Pemilu 2019 merupakan ajang pesta demokrasi yang tidak terimunisasi dari peredaran hoax maupun fitnah, serangkaian ujaran kebencian hingga pada akhirnya politisasi tempat ibadah juga turut mewarnai terselenggaranya pemilu tersebut.
Hal tersebut tentu membuat relawan Turn Back Hoax mendapatkan tugas yang lebih banyak dibanding biasanya, karena harus mengkaji sebuah berita apakah hal tersebut Benar atau Salah atau Disinformasi.
Berita hoax nyatanya tidak hanya menjadi berita saja, jika berita tersebut di share ke publik, maka tak sedikit pula yang mempercayainya, bahkan menjadikannya semakin antipati terhadap capres ataupun partai tertentu.
Padahal Indonesia telah lama hidup dalam perbedaan dan keberagaman, derasnya arus berita hoax terutama di media sosial tentu amat sangat meresahkan, sehingga pemerintah perlu tegas dalam menyikapi hal tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto mengatakan bahwa layanan media sosial akan dinonaktifkan sementara waktu. Tindakan tersebut bertujuan untuk menghindari tersebarnya berita bohong atau hoax.
“Untuk sementara, untuk menghindari berita bohong kepada masyarakat luas. Akses di media sosial tidak diaktifkan untuk mencegah itu tadi, hal negatif yang bisa berdampak ke masyarakat,” tutur Wiranto.
Dirinya menjelaskan bahwa pemerintah ingin agar masyarakat mendapatkan informasi yang akurat. Sebab, Wiranto menyebutkan bahwa ada upaya adu domba di dalam masyarakat melalui berita bohong di medsos.
“Jangan sampai kita di adu domba sehingga persahabatan, persaudaraan kita di bulan puasa ini berpengaruh,” tutur Wiranto.
Undang – Undang ITE juga telah mengatur, bahwa konten video yang mengandung aksi kekerasan, hasutan yang provokatif serta ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) merupakan konten yang melanggar ketentuan undang – undang Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU 11 tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi elektronik.
Salah satu kebiasaan masyarakat Indonesia adalah, senang memviralkan sesuatu yang cenderung memberitakan hal yang negatif, baik berupa foto ataupun video. Jika video atau foto itu disebarkan, maka dalang kerusuhan tersebut akan semakin senang, karena keinginan untuk membuat ketakutan di tengah masyarakat telah berhasil.
Langkah pemerintah untuk memblokir sementara akses beberapa media sosial, tentu salah satu langkah yang dapat dilkukan, meski berdampak pada banyaknya keluhan netizen yang sudah tidak sabar berkirim pesan, atau ingin melakukan transaksi jual beli.
Pada aksi yang digelar 22 Mei lalu, kerusuhan pun tak dapat terhindarkan, segerombolan masa aksi yang rusuh menolak rekapitulasi suara pemilu 2019 yang telah diumumkan oleh KPU.
Aksi tersebut ternyata sudah diantisipasi, karena sejumlah pihak sebelumnya telah menyatakan bakal menggelar aksi yang mereka sebut people power. Dimana aksi protes tersebut kerap digunakan untuk mengungkapkan penolakan terhadap suatu tatanan.
Di belahan dunia yang lain, tak jarang aksi tersebut berujung ricuh dan bahkan memicu krisis politik hingga keamanan suatu wilayah.
Seperti di Suriah, dimana perang sipil disana dipicu oleh perselisihan antara rakyat dan Presiden Bashar Al – Assad. Warga Suriah lantas menuntut reformasi demokratis di negara mereka.
Terinspirasi dari gerakan Arab Spring di Timur Tengah, Warga Suriah menggelar aksi demonstrasi besar – besaran terhadap pemerintahan Assad sekitar pertengahan 2011 lalu.
Perang sipil di Suriah juga semakin diperparah dengan kemunculan kelompok radikal ISIS pada 2014. Di awal kebangkitannya, ISIS sempat menguasai sepertiga wilayah Suriah.
Kehadiran ISIS pun turut menggiring intervensi Amerika Serikat dan Suriah dalam perang sipil tersebut.
Tentu kita berharap bahwa jangan sampai Indonesia menjadi carut marut karena aksi penolakan tersebut, upaya pemblokiran media sosial tentu kebijakan yang telah dipertimbangkan secara matang demi kondusifitas nasional yang masih menyisakan panasnya tensi politik pasca Pemilu 2019.
Meski demikian Pemerintah perlu menguatkan regulasi yang ada, penyedia layanan provider juga sepatutnya mematuhi aturan pemerintah dan ikut menjaga kepentingan nasional.
Pembatasan media sosial untuk sementara waktu tentu bisa kita sikapi dengan bijak, dulu ketika berkirim surat merupakan hal yang mengasyikkan meski harus menunggu balasan berbulan – bulan, setelah media sosial hadir, kita semakin tidak sabar dalam menunggu balasan dari orang yang kita kirimi pesan,
Bahkan berpuasa dalam bermedia sosial, juga dapat meningkatkan kembali quality time bersama keluarga yang mungkin sempat renggang karena tiap anggota keluarga merasa asyik dengan gadgetnya masing–masing.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews