantang beberapa utusan dari Najran untuk melakukan mubahalah, yang bersikukuh memposisikan Nabi Isa sebagai Tuhan.
Namun, kaum Najran tidak hadir sesuai waktu bersumpah yang disepakati. Kaum Najran lebih memilih untuk membayar dam (denda) daripada bermubahalah yang akan merugikan keluarganya di dunia dan akhirat.
Ibtihal dan Mubahalah secara bahasa diambil dari bahaltuhu, sebagaimana dijelaskan beberapa ulama tafsir seperti Al-Qurthubi yang bermakna ‘saya melaknatnya’.
Imam Al-Baghawi dalam tafsirnya menukil perkataan al-Kalbi, menyebutkan makna ibtihal sebagai “bersungguh-sungguh dalam berdoa”.
Jadi makna mubahalah adalah dua pihak yang berdoa kepada Allah dengan bersungguh-sungguh agar Allah menjatuhkan laknat kepada pihak yang berdusta.
Syaikh Abdurrahman as-Sa’adi menjelaskan, mubahalah dilakukan karena bukti-bukti dan dalil-dalil dari salah satu pihak yang berselisih sudah sangat jelas. Artinya diskusi dan debat tak berguna lagi. Sebab penolakan salah satu pihak lebih disebabkan oleh kesombongan dan pembangkangan.
Allah menawarkan mubahalah sebagai solusi menghadapi pembangkangan. Harapannya, pihak yang membangkang bisa mengakui kesalahannya. Kalaupun tetap tidak mengakui, maka laknat Allah dan kebinasaan yang menimpa mereka-lah yang akan menjadi bukti kesalahan pihak yang membangkang dan berdusta tersebut.
Tata cara mubahalah telah pula disebutkan secara terperinci dalam al-Quran, “Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya):
“Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu, kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta” (Ali-Imran : 61).
Kehadiran anak dan istri kedua pihak di arena mubahalah, sebagaimana dijelaskan as-Sa’adi, adalah agar mereka ikut menerima laknat jika pihaknya, ternyata berdusta. Hal inilah yang kemudian membuat utusan dari Najran tak berani melayani tantangan mubahalah Rasulullah, mereka takut laknat akan menimpa dirinya dan keluarganya.
Adapun Sumpah Pocong seperti dijelaskan dalam Wikipidea Indonesia, adalah sumpah yang dilakukan oleh seorang dalam keadaan terbalut kain kafan seperti layaknya orang yang sudah meninggal, sumpah ini biasa dilakukan untuk membuktikan suatu tuduhan yang sedikit atau tidak memiliki bukti.
Tata cara sumpah seperti ini tak dikenal dalam syariat Islam. Sumpah Pocong tersebut lebih karena dipengaruhi tradisi daerah tertentu. Oleh karenanya, tata cara sumpah seperti ini harus dihindari, karena Islam dan Rasulullah tidak memberikan tuntutan tersebut.
Tudingan Wiranto sebagai Dalang Kerusuhan 1998 tersebut bermula dari ungkapan Kivlan Zen dalam sebuah acara diskusi bertajuk “Tokoh Bicara 98” di Add Premiere Ballroom, Jalan TB Simatupang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin (25/2/2019).
Kivlan Zen sendiri membantah sengaja menyerang Menko Polkukam itu menjelang Pilpres 2019. Ia mengungkap dugaan keterlibatan Wiranto sebagai dalang kerusuhan 1998 karena diundang dalam sebuah acara diskusi bertajuk “Tokoh Bicara 98” itu.
“Acara itu bukan saya yang buat. Saya hanya datang sebagai narasumber. Saya bicara apa adanya saja,” kata Kivlan, seperti dikutip Kompas.com, Rabu (27/2/2019). Keterlibatan Wiranto sebagai dalang kerusuhan 1998 bisa dilihat dari sejumlah hal.
Misalnya, Wiranto yang saat itu Panglima ABRI melarang adanya pasukan dari luar daerah untuk dikirim ke Jakarta yang tengah dilanda kerusuhan. Wiranto juga yang menggerakkan mahasiswa menduduki Gedung MPR untuk melengserkan Soeharto.
Kivlan mengaku hanya menyampaikan fakta-fakta yang ada di acara diskusi itu dan sama sekali tidak mempunyai motif politik. “Karena saya juga bukan pendukung atau tim sukses Prabowo, bukan juga pendukung Jokowi,” tegas Kivlan.
Kivlan justru mempertanyakan motif Wiranto yang turut menantang Prabowo untuk Sumpah Pocong soal dalang kerusuhan 1998. Padahal, capres 02 yang juga mantan Pangkostrad itu sama sekali tak pernah menyinggung Wiranto terlibat kerusuhan.
Katanya, “Kan saya yang bilang Wiranto dalang kerusuhan. Kok tahu-tahu Prabowo juga diajak sumpah pocong? Ini maksudnya apa?” Kivlan menolak tantangan Wiranto untuk sumpah pocong.
Menurutnya, akan lebih baik jika ia dan Wiranto berdebat secara terbuka di televisi terkait dalang kerusuhan. Jika perlu, Kivlan juga siap menyatakan fakta-fakta di pengadilan HAM atau pengadilan militer.
“Jangan sumpah pocong, itu sumpah setan. Tak ada koridor hukumnya,” ujar Kivlan. Wiranto sebelumnya membantah pernyataan Kivlan yang menyebutnya sebagai dalang kerusuhan 1998. Wiranto pun menantang Kivlan dan Prabowo Subianto untuk sumpah pocong.
“Saya berani, katakanlah berani untuk sumpah pocong saja. Tahun 1998 itu yang menjadi bagian dari kerusuhan itu, saya, Prabowo, Kivlan Zen, sumpah pocong kita, kata Wiranto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (26/2/2019).
“Siapa yang sebenarnya dalang kerusuhan itu. Supaya terdengar di masyarakat, biar jelas masalahnya. Jangan asal menuduh saja,” kata Wiranto. Namun, belakangan, ia sudah tidak mau lagi membicarakan tentang tantangan sumpah pocong itu.
Kivlan menantang balik Wiranto. Tapi bukan sumpah pocong melainkan adu debat. “Saya tantang dia debat. Berani enggak dia? Jangan sumpah pocong, itu sumpah setan. Sumpah ya demi Allah, sesuai sumpah prajurit,” tegas Kivlan.
“Sudah cukup saya komentari itu. Kita Pemilu gini,” kata Wiranto di sela-sela menghadiri Sidang Pleno Mahkamah Agung (MA) Tahun 2019 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Rabu (27/2/2019). Tampaknya Wiranto suah “mati kutu”.
Ditanya tentang kelanjutan dari realisasi tantangannya itu, Wiranto kini memilih bungkam. “Semua sedang konsentrasi ke bangsa, bukan ke urusan-urusan seperti ini. Saya sudah jawab, cukup,” tutup Wiranto, seperti dilansir RMOL.com, Rabu (27/2/2019).
Jika menyimak sikap Wiranto yang enggan menjawab lagi itu, siapakah diantara Wiranto dan Kivlan Zen yang berani melakukan mubahalah?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews