Ada yang lebih serius dari sikap kompromistis dan partainya terhadap perilaku koruptif, yaitu terkait persoalan ketaatan terhadap hukum dan konstitusi negara.
Ada wacana dari Prabowo Subianto, capres nomor 02 itu. Dia ingin memberikan uang pensiun kepada para koruptor yang tobat dan mau mengembalikan uang yang dikorupsinya. Sungguh sebuah wacana yang menggoda selera dan mengundang tanya.
Meskipun begitu, ucapan Prabowo itu belum tentu berpengaruh terhadap para koruptor dan keluarganya yang belum tersentuh hukum. Sebabnya sederhana, apa ya ada yang mau secara sukarela menyatakan secara terbuka bahwa dia telah melakukan korupsi dan hendak tobat. Itu bukanlah watak koruptor Indonesia.
Lha sudah ditangkap, diborgol, disidang saja masih berkilah dan berlaku bak artis sinetron. Setelah divonis pun, ada yang diantar ke LP dengan mobil dinas pejabat tinggi negara. Hebat kan. Apakah orang semacam ini bisa secara sukarela menyatakan telah melakukan korupsi dan hendak tobat serta mengembalikan uang yang dikorupsinya? Mbelgedes.
Namun, tetap ada kemungkinan wacana yang diucapkan Prabowo Subianto itu bisa jadi modus baru bagi yang bermuka badak alias siap lahir batin untuk menanggung malu demi persentase uang pensiun dari hasil korupsinya. Semakin besar korupsinya semakin banyak pula uang pensiun yang diperolehnya. Kan Prabowo menyebut sekian persen uang yang dilorup akan diberikan kepada koruptor yang mau tobat itu.
Jadi kalau ingin dapat Rp20 miliar, ya silakan korupsi Rp400 miliar. Yang bisa korupsi sebesar itu tentu mereka yang berurusan dengan anggaran atau kekayaan negara yang nilainya sangat besar pula.
Yang juga bisa menikmati kebaikan hati Prabowo itu adalah para koruptor yang kabur ke luar negeri dengan membawa uang jarahannya, yang sudah lelah main petak umpet dan ingin pulang ke Indonesia. Tetapi, apakah uang yang mereka korupsi tidak sudah ludes? Kalau pun tersisa apakah masih banyak? Rasanya kok tidak sebanding.
Jadi, keinginan Prabowo itu sebenarnya bisa dikatakan sama sekali tidak membawa kebaikan bagi bangsa ini. Yang enak hanya koruptornya dan Prabowo yang bisa mendapatkan imbal balik berupa dukungan politik dari para koruptor dan kroninya. Hal itu terlalu mudah dibaca.
Jangan lupa, saat ini perburuan terhadap harta gelap WNI yang disimpan di luar negeri masih berjalan. Pemerintah telah mencapai kemajuan cukup berarti dalam perburuan ini. Beberapa kesepakatan dan kerja sama transparansi perbankan dan juga hukum telah ditandatangani pemerintah dengan banyak negara. Ini berarti harta gelap WNI baik dari hasil kejahatan korupsi atau yang lain, semakin mudah terendus.
Jangan lupa pula, triliunan dana yang kabur di era menjelang kejatuhan Soeharto tahun '96 - '98 juga di awal reformasi hasil kejahatan penjarahan sumber daya alam Indonesia, masih belum belum jelas keberadaannya.
Mungkinyang paling gamblang karena sudah berkekuatan hukum tetap adalah harta Yayasan Supersemar yang telah divonis harus membayar Rp4,4 triliun ke negara, dan baru dibayar Rp 241,8 miliar. Di mana harta yayasan Supersemar itu disimpan saat ini?
Wacana Prabowo yang ingin memberikan pensiun kepada para koruptor yang dinilainya tobat ini, juga menunjukkan secara jelas bagaimana sikap kompromis Prabowo terhadap tindak pidana korupsi dan para pelakunya. Sebelumnya dia juga pernah berucap tentang "korupsinya ngga seberapa" saat acara debat capres bersama Jokowi Januari lalu.
Sikap kompromis "korupsi ngga seberapa" tentu sangat berlawanan dengan tekad memerangi korupsi yang telah menggerogoti negeri ini. Korupsi yang "ngga seberapa" itulah yang telah menggerogoti birokrasi pemerintah dan mental aparat, juga masyarakat yang berhubungan dengan mereka.
Inilah yang menjadikan korupsi di Indonesia sebagai kejahatan luar biasa, sebagaimana kejahatan terorisme dan narkoba yang memerlukan tindakan hukum yang khusus pula. Hal iniah yang antara lain jadi pertimbangan lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jika kemudian Prabowo melontarkan wacana pengampunan dan pemberian uang pensiun bagi para koruptor, jelas dia telah melupakan dan mengabaikan bahaya laten korupsi yang sangat merusak itu.
Dia juga seperti mengabaikan latar belakang lahirnya KPK, peran, kewenangan, serta tanggung jawab yang diemban lembaga antikorupsi itu. Prabowo lebihmemilih kembali ke era sebelumnya yang kompromis terhadap kejahatan korupsi. Hal ini sebenarnya tidak terlalu mengherankan, mengingat latar belakangnya yang sangat "ngorba".
Hal itu juga terlihat dari sikap Partai Gerindra yang dipimpinnya, yang selama ini sering bersebarangan dengan KPK. Caleg yang mantan napi koruptor juga cukup banyak di partai ini.
Sikap kompromistis Prabowo Subianto dan partainya terhadap perilaku koruptif juga tampak dari banyaknya anggota DPR dari Gerindra yang tidak melaporkan harta kekayaan mereka. Sebuah sikap yang jelas bertentangan dengan semangat antikorupsi.
Namun, sebenarnya ada sesuatu yang lebih serius dari persoalan sikap kompromistis Prabowo Subianto dan partainya terhadap perilaku koruptif, yaitu terkait persoalan ketaatan terhadap hukum dan konstitusi negara. Wacana yang diutarakan Prabowo Subianto itu semakin menguatkan penilaian bahwa Prabowo akan menempatkan hukum dan perundangan dalam dekapan kekuasaannya seandainya dia berhasil terpilih jadi presiden.
Di Indonesia, yang menganut pembagian kekuasaan berdasarkan trias politika, ada wilayah yudikatif, eksekutif, dan legislatif. Hal ini mencegah tampilnya pemimpin diktator dan tiran yang hendak mengangkangi kekuasaan negara sendirian.
Sejarah telah mencatat, selama 32 tahun era Orba, kekuasaan eksekutif yang didukung militer secara penuh, menjadikan yudikatif dan legislatif menjadi lemah karena diintervensi secara masif. Kondisi itu menjadikan Soeharto sebagai penguasa tanpa kontrol.
Prabowo agaknya hendak kembali ke sana. (Mungkin dengan begitu dia bisa bebas menyalurkan hobinya gebrak-gebrak meja, memarahi emak-emak atau siapa pun yang tidak khusyuk mendengarkan pidatonya.)
Jadi, apa benar koruptor mau diberi pensiun? Jawabnya: udelmu bodong.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews