Indonesia Bubar Gara Gara Media Sosial?

Rabu, 19 Desember 2018 | 06:31 WIB
0
590
Indonesia Bubar Gara Gara Media Sosial?
Ilustrasi kampanye politik di Medsos (Foto: KPU DIY)

Menurut saya bisa saja Indonesia punah akibat media sosial memang gencar mengobarkan perang antarsesama umat beragama, sesama warga negara Indonesia dan sesama elite politik yang saling rebut dukungan warga.

Jika anda serius mengamati ujaran- ujaran kebencian, makian-makian yang terlontar di media sosial sungguh mengenaskan. Katanya Indonesia itu negara beradab, penuh kesantunan, penuh welas-asih, namun yang terjadi sebaliknya, suara kebenaran tergilas oleh suara–suara sumbang bernada pesimisme.

Mereka menutup mata terhadap kemajuan, pembangunan dan pendekatan cinta kasih yang diusahakan oleh orang yang benar-benar tulus membangun bangsa. Sementara arus utama media saat ini mulai menggilas kesantunan dengan kata-kata kasar tidak beradab.

Banyak orang yakin tekun dan sangat taat beragama, tetapi lontaran komentar di medsos tidak mencerminkan bahwa ia layak menyebarkan agama Allah yang penuh kasih, tetapi dengan mengutip ayat- ayat agama mereka malah mengobarkan api kebencian hanya karena beda pilihan politik.

Mereka berani memfitnah, menjelek- jelekkan pemimpin dan menebarkan informasi sesat yang susah dipertanggungjawabkan kebenarannya. Isu tentang PKI adalah contoh dari betapa masyarakat terlalu takut bahwa ideologi itu menyusup pada orang-orang nasionalis. Baju agama telah membelah keyakinan umat, agama ternyata meciptakan musuh baru.

Paham- paham radikal amat pandai menyusup ke jantung pusat keyakinan masyarakat. Mereka yang tadinya biasa- biasa saja dalam menjalin relasi dengan agama lain mulai menjauh dan menganggap agama lain kafir dan tidak perlu diajak berteman. Padahal masyarakat Indonesia adalah multi etnis, multi agama, ragam suku, bahasa.

Di mata dunia Indonesia terkenal karena toleransinya yang tinggi. Jika kaum radikal bisa menghancurleburkan toleransi maka kekhawatiran punahnya Indonesia bisa saja terjadi.

Masalahnya sekarang kaum elite politik bukannya saling membantu, mereka sengaja membelah diri agar kelihatan bahwa bangsa ini sedang dalam ancaman. Apalagi kontestasi Pilpres dan Pileg 2019 kali ini lebih menekankan pada gaya hiperbola dengan melebih-lebihkan  seakan-akan Indonesia memang parah menghadapi kemiskinan akut, pajak tinggi ekonomi masyarakat semakin melemah, harga-harga kebutuhan di pasar semakin melambung tinggi, asing, aseng semakin mencengkeram perekonomian Indonesia.

Gaya salah satu kontestan Pilpres mengambil peran sebagai antagonis pemerintah dengan mengobrak abrik nilai-nilai kesantunan. Bahasa media mereka sama dengan agresif menyerang. Kompak menjelek- jelekkan niat pemerintah yang sebetulnya terbukti mampu menggerakkan roda pembangungan.

Mereka sengaja menutup mata rapat-rapat, tidak menyisakan secuilpun optimisme. Kompak menebarkan pesimisme, hingga seakan-akan Indonesia memang sedang menuju kepunahan. Herannya banyak pengikutnya terpengaruh dan menganggap memang harus ganti pemimpin supaya Indonesia bisa berjaya kembali dengan kepemimpinan ideal menurut mereka.Tegas, berani, direstui oleh ulama, habib keturunan Arab.

Serangan- serangan terhadap pemimpin yang jarang membalas gaya perang mereka semakin membabi buta, boleh dikatakan ini adalah gaya perang Bharatayuda. Segala cara dilakukan agar lawan bertekuk lutut dan kalah. Zamannya era post truth. Kebenaran yang sebenarnya itu hanyalah ilusi. Mereka akan menutup kebenaran yang sengaja terus menerus dihembuskan sehingga yang benar tenggelam yang hanya sebagai hoax bertahan dan akhirnya malah dipercaya khalayak.

Yang cerdas kalah dengan keroyokan ujaran- ujaran kebencian yang masif muncul di media sosial. Padahal jutaan orang menggunakan gawai untuk berbagai keperluan, Mereka tentu juga mengikuti perkembangan berita. Bagi mereka yang hanya mengikuti berita sekilas- sekilas tanpa berusaha berpikir jauh untuk menguji kebenaran yang sebenarnya, informasi viral yang sebenarnya hoax tersebut menjadi virus yang akan membuat masyarakat terbelah.

Sekarang kenapa harus pesimis berusaha. Nyatanya gambaran 99% rakyat berada dalam garis kemiskinan itu sebetulnya pernyataan hiperbolis. Bahasa politiknya adalah kesengajaan dan itulah taktik yang ia gunakan agar suara media condong ke pihaknya. Yang berusaha main cantik dengan bertahan dan menangkis isu-isu malah dianggap bodoh, terindikasi paham komusnisme, sedangkan mereka yang menyebarkan informasi tentang PKI yang bangkit lagi bingung menjelaskan apa sih PKI itu, apa paham sebenarnya.

Mereka hanya melontarkan wacana tetapi tidak menguasai substansi. Hidup yang hiperbolis itu membawa mereka dengan mudah meradang, marah dan menganggap yang beda paham dengan mereka berarti PKI.

Waduh…. Jangan sampai Indonesia punah hanya karena perang pernyataan di media sosial. Mari bersama sebarkan optimisme dalam setiap dada masyarakat melek teknologi. Agar masa depan Indonesia Berjaya siapapun nanti yang menjadi pemimpinnya.

Jangan hanya karena urusan politik sesama saudara saling memaki, saling gontok-gontokan, saling melakukan playing victim. Tidak elok bukan.

Salam damai- damai saja.

***