Klaim Kesuksesan Lupakan Mantan, Ciri Khas Politikus

Ada banyak manusia yang tengah mabuk agama merasa agama adalah tujuan utama, tetapi melupakan esensi utama ajaran agama yaitu cinta dan kasih dalam istilah arab bisa disebut Rahman dan rahim.

Kamis, 12 Mei 2022 | 17:13 WIB
0
107
Klaim Kesuksesan Lupakan Mantan, Ciri Khas Politikus
Pemimpin (Foto: bola.com)

Ada kebiasaan buruk pejabat Indonesia bahkan mungkin juga dunia. Dengan bangga menunjukkan prestasi selama dia berkuasa tapi sering lupa dan sengaja menyingkirkan sang mantan yang punya andil membuka jalan bagi suksesnya proyek. Herannya sang pemuja begitu mendewakan pejabat yang sebenarnya hanya meneruskan proyek sang mantan tetapi malah menjelek-jelekkan sang mantan.

Bisakah bersifat ksatria, mengaku bahwa sang mantan pekerjaan besar di masanya tidak akan bisa terwujud. Penyakit iri dan tidak mau mengakui prestasi orang lain itu penyakit para pejabat. Ia maunya disanjung karena prestasinya semasa menjabat tetapi sengaja menyembunyikan peran sang mantan agar terlihat betapa sempurnanya pekerjaan semasa ia menjabat.

Untungnya ada beberapa pejabat yang benar-benar masih melibatkan sang mantan. Ia mengaku pada awal pemerintahannya bahwa ketika ia menerima piala penghargaan ia menyebut sang mantanlah yang sebetulnya lebih cocok menerima penghargaan itu, terus kemudian ketika meresmikan proyek rumah murah untuk warga ia membawa sang mantan dan menunjukkan bahwa itu hasil karya sang mantan ia hanya meneruskan. Nah pejabat itu yang seharusnya mendapat apresisiasi.

Hanya kebiasaan para pejabat itu sepertinya alergi jika mengakui kesuksesan pemimpin sebelumnya. Mungkin pemimpin itu diam-diam mengakui tetapi pengagum, pengikut, buzzer malah yang gaduh mencari celah untuk memecah belah dukungan antara jejak sang mantan dengan pemimpin yang sedang berkuasa.

Rupanya sifat ksatria itu belum mendarahdaging. Masih mabuk sehingga ia panas jika dibanding-bandingkan dengan sang mantan.Sebetulnya setiap pemimpin harusnya meneruskan program pemimpin sebelumnya. Bukan malah membuat malu sang mantan. Rangkul dan ajak duduk bareng ketika ada penghargaan untuk proyek yang dikerjakan jauh sebelum kepemimpinan dirinya, sang mantan membuka jalan hingga proyek prestisius itu selesai kebetulan pada masanya. Ini seperti peribahasa jangan sekali sekali melupakan sejarah.

“Mas, Bro Si anu itu yang daerahnya sugihe puoll lagi panen penghargaan.”

“Wah, bagus itu berarti kotanya maju tho!”

“Iya, sih bagus, tapi ia aku sendiri mengaku sebagai karyanya, padahal ada andil Pak Lurah sebelumnya.”

“Iya itu deritanya Pak Lurah sebelumnya kenapa proyeknya tidak selesai pada masanya.”

“La, khan dia naik jadi Rajanya Lurah.”

“Masalahnya awal mula pembangunan itu dimulai saat Lurah lama, tapi tidak ngundang-undang ketika dapat penghargaan dari luar?”

“Nah itu seharusnya dia tidak melupakan mantan istilah jawanya mikul dhuwur mendem jero begitu?”

“Kata orang-orang itulah kelemahan Lurah sekarang mudah lupa pada kebaikan mantan bahkan proyek yang seharusnya dipelihara sekarang terbengkalai tidak terurus. Itu telaga di Utara itu dulunya kampung kumuh, terus dibangun dan diperindah ,sekarang duduk di sana baunya pesing, sampah berserakan. Tidak terurus. Tidak elok menelantarkan karya mantan… itu bukan politikus ksatria, bukan lurah pinilih. Yang baik diteruskan yang kurang diperbaiki, seharusnya begitu?”

“Nah itu penyakit politikus. Memelihara dendam, jangan seperti Raja-raja Singasari. Saling bunuh hanya untuk kekuasaan. Kau tahu khan kisah Ken Arok, Tunggul Ametung, Anusapati!”

“Yang bijak itu pemimpin yang mau nguwongke pemimpin sebelumnya dan berterimakasih atas jasa mereka bukan dibentur-benturkan pada hal-hal yang seharusnya tidak perlu terucap, agama, ras, suku. Sekarang ini benar-benar orang-orang guendeng bermunculan. Ingin memecah belah persatuan, mengusung budaya luar dan menyingkirkan budaya asli.”

Memprihatinkan benar politik balas dendam itu, sekarang masyarakat sendiri lebih sering berdebat untuk hal-hal yang seharusnya ditutup kemudian bersama membangun bangsa. Bukan saling menyalahkan menyanjung-nyanjung pemimpin pujaannya.

Lebih baik tidak mudah terlena dengan janji-janji, tampang dan juga sindiran-sindiran yang hanya membuat kecenderungan balas menyindir, balas mencari dosa dan kelemahan politik. Tidak usah lagi dibawah kadrun, kecebong, kampret.

Tidak elok berdebat dalam lingkup politik tetapi membawa-bawa agama. Kalau agama hanya potensial membangun konflik. Boleh dipertanyakan sebetulnya apa sih fungsi agama. Selama ini selama berabad-abad bahkan ratusan tahun pemicu konflik utama adalah masalah agama. Semua agama pengin disebut terbaik, paling terpilih di mata Tuhan. Lalu sebenarnya Tuhan itu berada di pihak mana, agama ini atau agama itu?

Ada banyak manusia yang tengah mabuk agama merasa agama adalah tujuan utama, tetapi melupakan esensi utama ajaran agama yaitu cinta dan kasih dalam istilah arab bisa disebut Rahman dan rahim. Saking ngebetnya manusia agama dijadikan tameng, topeng untuk menumpas manusia lain yang beda keyakinan.

Yang menjadi pertanyaan apakah Tuhan beragama. Yang melahirkan agama itu manusia bukan manusia. Tuhan itu tidak beragama ia milik semau manusia apapun agamanya,  Ia pencipta semesta alam, apapun bisa dilakukan bahkan melenyapkan kehidupan, dalam sekejab bisa melakukannya.

Kembali ke bahasan awal tentang pemimpin satria. Berani memuji dan melibatkan sang mantan untuk menyempurnakan pembangunan, meletakkan dasar kepedulian pada siapapun  lawan politiknya, merangkul yang biasa menghina dan memaafkan mereka yang tidak tahun apa yang sudah keluar lewat jari dan mulutnya.

Saat ini rasanya warga media sosial dan masyarakat yang tengah mabuk media sosial harus berani bicara jujur. Kritik saja pemimpin bila salah tetapi jangan pula pelit memujinya kalau memang sudah menunjukkan kinerja yang baik. Tidak ada manusia sempurna, pilih yang terbaik yang mampu  menyatukan antara kadal dan kecebong, yang mampu mengingatkan agama tidak perlu ikut terlibat dalam politik praktis.

Kalau terlalu masuk dalam politik praktis akan membuat runyam suasana. Fungsi agama jagalah hati, jagalah jiwa, berani memaafkan dan berani mengakui kekurangan diri dan dengan enteng berani mengakui kelebihan manusia lainnya. (Oh semesta khayalku melayang-layang, menembus mega dan awan tapi saat ini rasanya terasa utopis, sebab banyak sisi manusia yang semula terlapisi pranata adab ketimuran sekarang tenggelam oleh kegelapan. Banyak manusia menjadi penjegal paling keji dari sesama temannya sendiri, sesama agamanya sendiri, sesama bangsa sendiri, bahkan banyak netizen lebih enteng memuji pimpinan negara lain dari pemimpinnya sendiri yang sebenarnya telah berjasa. Semuanya terbutakan oleh nafsu politik).

Kapan manusia Indonesia bisa kompak satu suara dalam memajukan bangsa tanpa terlibat saling hujat dan maki? Untuk saat ini saya bingung menjawabnya, mungkin waktu nanti yang akan menjawabnya.

***