Pada hakikatnya ijtima ulama bukanlah memutuskan sesuatu atas dasar ego atau keberpihakan, apalagi karena urusan politik praktis.
Di kancah pemilihan presiden 2019, rakyat Indonesia diakrabkan dengan istilah Ijtima Ulama. Istilah ini muncul saat beberapa ulama berkumpul untuk merekomendasikan satu nama calon wakil presiden di awal Agustus 2018.
Ijtima ulama kesatu, begitulah disebutnya, saat sekitar 600 tokoh agama dan tokoh nasional yang tergabung di Gerakan Nasional Pengawal Fatwa atau GNPF-Ulama berkumpul dan merekomendasikan calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto untuk Pilpresd 2019.
Rizieq Shihab selaku Dewan Pembina GNPF-Ulama hadir dalam Ijtima ini melalui teleconference dari Mekkah, Arab Saudi. GNPF-Ulama merekomendasikan tokoh yang memiliki latar belakang religius untuk mendampingi Prabowo. Dua nama yang muncul yaitu Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al-Jufri dan ustad Abdul Somad Batubara (UAS).
UAS menolak tawaran posisi cawapres ini karena tak ingin masuk ke politik praktis dan hanya ingin fokus berdakwah. Di sisi lain, Salim Segaf menyatakan bersedia atas tawaran ini.
Baca Juga: Memahami Ijtima’ Ulama yang Mendukung Prabowo-Sandiaga
New line to prevent forcing root class, just delete it if it's not necessary
Apa yang terjadi kemudian tak semulus perkiraan para ulama ini. Prabowo menyatakan belum menyetujui hasil Ijtima ke-1 dengan alasan ingin berkonsultasi dengan tokoh-tokoh lainnya. Akhirnya Prabowo memilih Sandiaga Uno sebaga calon wakil presiden mendampinginya.
Keputusan Prabowo ini sempat diwarnai cuitan tokoh Demokrat Andi Arief yang mengatakan Prabowo Jenderal Kardus karena disinyalir memilih Sandiaga karena mahar 500 milyar dari Sandiaga Uno yang di berikan ke PKS dan PAN. Prabowo yang memilih rekan satu partainya walaupun akhirnya dipaksa untuk melepas jabatan di partai Gerindra dianggap ‘nakal’ telah mengabaikan Ijtima Ulama ke-1.
Satu bulan kemudian Ijtima Ulama ke-2 pun digelar. Dengan disaksikan beberapa tokoh seperti Fadli Zon, Zulkifli Hasan, Sekjen PKS Mustafa Kamal dan peserta Ijtima Ulama ke-2, Prabowo menandatangani Pakta Integritas yang ditawarkan oleh GNPF-Ulama sebagai jaminan Prabowo akan menjalankan amanat para ulama ini. Prabowo pun tetap diwakili oleh Sandiaga dan sukses mengantongi dukungan barisan GNPF-Ulama ini.
Pemungutan suara telah digelar pada 17 April 2019 dan penghitungan hasilnya masih berlangsung oleh KPU. Hasil Quick Count beberapa lembaga survey yang menunjukkan kemenangan pasangan Jokowi-Ma’ruf dianggap sebagai rekayasa oleh Prabowo dan barisannya.
Sore hari pasca pemungutan suara, dengan mengabaikan kekalahannya versi Quick Count, Prabowo tetap menggelar deklarasi kemenangan. Ia mengklaim memiliki hitung asli yang menunjukkan ia dan Sandiaga menang dengan prosentase 62% suara nasional. Beberapa temuan diklaim sebagai kecurangan oleh kubu Prabowo-Sandiaga. Mereka menuding kecurangan ini telah melibatkan KPU dan menguntungkan kubu Jokowi-Ma’ruf. Tudingan demi tudingan diarahkan ke kubu Jokowi dengan label kecurangan Masif, Terstruktur dan Sistematis.
Pihak KPU telah berkali-kali mengklarifikasi kesalahan input situng yang dinyatakan disebabkan oleh ‘human error’ dan telah diperbaiki datanya. Ketua KPU juga dengan tegas telah menyatakan bahwa tidak ada kecurangan Masif, Terstruktur dan Sistematis seperti yang dituduhkan kubu Prabowo-Sandiaga. KPU meminta agar semua kubu menghormati proses yang sedang berlangsung dan menerima hasilnya pada tanggal 22 Mei 2019 kelak.
Apa lacur, semua usaha klarifikasi yang dilakukan KPU tidak digubris oleh kubu Prabowo-Sandiaga. Dalam beberapa momen pertemuan dengan pendukungnya, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga bahkan kerap kali memancing emosi pendukungnya dengan klaim bahwa mereka telah dicurangi. Hal ini memicu digelarnya Ijtima Ulama ke-3 oleh GNPF-Ulama pada tanggal 1 Mei 2019, bertepatan dengan hari buruh internasional atau May Day.
