Ada judul lagu nostalgia Kapan Kau Kembali cipta Loela Drakel. Terimplisit dua maksud dalam syair lagu ini yakni pertanyaan dan penantian. Yang bertanya adalah sekaligus dia yang menanti.
Ada juga judul lagu nostalgia lain, masih oleh Pencipta yang sama yakni “Penantian Tak pasti”. Menarik kalau merenungkan penggalan akhir lagu ini yakni “Jangan biarkan aku dalam penantian yang tak pasti". Syair lagu ini juga membeberkan dua makna yakni penantian dan harapan.
Memang benar, kehidupan ini tidak terlepas dari pertanyaan, penantian dan harapan. Siapapun dia, yang namanya manusia, pasti ia pernah bertanya, menanti dan berharap dan berjanji.
Bagi mereka yang pernah diberi janji, waktu akan sangat berharga untuk terus bertanya. Bagi mereka yang menanti, waktu akan sangat berharga untuk menunggu seraya berharap, kalau boleh sesegera mungkin.
Momen sekarang merupakan momen politik. Politik pun ibarat menakar lagu-lagu nostalgia yang sarat tanya, menanti dan berharap. Ada juga pameo yang berbunyi janji adalah utang.
Beberapa waktu lalu, dalam Debat Capres II, Capres nomor urut 2 alias Prabowo Subianto, dalam menanggapi pernyataan Capres Petahana yakni Joko Widodo, terkait dengan ratusan ribu hektar lahan yang dikelola Prabowo, sontak Capres nomor urut 2 membenarkan bahwa dirinya mengelola ratusan ribu hektar lahan dengan status pengelolaan sebagai Hak Guna Usaha (HGU).
Lantas, mantan Danjen Kopasus itu menegaskan bahwa dirinya akan kembalikan semua lahan itu untuk negara. Pertanyaannya ialah kapan momen tepat untuk mengembalikan semua lahan itu? Tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Belakangan, bincang-bincang politis dan akademis pun ramai dilakukan menanggapi pernyataan Jokowi dan Prabowo dalam event Debat Capres II itu.
Antara "Saya rela kembalikan" dan "Saya tunggu, ada maksud yang perlu dibedah. Maksud saya ialah maksud politis. Wajarlah bahwa dalam momen kampanye menjelang pilpres, BPN-TKN, Capres dan Cawapres, masing-masing memilih dan memiliki cara tersendiri dalam berkampanye. Tentu tetap berjalan dalam koridor sebagaimana digariskan dalam UU dan Aturan KPU tentang kampanye menjelang pemilu.
Menakar maksud di balik penggalan pernyataan …Saya rela kembalikan semuanya untuk Negara…. lalu …Saya Tunggu, kalau ada penerima konsesi lahan besar, mau kembalikan ke negara , saya tunggu... saya terkesima untuk menafsirkannya lebih lanjut.
Menurut hemat saya, ada janji politis yang secara serentak kuat diumbar. Prabowo seharusnya tak perlu menunggu hingga posisi sebagai Capres, baru dapat mengembalikan semua lahan itu.
Demikian juga Jokowi, sebagai kepala negara, untuk memperhatikan nasib rakyat, dirinya tak perlu menanti hingga pengembalian lahan itu. Lagipula, lahan yang ada itu, sangatlah tidak mungkin kebagian untuk seluruh rakyat Indonesia dalam waktu yang singkat ini.
Sampai di sini, pertarungan antara menunggu dan mengembalikan melahirkan maksud politis. Titik simpulnya ialah dua-duanya, sama-sama bermaksud politis. Maksud ini tidak lain dan tidak bukan (tafsir saya) adalah demi elektabilitas masing-masing diri dan demi menarik simpatisan rakyat.
Boleh-boleh saja, kedua Capres berjanji, tetapi rakyat harus tetap kritis. Kritis bukan menerima yang satu lalu membenci yang lain. Di sini, sikap kritis erat kaitannya dengan integritas figure, rekam jejak figur, visi-misi yang ditawarkan.
Memang tak dapat disangkal bahwa di tengah para politisi lebih suka mengumbar janji-janji manis, di satu sisi, janji perlu dipandang secara positif, mengingat bahwa pencapaian visi-misi baru terjadi pada waktu yang akan datang.
Walaupun demikian, bukan tanpa dampak. Dampaknya ialah kalau masyarakat mengukur elektabilitas yang kemudian berpengaruh pada pilihan mereka, hanya berpatok pada pengembalian lahan dan pembagian lahan.
Kalau seperti ini yang terjadi, maka sebetulnya kedua Capres berpotensi untuk merasakan dwi dampak yang sama, bisa berupa positif maupun negatif.
Masyarakat akan memilih Prabowo, kalau lahan itu betul dikembalikan pada Negara. Masyarakat yang samapun akan memilih Jokowi, kalau lahan yang dikembalikan itu sungguh-sungguh dibagikan kepada rakyat kecil secara adil.
Kalau lahan itu tidak dikembalikan, itu berarti niat Jokowi untuk membagikan lahan otomatis batal. Di sini, muncul dampak berikutnya yakni publik akan menilai bahwa kedua Capres itu ternyata mengumbar janji manis melulu.
Dampak lain yang muncul, dapat ditinjau dari konteks diungkapkannya pernyataan-pernyataan itu. Prabowo mengungkapkan pernyataannya itu dalam konteks Debat Capres. Berbeda dengan Jokowi, sebagai Capres Petahana, pernyataannya untuk membagikan lahan kepada rakyat kecil, kalau ada penerima konsesi besar lahan oleh elit politik, diungkapkannya dalam konteks pidato politiknya ketika berhadapan dengan para pendukungnya dalam event konvensi rakyat BPN-TKN Jokowi-Ma’ruf.
Berdasar pada konteks yang ada, kedua Capres tetap berpotensi untuk dinilai sebagai pengumbar janji, mengingat bahwa fenomen politik yang terjadi sekarang, rasanya lebih nikmat kalau dimainkan dalam kacamata cepat kecewa dengan janji-janji kalau tidak dipenuhi secepatnya.
Dari berbagai analisis di atas, sebetulnya saya mau mengatakan bahwa antara "Saya rela kembalikan" dan "Saya tunggu", tugas masyarakat pertama-tama bukan untuk menunggu janji melainkan supaya janji itu terealisasi, pertama-tama yang harus dilakukan ialah memilih pemimpin. Jika telah memimpin dan yang dijanjikan belum atau tidak terealisasi, di situlah masyarakat kembali memainkan fungsi kritisnya melalui penyampain aspirasinya.
Lantaran menguatnya aksi umbar janji dalam konteks politik menjelang suksesi, masyarakat mengalaminya nyaris kehilangan kepercayaan. Dari antara banyak janji, tidak sedikit juga yang mengecewakan karena tidak terealisasi.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews