"Playing Victim" ala Bajak Akun Medsos

Belajar dari kasus hoax Ratna Sarumpaet, pencoblosan ilegal di Selangor, juga playing victim beberapa tokoh, masyarakat pasti sudah tidak mudah terpengaruh lagi.

Minggu, 14 April 2019 | 16:09 WIB
0
485
"Playing Victim" ala Bajak Akun Medsos
Prabowo dan Ustad Abdul Somad (Foto: Radar Cirebon)

Pengalaman bermedsos seharusnya mengajari kita untuk tidak bersikap reaktif dan mudah mempercayai sebuah informasi. Namun, kenyataannya tidak selalu seperti itu. Terbukti hoax, disinformasi, malinformasi, hingga fitnah masih mudah menyasar pikirkan dan hati pengguna medsos.

Ada beberapa saringan yang mungkin punya efek positif untuk membendung sampah informasi itu. Misalnya, informasi dari media berita arus utama yang bisa dipercaya, dijadikan rujukan. Akun-akun tokoh yang bisa dipercaya, diikuti. Cek informasi dari berbagai sumber sebelumnya mempercayainya.

Namun, saringan menjadi tidak efektif ketika media yang katanya tepercaya itu ternyata terinfiltrasi kepentingan yang menjadikan berita yang dimuatnya mengidap hoax, disinformasi dan sejenisnya. Tokoh yang dipercaya, ternyata juga terinfiltrasi kepentingan politik tertentu. Akhirnya, cek informasi dari berbagai sumber menjadi pilihan yang paling logis.

Beberapa hari menjelang pencoblosan 17 April ini, ada beberapa manuver politik dari beberapa tokoh atau yang dianggap tokoh atau yang ingin dianggap tokoh, dengan menyatakan dukungan terhadap salah satu pasangan capres-cawapres. Ada yang memakai bahasa langit, model UAS, ada yang memakai bahasa pondok model AA, ada pula yang memakai bahasa gak jelas model DIS.

Tentunya, manuver politik semacam itu diharapkan punya gaung agar massa di akar rumput terpengaruh dan mengikuti langkah tokoh mereka. Sampai di tahap ini, gaung manuver politik itu mengambil peran penting dalam menggalang dukungan di akar rumput.

Jika gaung itu ternyata tidak sesuai yang diharapkan, sehingga masyarakat tidak terpengaruh atau terusik oleh manuver politik dukungan itu, tentu harus ada langkah lanjutan. Di sinilah, muncul berbagai upaya agar gaung manuver politik dukungan itu membesar sehingga membuat masyarakat dipaksa mendengarnya.

Saya tidak tertarik untuk membahas bahasa langit, bahasa pondok, atau bahasa gak jelas. Itu biar jadi urusan ahlinya. Tulisan ini hanya menyoroti upaya memperkuat gaung manuver politik dukungan itu dengan bermain playing victim yang terlalu sering dipakai di perpolitikan di tanah air.

Yang dimaksud playing victim dalam tulisan ini ada sebuah upaya membentuk citra pada seorang tokoh, bahwa dia telah dizalimi.

Tujuannya adalah munculnya simpati massa terhadap tokoh tersebut sehingga mendapatkan dukungan dari khalayak luas. Ini definisi sederhana dan mungkin sudah banyak yang mengetahuinya.

Kasus pembajakan akun medsos yang terjadi beberapa hari terakhir, yang menimpa figur politik yang kontroversial itu, bisa dinilai masuk kategori permainan playing victim ini. Munculnya kasus suparman berkancut merah dan sejenisnya, memang tidak bisa serta merta masuk kategori ini. Tetapi aksi sebelumnya yang disebut sebagai kasus salah posting akibat akun ganda, bisa masuk kategori playing victim.

Sebagai contoh, satu akun memposting pernyataan yang menjelekkan seorang tokoh. Akun diketahui milik seorang politisi pendukung tokoh itu. Dengan postingan itu, dia berharap kubu lawan yang dituduh mengeluarkan ujaran kebencian dan fitnah. Namun, beberapa saat kemudian muncul pernyataan bahwa akunnya dibajak.

Ternyata, hasil investigasi forensik netizen menunjukkan bahwa sebenarnya dia salah posting. Seharusnya, pernyataan yang menjelekkan tokoh itu di-posting lewat akun milik dia yang lain tapi keliru di-posting lewat akun resmi miliknya. 

Walaupun tidak sama persis, dalam kasus pembajakan akun sd dan dis sahabat Mahfud MD, ada kemungkinan disusupi tujuan permainan semacam itu. Ini tidak berarti aksi pembajakan itu dilakukan si pemilik akun tetapi justru dilakukan pihak lain yang membuat permainan playing victim itu. Sebelumnya, akun jsp juga disebut dibajak dan diisi dengan postingan yang menjelekkan seorang tokoh. 

Harus diakui, reaksi sesaat yang bisa muncul adalah  penilaian bahwa pembajak akun itu pastilah berasal dari kubu lawan politiknya. Inilah penilaian yang memang diharapkan muncul, sehingga lahir sikap simpati terhadap pemilik akun dan tokoh yang didukungnya. Sebaliknya, terhadap pihak yang dianggap sebagai pembajak yang jahat, timbul sikap antipati.

Pertanyaannya adalah apakah sebuah akun medsos ternama dengan pengamanan berlapis seperti Twitter, begitu mudah dibajak? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu harus dilakukan investigasi forensik IT yang kredibel. Tentu itu perlu waktu, dan tentu saja juga tidak bisa mengabaikan peran Twitter sebagai pengelola.

Di sinilah waktu menjadi penting, karena masalah ini terkait dengan pemilu yang tinggal tiga hari lagi. Selama waktu ini, upaya mencitrakan bahwa pembajakan akun dilakukan lawan politik DD atau DIS, atau uas yang diserang dengan pernyataan buruk, cukup efektif untuk meraih simpati dari masyarakat yang sebelumnya masih ragu atau tidak peduli atau bahkan tidak kenal dengan mereka.

Dengan analisis sederhana ini, tujuan pembajakan akun itu bisa juga dinilai sebagai upaya memperkuat gaung manuver politik dukungan yang dilakukan UAS atau pun DIS. Namun, belajar dari kasus yang lain, seperti hoax Ratna Sarumpaet, kasus pencoblosan ilegal di Selangor, juga playing victim beberapa tokoh, masyarakat pastilah sudah tidak mudah terpengaruh lagi.

Akhirnya, kalau memang manuver politik dukungan UAS dan DIS tidak terlalu berpengaruh terhadap pilihan masyarakat di pilpres nanti, ya sudah terima saja. Sementara itu, ada baiknya kita tidak terlalu menggubris permainan bajak akun medsos itu.

Biarkan saja mereka asyik dengan itu, toh kita tidak tahu mahkluk macam apa mereka itu, bakteri tipe 01 atau bakteri tipe 02, atau atau bakteri tinja.

***