Ijtima Ulama ini dikatakan dihadiri 1.000 ulama dan tokoh nasional. Ijtima Ulama ke-3 ini menyimpulkan adanya kecurangan yang masif, terstruktur dan sistematis. Di antara 5 poin yang dihasilkan Ijtima Ulama ke-3 ini poin utamanya adalah mendesak Bawaslu untuk mendiskualifikasi paslon Jokowi-Ma’ruf dari Pilpres kali ini. Selain itu, Yusuf Martak dalam Ijtima Ulama ke-3 juga meminta KPU untuk menghentikan hitung real count untuk mencegah negatifnya opini publik.
Ijtima Ulama ke-3 adalah puncak perlawanan kubu Prabowo terhadap konstitusi dan lembaga berwenang di negara kita. Tiga kali ijtima ulama digelar sudah tertebak kemana arahnya. Ijtima Ulama ini bahkan sangat tidak berimbang karena hanya dihadiri ulama yang pro kepada salah satu pihak dalam kancah politik pilpres kali ini. Padahal, hakikatnya ijtima ulama bukanlah memutuskan sesuatu atas dasar ego atau keberpihakan.
Secara bahasa, ijtimak atau ijmak atau ijma’ adalah berkumpul, bertemu, berhimpun, bersidang atau bersatu. Tapi, secara harfiah, ijtimak atau ijmak adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis dalam suatu perkara yang terjadi.
Ijtimak atau hasil konsensus ulama dalam cabang ilmu fiqih menempati level ketiga dari empat sumber hukum yang sah dan diakui. Sumber hukum pertama adalah Al-qur’an, kedua hadis, ketiga ijtimak ulama dan keempat adalah qiyas (preseden hukum).
Ijtimak ulama sejatinya adalah untuk menetapkan halal atau haramnya sesuatu hal bagi umat muslim. Ulama yang melakukan ijtima semestinya juga tidak mewakili salah satu pihak di antara umat yang dinaungi. Dalam kepentingan politik dimana setiap umat punya hak yang sama, ijtima ulama tidaklah tepat dilakukan untuk mengambil keputusan bahkan mengarahkan umat.
Apalagi, dalam kontestasi pilpres ini kedua paslon semuanya muslim, bahkan salah satu calon yang menjadi lawan yang dihadapi oleh hasil ijtimak ini adalah ketua Majelis Ulama Indonesia yang harusnya fatwanya juga didengar.
Ijtimak harus dilandasi ijtihad atau usaha sungguh-sungguh untuk mencari ilmu untuk memutuskan perkara yang tidak dibahas oleh al-qur’an dan hadist. Ulama yang hadir di ijtima harus mewakili seluruh umat islam yang dibela, bukan berat sebelah. Imam besar Mesjid Istiqlal Nasaruddin Umar mengatakan bahwa belum pernah ada preseden ijtima ulama di Indonesia yang melahirkan ijma (keputusan) yang bersifat politik praktis.
Baca Juga: Prabowo dan Ijtima Ulama, serta Politisasi Agama yang Kehilangan Makna!
Menurutnya, hanya ulama mujtahid atau ulama dengan ilmu fiqih yang mumpuni yang bisa menghasilkan sebuah ijma. Ketua Umum Patriot Garuda Nusantara Nuril Arifin Husein atau Gus Nuril menegaskan bahwa ijtima ulama bukan untuk kepentingan kekuasaan.
Jelas sudah Ijtima Ulama yang dilakukan oleh ulama dan para tokoh yang pro Prabowo-Sandiaga tidak mewakili seluruh umat muslim di Indonesia. Ijtima Ulama yang mereka lakukan lebih menyuarakan ego politik ketimbang merumuskan hukum yang berlaku atas suatu persoalan.
Dalam hal ini, kedua kubu memiliki paslon muslim, pendukung keduanya juga mayoritas umat muslim. Dan, di kedua kubu ada ulama-ulama yang mendukung di belakangnya. Lantas Ijtima Ulama ini untuk siapa?
Selembar sorban dan baju panjang memang seringkali dianggap melambangkan ketinggian ilmu agama seseorang. Ulama jadi profesi yang saat ini diagungkan untuk melegitimasi suatu keputusan di atas konstitusi yang berlaku. Tapi Ijtima Ulama bukan hal main-main yang bisa sembarang dilakukan. Jika ambisi tidak tercapai lantas ijtima jadi jalan akhir maka di situlah moralitas ‘ulama’ yang terlibat dipertanyakan.
Apakah ini murni keinginan mereka atau mereka memang digiring oleh pihak-pihak yang berkepentingan? Saya rasa ulama sejatinya masih suci dalam pikiran tapi mereka terlalu bersih untuk berpikir negatif terhadap pihak-pihak yang memanfaatkan. Cukuplah agama jadi permainan pemuas nafsu kekuasaan. Semoga pasca 22 Mei 2019 kesatuan umat muslim serta toleransi dengan semua agama di Indonesia kembali kokoh.
Lantas, apa hukumnya mengabaikan Ijtima Ulama 1, 2 dan 3 ini? Bagi saya, wajib! Karena keutuhan negara di atas segalanya…
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews